Sejumlah tokoh Betawi mengusulkan pada Pemprov DKI agar mengabadikan Ismail Marzuki, komponis pejuang kelahiran Betawi untuk salah satu nama jalan di Ibukota. Mereka beranggapan, komponis yang telah mencipta lebih 200 lagu ini memang pantas untuk itu. Sejauh ini, gubernur Ali Sadikin awal 1970-an mengabadikan nama Ismail Marzuki untuk pusat kesenian dan kebudayaan di Cikini, Jakarta Pusat.
Baik Ketua Umum Bamus (Badan Musyawarah) Betawi dr Abdul Syukur, Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) H Irwan Syafi’i, dan pimpinan Masyarakat Peduli Jakarta Rusdi Saleh mengemukakan usulnya itu saat memperingati 45 tahun wafatnya komponis ini, di tempat ia dimakamkan di Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mereka menyerahkan Pemprov DKI memutuskan kawasan yang akan dijadikan nama jalan komponis kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat 11 Maret 1914 dan wafat 25 Mei 1958.
Abdul Syukur mengatakan, sejauh nama masih dapat dihitung dengan jari tokoh Betawi yang diabadikan untuk nama jalan. Dalam kaitan ini, kata Fauzi Bowo, warga Betawi memiliki banyak pejuang, tapi karena mereka tawadhu tidak mau menonjolkan diri.Sejumlah nama lain yang juga diusulkan antara lain almarhum Letkol Imam Syafi’i, pejuang Betawi yang ditakuti Belanda pada masa revolusi fisik.
Pak Pi’i, panggilan akrabnya, pada 1950’an hingga 1960’an dengan organisasi Cobra-nya banyak membantu aparat dalam menertibkan keamanan di Ibukota. Kala itu, ia merupakan orang paling disegani, dan memberikan sanksi yang keras terhadap para preman yang ingin membuat ulah di Ibukota. Begitu berpengaruhnya Pak Pi’ie, hingga ia dapat mendapat julukan macan Jakakrta yang disegani kawan, dan ditakuti lawan. Sukses Bang Pi’ie dengan Cobra-nya dalam menciptakan keamanan Ibukota, tidak lepas dari pendekatannya, termasuk kedekatannya dengan para ulama Betawi, yang kala itu merupakan tokoh yang dihormati.
H Entong Gendut, seorang jawara dari Condet, Jakarta Timur, yang April 1914 memimpin pemberontakan menentang Belanda juga diusulkan. Ia bersama rakyat Condet lainnya memberontak karena tidak tahan terhadap perlakuan tuan tanah yang bermukim di Villa Nova, yang letaknya seberang Markas Rindam, ujung jalan Condet Raya. Menolak membayar blaasting (pajak tanah) yang sangat membebani para petani kala itu, Entong Gendut mengibarkan panji-panji perang. ”Allahu Akbar … Allahu Akbkar … Sabillah … ”. Pahlawan Betawi ini pun tewas ditembus peluru penjajah. Dulu, namanya diabadikan nama sebuah jalan di Condet. Tapi kini, entah karena apa menjadi Jl Ayaman, nama seorang tuan tanah.
Batavia pada abad ke-19 mengabadikan kampung dan jalan, mengacu pada tokoh masyarakat yang tinggal di tempat tersebut. Bisa para tuan tanah, pengusaha, dan tokoh agama. Baik etnis Belanda, Tionghoa, Arab, dan juga pribumi. Seperti Gang Thiebault, yang oleh lidah Betawi menjadi Gang Tibo. Kini menjadi Jl Juanda III, yang dulunya dikenal sebagai kawasan Noordwijk, tempat paling elit di Batavia. Alfred Thiebault mulai karir di Batavia sebagai guru (1852), dan kemudian dipercayakan mengelola klub militer Concordia kini menjadi bagian dari gedung Depkeu setelah diperluas. Ia kemudian naik pangkat jadi pengelola Club Harmonie, yang kini sudah almarhum dan jadi bagian gedung Sekneg. Ia juga seorang intelektual, yang pada akhir hayatnya memiliki perkebunan sangat luas.
Kini dikenal Kebon Kelapa, nama sebuah kelurahan dekat Sawah Besar. Sejumlah tokoh Belanda yang diabadikan nama jalan adalah Laan de Briejkops yang oleh orang Betawi dieja dengan sebut Gang Bfengkok, dan Chaulanweg (kini Jl Kemakmuran), Laan Holle (Jl Sabang), Gang Thomas (Tanah Abang V), Gang Scoot (Jl Budikemuliaan) dekat air mancur Monas.
Sejumlah nama jalan yang mengabadikan tokoh Arab antaranya Laan Balweel di Kampung Melayu. Laan Bafadhol (kini Jl Matraman I, Alataslaan (Jl Cidurian – Cikini), dan Alhadadlaan (Kp Melayu Kecil III) Jatinegara. Ada seorang gadis Tionghoa yang diabadikan nama jalan. Yakni Leonielaan (kini Jl Bekasi Timur 4), Jakarta Timur. Leonie punya kecantikan yang tidak kalah artis Mandarin 1950-an, Lily Hwa, kala itu tersohor seantero Jatinegara.
Konon, bila ia minum kopi atau teh, airnya kelihatan di leher. Karenanya, banyak pemuda yang sengaja melewati kediamannya. Terutama pada sore hari, saat si cantik ini sedang minum teh. Pernah tukang cendol karena meleng untuk melihat Leonie, tiba-tiba kesandung batu. Ia pun beserta seluruh cendolnya tanpa ampun nyungsep ke jalan, sementara Leonie kala itu tidak berada di rumah.
REPUBLIKA – Rabu, 28 Mei 2003
Tinggalkan Balasan