Pada awal abad ke-16, armada-armada Portugis dengan kecepatan mengejutkan melintasi lautan sampai Timur Jauh. Mereka kemudian menguasai perdagangan rempah-rempah yang laku keras di pasaran Eropa. Rempah-rempah bukan saja sebagai penyedap dan pengawet makanan, tapi juga sebagai bahan obat-obatan.
Karenanya, Lisabon kala itu menjadi pusat perdagangan yang ramai di Eropa. Barang-barang dagangan dari Asia, dan terutama dari kepulauan Nusantara ini menumpuk di kota tersebut. Orang-orang Belanda sendiri banyak memperoleh keuntungan dari perdagangan rempah-rempah itu. Tetapi, pada 1580 Portugis dikuasai Spanyol. Belanda sendiri tengah berjuang membebaskan diri dari Spanyol. Kemudian, Lisabon tertutup bagi kapal-kapal Belanda.
Mereka harus mencari sendiri jalan ke Nusantara, negeri asal rempah-rempah itu. Sayangnya, beberapa kali ekspedisi kapal Belanda selalu gagal mencapai kepulauan Indonesia. Ternyata armada-armada ini salah jalan, melewati rute arah utara. Tapi, kegagalan ini tidak membuat armada-armada putus asa. Mereka terus mencoba mendatangi Indonesia. Tahun 1599, suatu ekspedisi dari empat buah kapal dipimpin Cornelis de Houtman mendarat di Banten, setelah lebih setahun mengarungi samudera. Tapi, ekspedisi ini tidak berhasil membeli rempah-rempah.
Bahkan mereka diusir oleh Sultan Banten, karena sikap orang Belanda yang congkak. Bahkan, sepertiga awak kapalnya meninggal dunia dalam ekspedisi ini. Dari 247 awak kapal, hanya tinggal 87 orang. Sekalipun tidak mendapatkan rempah-rempah dalam jumlah besar, tetapi ekspedisi ini disambut besar-besaran ketika tiba kembali di negeri Belanda. Seluruh awak kapal yang masih hidup disambut bak pahlawan. Ini yang dianggap penting oleh mereka, karena jalur laut ke Nusantara telah ditemukan. Sejak saat itu, tidak henti-hentinya armada laut Belanda mendatangi Nusantara.
Sayangnya, para pedagang Belanda yang berambisi untuk mendapatkan keuntungan besar, saling bersaing. Agar persaingan tidak sehat yang merugikan ini tidak berkepanjangan, maka pada 20 Maret 1602 dibentuklah Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), atau Perserikan Dagang Hindia Timur. Ketika Gubernur Jenderal JP Coen menaklukkan Jayakarta dan membangun Batavia (30 Mei 1619), kota ini dijadikan markas besar imperium VOC. Kala itu, VOC juga ‘menguasai’ Dashima (sebuah pulau kecil di teluk Nagasaki Jepang), Taiwan, Sri Lanka, Teluk Persia, Afrika Selatan, hingga Amerika Latin (Brazilia). Pada bulan Maret mendatang, tepat 400 tahun berdirinya VOC.
Konon momen ini akan dijadikan untuk menempa kembali rasa patriotisme ‘Wangsa Oranye’, yang pernah menguasai hampir seluruh jagad raya. Mungkin karena merasa tidak enak dengan kekejaman-kekejaman yang pernah dilakukan Belanda selama 350 tahun menjajah Nusantara, maka dubes Belanda di Jakarta mengatakan, bahwa peringatan tersebut lebih ditekankan pada penemuan jalur laut ke Asia ketimbang peringatan terhadap kejayaan VOC-nya. Sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta Nurhadi Sastrapraja, dan Kepala Museum Sejarah DKI Tinia Budiati, di Belanda sendiri perayaan empat abad VOC itu ditanggapi dengan pro dan kontra.
Banyak di antara rakyat Belanda menganggap bukan sesuatu yang patut diperingati dan dibanggakan. Karena VOC hanya sebagian kecil dari reputasi Belanda masa lalu. Apalagi organisasi dagang ini membubarkan diri akibat pailit pada 1799. Seperti juga dubesnya di Jakarta, banyak rakyat Belanda melihat peringatan itu sebagai penjelmaan terjalinnya hubungan dagang, sosial dan budaya dengan Belanda – Indonesia selama empat abad. ”Walaupun ada hubungan yang menyakitkan bagi rakyat Indonesia, tapi ada berbagai hubungan yang saling mempengaruhi antara kedua negara, yang peninggalannya masih terwarisi di berbagai tempat di Tanah Air” ujar Nurhadi.
Sejauh ini, kata Nurhadi, banyak warga Belanda yang pergi ke Jakarta untuk menyaksikan berbagai peninggalan nenek moyang mereka. Termasuk gedung-gedung tua yang dijaga kelestariannya. Sementara di Belanda banyak terdapat kegiatan-kegiatan seperti sanggar tari dan berbagai kesenian lainnya, yang berasal dari Batavia tempo doeloe. Tidak heran, bila di kota-kota seperti Den Haag, Amsterdam, dan Rotterdam, sampai saat ini banyak dijumpai rumah makan Indonesia. Dengan kota-kota tersebut, DKI Jakarta juga menjalin kerjasama sister cities atau ‘kota kembar’.
Sementara museum-museum di Belanda juga banyak mengoleksi benda-benda bersejarah Indonesia. Menurut Nurhadi, Troopen Museum, Rijk Museum, Rotterdam Museum, dan Amsterdam Museum telah menjalin kerjasama dengan museum-museum di Indonesia. Bahkan, ikut mendidik para petugas museum di Indonesia, yang belum memiliki perguruan tinggi permuseuman. Para ahli permuseuman Belanda tidak segan-segan pergi ke Indonesia. Beasiswa juga diberikan kepada petugas Dinas Kebudayaan dan Permusiuman DKI Jakarta. ”Jadi, tanpa melupakan masa lampau yang kelam, sebaiknya hubungan kedua negara diarahkan ke masa depan yang lebih baik,” kata Tinia Budiati menimpali.
REPUBLIKA – Minggu, 24 Februari 2002
Tinggalkan Balasan