Rencana pembangunan angkutan massal di Jakarta, belum kunjung tuntas. Dulu, Jakarta pernah mempunyai angkutan massal: trem kuda. Ia menjadi angkutan umum yang paling digemari kala itu. Trem berupa kereta panjang yang dapat memuat 40 penumpang, berjalan di atas rel dan ditarik empat ekor kuda. Trem yang menggunakan tenaga binatang, sebelum adanya trem uap dan listrik, diresmikan 10 Agustus 1869. Trayek di mulai dari Amsterdam Poort (kini Kota Inten) – Binnen Nieuwpoort Straat (Jl Pintu Besar Utara), trem terus menyusuri Molenvliet (Jl Gajah Mada-Hayam Wuruk) dan berakhir di Harmonie.
Trem kuda yang disebut tramway waktu itu satu-satunya angkutan umum dalam kota yang dapat menampung banyak penumpang, seperti juga bus kota saat ini. Dua bulan kemudian (Juni 1869), trayeknya ditambah dari Harmoni ke Tanah Abang. Kemudian Harmoni – Rijswijk (Jl Veteran) – Kramat – dan berakhir di Meester Cornelis (Jatinegara).
Bila waktu itu kita mendengar suara terompet di tengah-tengah keramaian kota, harap maklum. Suara ini berasal dari kereta kuda. Karena kusir menggunakan terompet sebagai pengganti klakson. Ongkosnya juga tidak mahal. Tiap trayek hanya 10 sen agar dapat menjangkau masyarakat luas. Setiap kali ada penumpang yang akan turun, penjual karcis membunyikan lonceng. Mendengar bunyi lonceng, kusir akan memutar alat seperti kompas yang berfungsi sebagai rem.
Adanya kereta kuda ini, rupanya membuat banyak masalah waktu itu. Terutama dari segi kebersihan. Karena binatang ini ketika buang hajat tidak mengenal tempat. Demikian pula saat kencing. Sehingga jalan-jalan yang dilewati penuh kotoran dan air kencing kuda.
Yang paling menyedihkan adalah kuda-kuda sering kewalahan karena menarik penumpang demikian banyak. Harian Java Bode yang terbit di Batavia melaporkan, dalam 1872 saja sebanyak 545 kuda meninggal. Antara lain disebabkan kelelahan. Padahal ada ketentuan binatang ini hanya diperbolehkan menarik trem tidak lebih satu kali tiap trayek.
Sepanjang Binnen Nieuwpoort Street (Pintu Besar Utara) ke Molenvliet (Jl Hayam Wuruk-Gajah Mada), kereta melewati gedung-gedung megah yang mulai banyak dibangun kala itu. Seperti Nederlandsch Indische Escompto Maatchappij, dengan gedungnya yang megah dan kini bekas gedung Bank Dagang Negara (BDN). Escompto adalah bank kedua terbesar di Nusantara, setelah Java Bank.
Sampai sekarang, mereka yang berusia lanjut masih menyebutnya Eskomto. Letaknya dekat Musium Sejarah DKI. Bank ini didirikan 1857, bersamaan dengan dibangunnya gedung-gedung megah di kawasan Kota, oleh pengusaha-pengusaha Eropa dan Cina. Hanya Dasaad Musim Concern satu-satunya perusahaan pribumi yang mendirikan kantor di sini. Satu-satunya pula perusahaan milik keturunan Arab adalah NV Marba. Sekalipun waktu itu orang-orang Eropa umumnya sudah pindah ke selatan (Weltevreden), tapi pabrik dan kantor mereka tetap di Jakarta Kota atau Batavia Centrum.
Trem kuda dari Kota ke Harmoni menyusuri kawasan Glodok, yang sejak masa VOC merupakan pusat perdagangan paling bergengsi. Di pusat pertokoan Harco, Glodok, waktu itu masih ditempati kantor polisi, Seksi II. Di sini pada 1926 terjadi peristiwa yang menggemparkan kota Batavia. Ketika 200 orang yang tergabung dalam Komite Aksi Pemberontakan menyerbu penjara polisi seksi II ini. Penyerbuan dilakukan waktu bioskop ‘Orion’ yang bersebelahan bubar. Hingga massa yang memberontak menyatu dengan rakyat, guna menghindarkan kecurigaan polisi. Mereka yang ditangkap oleh pemerintah kolonial sebagian besar ke Boven Digul (Irian Jaya).
Belanda menuduh mereka digerakkan oleh PKI. Padahal, banyak di antaranya dari kelompok Islam dan nasionalis yang berjihad melawan penjajah.
Di depan gedung Museum Sejarah, dulunya merupakan kantor pos dan telegraf pertama di Batavia. Telegraf pertama Batavia – Buintenzorg (Bogor) dibuka 1871.
Di samping kanan museum sejarah, terdapat gedung Museum Wayang. Gedung ini merupakan gereja tertua di Jakarta, dibangun 1640. Untuk melayani kebutuhan beribadah penduduk sipil Eropa dan tentara Belanda yang tinggal di Batavia.
Di halaman bagian belakang (dekat sungai Ciliwung), dulunya tempat pemakaman Kristen. Pendiri kota Batavia, JP Coen dimakamkan ditempat ini.
Kita kembali ke trem kuda. Trem kuda tamat riwayatnya pada 1881 ketika digantikan oleh trem uap. Pada 1899 kendaraan umum di Batavia didominasi oleh trem listrik. Yang terakhir ini pun berakhir pada awal 1960-an.
REPUBLIKA – Minggu, 29 Juli 2001
Tinggalkan Balasan