Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Agustus mendatang berusia 268 tahun. Pasar yang dulunya merupakan daerah perbukitan dan rawa-rawa itu diresmikan 1735 bersama dengan saudara kembarnya Pasar Senen, yang Ahad lalu ditimpa musibah kebakaran. Pasar yang menempati areal 2,6 ha dengan luas bangunan 11.154 meter persegi, di bagian paling atas dari bangunan berlantai empat ini, tengah dibangun ratusan kios-kios. Ini dimaksudkan untuk menampung para pedagang kaki lima (PKL) dengan harapan mereka tidak lagi berjualan di trotoar dan badan-badan jalan hingga macetkan lalu lintas, seperti dilakukan di Pasar Ciledug, Kebayoran Lama, dan Pasar Minggu di Jakarta Selatan, dan sejumlah pasar lainnya.
Pasar Tanah Abang, yang menjadi bursa tekstil terbesar di Indonesia dengan omzet puluhan miliar rupiah tiap hari, kini memang semakin berkembang. Para pembelinya bukan saja berdatangan dari berbagai tempat di Tanah Air, tapi juga mancanegara. Akibatnya, sejumlah perumahan di Jl Kampung Bali, Jl Kebon Kacang, Jl Lontar, dan daerah sekitarnya kini berubah fungsi jadi pergudangan, kantor ekspedisi, dan pertokoan.
Sejarah Tanah Abang, yang oleh lidah Betawi disebut Tenabang, dimulai bersamaan dengan perluasan kota Batavia ke arah selatan di abad ke-17 dari pusat kota di Pasar Ikan, Jakarta Utara. Sedangkan ke bagian timur mencapai Weltevreden (Senen), dan bagian barat dari Molenvliet (Jl Gajah Mada dan Jl Hayam Wuruk) sampai Rijswijk (Harmoni). Lewat batas itu kota Batavia masih hutan belantara, yang dijuluki ”tempat jin buang orok.”
Ketika warga Arab mulai banyak bermukim di Tanah Abang, pasar ini menjual daging kambing yang menjadi kegemaran para imigran Hadramaut itu. Karena banyaknya pedagang kambing, pasar ini pun dalam sejarahnya yang hampir 300 tahun itu pernah dijuluki Pasar Kambing. Ini menunjukkan bahwa dahulunya pasar kambing menyatu dengan pasar Tanah Abang.
Ketika pasar diremajakan, para pedagang kambing yang umumnya warga Betawi sempat menghilang. Kemudian mereka ditempatkan di pinggir Kali Krukut, di belakang pasar. Menurut Zainal Ali (63 tahun), yang sudah tiga generasi berdagang kambing di Pasar Tanah Abang, kini para pedagang kambing tidak punya tempat khusus lagi. Akibatnya, sekarang mereka pating semrawut karena lokasinya yang terpencar-pencar.
Ada yang menggelar kambing dagangannya di Jl Sabeni, di sepanjang Jl KH Mas Mansyur hingga Kali Malang, dan banyak juga yang berdagang di depan proyek PD Pasar Jaya. Padahal, sejak peremajaan pasar pada 1984, sudah ada kesepakatan akan disediakan tempat untuk para pedagang kambing. ”Kita tidak tahu, selesai pembangunan sekarang ini, kami akan dikemanakan,” ujar kakek beberapa orang cucu, yang juga menjadi pengurus Masjid Al-Husna di kawasan Tanah Abang.
Kita sengaja mengangkat masalah pedagang ini karena mereka sejak turun-temurun sudah berdagang kambing di pasar ini–yang menurut Zainal, keberadaannya tidak terlalu jauh dengan dibangunnya Pasar Tanah Abang. Ia sendiri sudah berjualan kambing sejak usia belasan tahun, seperti juga ayah, paman, dan kakeknya. ”Boleh disebut mereka berdagang kambing sebelum zaman si Pitung,” ujarnya serius.
Sayangnya, selama tiga tahun ini khususnya dalam menghadapi Idul Kurban para pedagang menjadi resah. Pedagang yang tergabung dalam Himpunan Pedagang Kambing Tanah Abang (HPKT) merasa tersaingi karena pedagang ritel superbesar seperti Carrefour kini ikut-ikutan menjual kambing kurban. Karenanya, Senin (13/1) lalu ratusan pedagang yang tergabung HPKT berunjuk rasa di gedung DPRD DKI Jakarta sambil membawa kambing-kambingnya.
”Ada kemungkinan pihak HPKT akan melakukan perlawanan keras bila tuntutan dan protesnya itu tidak ditanggapi,” ujar Zainal. Untungnya, ketika berita ini diturunkan, pihak Carrefour membuat pernyataan yang isinya membatalkan rencananya itu. Kawasan Tanah Abang sejak dulu juga dikenal dengan makanan kambingnya. Seperti sate, gulai, marak, sop, semur, dan… nasi kebuli. Karenanya, di banyak tempat, bukan hanya di ibu kota, banyak ditemui kedai dan rumah makan dengan tulisan
”Sate dan sop Tanah Abang.” Padahal, kata Zainal, banyak pedagangnya sebenarnya bukan orang Tenabang. Dulunya mereka bekas pembantu yang ikut jualan dengan orang Tenabang. Tapi yang jelas, kata Zainal, ”Sop dan sate Tenabang belum ada yang menandingi.” Silakan coba!
REPUBLIKA – Rabu, 29 Januari 2003
Tinggalkan Balasan