Imlek akan jatuh pada tanggal 12 Pebruari 2002 lusa. Imlek adalah tahun baru Cina. Hari itu, yang berdasarkan penanggalan rembulan (lunar) bertepatan dengan 1 Chia Gwee 2553. Chia Gwa berarti bulan pertama penanggalan Cina. Seperti bulan Januari untuk penanggalan Masehi dan Muharam untuk penanggalan Islam (Hijriah). Lima hari menjelang Imlek, kawasan Glodok yang mayoritas penduduknya keturunan Tionghoa tampak bebenah diri.
Sejumlah toko dan para pedagang kaki lima menawarkan berbagai keperluan Imlek. Kesemuanya dikemas indah warna merah. Merah bagi masyarakat Tionghoa adalah lambang kagumbiraan. Karena itulah, untuk keperluan sembahyang di klenteng atau wihara semuanya dikemas merah. ‘Kue Cina’, yang terbuat dari ketan, kata seorang pedagang, ‘kudu dihidangkan saat Imlek’. Lalu, pedagang yang berusia 40-an tahun ini menunjukkan ‘kuwe shangyhi kau’, atau yang biasa disebut kue ‘koya’. Kue yang terbuat dari ketan dan dikemas dalam dos-dos indah, dalam setiap pemujaan wajib diikutsertakan. Oleh ketiga agama penganut kepercayaan nenek moyang : Kongfusius, Budhisme, dan Daoisme.
Berlainan dengan semarak menyambut Imlek di pertokoan dan kaki lima, warga Tionghoa di Glodok memperkirakan, Imlek tahun ini diperkirakan sepi, sekalipun sejak reformasi tidak ada lagi larangan merayakannya. “Bagaimana bisa menyambut Imlek, kalau rumah banjir, listrik mati, air ledeng tidak jalan, dan telepon tidak berdering,” kata seorang encim di Petak Sembilan, Glodok, sambil termenung menyaksikan rumahnya tergenang air.
Sekalipun di daerah-daerah lain air sudah surut, tapi di beberapa bagian kawasan Jakarta Kota air masih menggenangi rumah dan jalan-jalan. Di Pintu Kecil, yang pernah menjadi pusat grosir terbesar di Tanah Air, sebelum dipindahkan ke Mangga Dua, toko-toko tidak ada yang buka karena tidak dapat dilalui kendaraan. Jalan Bandengan, yang pada masa lalu diramaikan oleh penjual ikan bandeng menyambut Imlek, juga mengalami nasib sama.
Air juga memasuki sejumlah klenteng dan wihara di Petak Sembilan. Di dekat Wihara Dharma Sakti, wihara terbesar di Jakarta yang dibangun pada 1650, sebuah gerobak pengangkut lilin-lilin besar dan dupa untuk sembahyang tampak kerendam air. Padahal, saat menjelang Imlek dan pada Se It Cap Go tanggal satu dan 15 tiap bulan, wihara ini didatangi banyak pengunjung. Sekalipun sudah berusia lebih dari 350 tahun, tapi wihara ini tetap berdiri tegak seperti tegaknya orang Tionghoa di bumi Indonesia.
Pada hari-hari itu, warga Tionghoa ‘menyembahyangkan’ arwah nenek moyang mereka baik di klenteng maupun di rumah-rumah. Penghormatan pada leluhur menurut ajaran Konghucu mesti dilakukan agar menjadi anak yang uhauw (berbakti) agar mendapat berkah Thian (Tuhan). Sedangkan anak yang outhau adalah anak yang dibenci Thian. Anak yang durhaka, dianggap tidak tahu berterima kasih kepada orang tua dan leluhur. Orang yang durhaka, bagi masyarakat Tionghoa akan dijauhi oleh siahwee (masyarakat). Karena, menurut ajaran Konfusius, pemujaan terhadap nenek moyang merupakan keharusan, yang harus ditaati semua orang. Karena itu, dirumah-rumah yang masih memegang teguh tradisi ini, akan dijumpai ‘meja abu’, tempat pemujaan leluhur.
Sekarang, terutama generasi muda tidak banyak lagi melakukannya. Karena agama Kristen yang kini banyak dianut keturunan Tionghoa, tidak mengizinkan keluarga-keluarga yang masuk agama mempertahankan ‘meja abu’. Keramaian Imlek di ‘tempo doeloe’ diikuti dengan cap go meh. Yakni, malam bulan purnama pertama yang menurut peninggalan lunar atau imlek jatuh pada tanggal 15 chia gwee. Perayaan Cap go meh di Jakarta, sebelum dilarang oleh Walikota Sudiro (1956), merupakan pesta rakyat yang sangat meriah. Ia diadakan di lima wilayah kota secara bergantian setiap malam hingga menjelang subuh. Ia dimeriahkan dengan pesta barongsai, tanjidor, dan gambang kromong.
Imlek tahun ini jatuh pada shio kuda. “Kuda adalah lambang kejantanan,” kata seorang sinshe di kawasan Pecinan (China Town) Glodok, Jakarta. Jengis Khan dan Napoleon Bonaparte yang menaklukkan banyak negara lahir. Benar kata sejumlah pedagang di pusat elektronika Harco: ‘di tahun kuda persaingan akan tambah ketat. Siapa cepat dia yang dapet.’ Ini sesuai dengan sifat kuda, yang lari kencang. Meski harus bersaing, sikap saling menghormati tampaknya perlu selalu dipupuk. Maka, ketika menemui ‘ia punya’ tauke, si Doel yang anak Betawi pun mengucapkan sin chun kiong hie atau ‘panjang umur dan murah rezeki’. “Hidup kan memang kudu saling hormat menghormati.” Demikian anggapan si Doel.
REPUBLIKA – Minggu, 10 Februari 2002
Tinggalkan Balasan