Perhatian masyarakat terhadap situs-situs sejarah di ibukota makin meluas. Setidaknya ini terlihat dari jumlah peserta acara ‘Wisata Kampoeng Toea’ yang diselenggarakan Dinas Museum Sejarah DKI Jakarta pada minggu ketiga tiap bulan. Yang membesarkan hati, pesertanya banyak para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta. Gedung Proklamasi di Jl Proklamasi (dulu Jl Pegangsaan Timur) 56, Jakarta Pusat tempat paling bersejarah di Jakarta dulunya, sejak masa pendudukan Jepang, adalah kediaman Bung Karno.
Di tempat ini pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI ke seluruh jagad. Peristiwa 58 tahun lalu itu ditandai dengan berdirinya patung kedua proklamator di Gedung Proklamasi. Sayangnya, generasi kini tidak tahu lagi bagaimana sebenarnya bentuk kediaman Bung Karno, karena dibongkar awal 1960’an. Kemudian dijadikan Gedung Pola, tempat perencanaan pembangunan nasional, semacam Bappenas sekarang ini. Kini menjadi gedung perintis kemerdekaan di samping gedung proklamasi.
Lalu mengapa rumah atau gedung yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia itu dibongkar? Hanya Bung Karno yang tahu, karena pada masa pemerintahannya gedung ini diratakan dengan tanah. Ada yang mengatakan Bung Karno tidak mau diingatkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di tempat ini. Salah satunya ketika 16 Agustus 1945 tengah malam diculik oleh para pemuda radikal dipimpin Chaerul Saleh dan Sukarni bersama dengan Bung Hatta.
Dari sini Soekarno dibawa ke markas Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) di Rengasdengklok, Karawang, 130 km sebelah timur ibukota. Atau pada malam 15 Agustus 1945, saat Bung Karno berdebat dengan para pemuda yang memaksanya agar memproklamirkan kemerdekaan saat itu juga. Ketika Bung Karno hendak membongkar kediamannya banyak yang tidak setuju, mengingat bersejarahnya tempat itu. Dalam buku ”Karya Jaya”, Henk Ngantung mantan Wagub dan Gubernur Jakarta 1960-1964 menanyakan pada Bung Karno apakah keputusannya itu tidak bisa ditinjau kembali.
Henk Ngantung sebagai seniman lebih setuju kalau kediaman Bung Karno dijadikan Museum Bung Karno dan dipertahankan keasliannya. Mendengar uraian Henk Ngantung, dengan nada kecewa dan agak marah Bung Karno melontarkan kata-kata : ”Apakah kamu juga termasuk mereka yang ingin memamerkan celana kolorku.” Tapi Bung Karno setuju ketika Henk Ngantung menyarankan agar dibuat duplikat gedung proklamasi, yang sangat penting sebagai peninggalan sejarah.
Karena kala itu tidak tersedia biaya, ia membuat miniatur dari gedung Pegangsaan Timur 56 dalam bentuk maket, berukuran dua kali dua meter. Termasuk perincian konstruksi gedung, jenis bahan-bahan dan warna-warna bangunan dan berbagai bentuk lainnya. Menurut Henk Ngantung, pembangunannya dilaksanakan PT Pembangunan Perumahan (PP) yang berkantor di Jl Thamrin. Miniatur ini pernah ditempatkan di Balai Kota. Sekarang ini, tidak diketahui lagi di mana maket dan foto-foto yang dibuat pada masa gubernur Henk Ngantung itu berada.
Rumah kediaman Bung Karno dengan pekarangannya yang luas ini, yang tampak dari keberadaan Gedung dan Tugu Proklamator dulunya sebuah bungalow atau landhuis milik Belanda. Kawasan Pegangsaan kala itu merupakan daerah elit di Batavia. Banyak warga Inggris bertempat tinggal di sini. Apabila kita mengunjungi gedung di Jl Proklamasi 56, di tempat patung proklamator Bung Karno itulah ia mula-mula berpidato pada 17 Agustus 1945. ”Kita sekarang sudah merdeka. Mulai saat ini kita menyusun negara kita, kekal dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.”
Di gedung ini pada Nopember 1957, Bung Karno dan Bung Hatta bertemu untuk menciptakan ‘Kerukunan Nasional’. Saat itu Soekarno dan Hatta berselisih. Karena upaya ini tidak berhasil, bahkan perbedaan antara keduanya makin meluas, maka kata ‘Kerukunan Nasionl’ oleh sejumlah suratkabar diplesetkan jadi ‘Keruk Nasi.’ Yang menyedihkan, tidak hanya gedung proklamasi yang diratakan dengan tanah.
Sejumlah gedung yang punya kaitan sejarah dengan kemerdekaan juga telah musnah. Seperti gedung di Jl Prapatan 10, Jl Cikini Raya 107, dan Jl Pegangsaan Timur 17. Gedung-gedung tersebut merupakan tempat para pemuda dan mahasiswa berkumpul mempersiapkan kemerdekaan, dan membentuk satuan-satuan bersenjata untuk mempertahankannya. Demikian juga markas BKR (Barisan Keamanan Rakyat) di Jl Jagamonyet (kini Jl Suryopranoto ikut lenyap jadi pertokoan). Yang terselamatkan hanya Gedung Joang ’45 di Menteng Raya, tempat kelompok pemuda Chaerul Saleh, Soekarni, dan Adam Malik berperan besar saat-saat menjelang proklamasi.
REPUBLIKA – Rabu, 23 April 2003
wah, masa maket yang gedenya segitu bisa ngilang ya?
jangankan maket , yang buat make saja hilang
smua orang pengen bnget liat foto soekarno-hatta ,coba miniatur foto soekarno-bung hatta di lestarikan,jangan di rbah..
Ane setuju dengan pendapat ente karena itu merupakan presiden dan Wakil presiden yang pertama jangan dirubah perlu dilestarikan bagaimana kite bisa menjelaskan kepada anak cucu kite ! kalau tempat bersejarah dirubah di jadikan Hotel atawe yang lain untuk kepentingan bisnis orang yang berduit