Banjir hampir tidak pernah jemu untuk menggenangi Ibukota. Yang memprihatinkan, kali ini jangkauannya jauh lebih luas dari banjir yang pernah terjadi di kota metropolitan ini. Termasuk korban jiwa. Bantaran sungai Ciliwung, yang berada di tengah-tengah kota Jakarta, kini dinyatakan Siaga I, yang berarti airnya sudah berada di ambang batas. Tapi, untuk itu, sebaiknya kita tidak dulu saling menyalahkan seperti yang terjadi saat ini.
Sebaiknya perhatian sepenuhnya dicurahkan guna menolong ratusan ribu korban, yang sangat memerlukan makanan, pakaian, dan obat-obatan. Berdasarkan penemuan-penemuan arkeologi berupa kapak, beliung, gurdi, dan gerobak yang kini disimpan di Museum Nasional, sejak zaman neolitikum atau batu baru, di sekitar Ciliwung sudah banyak dihuni manusia. Sunda Kelapa (Pasar Ikan) muara Ciliwung pernah menjadi bandar utama Kerajaan Pajajaran di Pakuan (Bogor). Waktu itu, sepanjang 60 km dari Pakuan ke Sunda Kelapa merupakan jalur ekonomi yang hidup. Dari Pakuan, hail-hasil bumi dibawa ke Sunda Kelapa dengan perahu dan rakit, untuk dipasarkan ke mancanegara.
Sementara barang-barang impor dari Sunda Kelapa diangkut ke Pakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian dan perdagangan kala itu dimulai dari sungai. Ketika Fatahillah menaklukkan Sunda Kelapa dari Portugis, dan mengganti namanya menjadi Jayakarta, pusat kotanya berada di seberang kiri muara Ciliwung. Rupanya JP Coen, pendiri Batavia menyadari bahwa kota yang akan dibangunnya berada di rawa-rawa. Salah satunya untuk mencegah banjir, Coen, dan kemudian diikuti para penggantinya, banyak membangun parit (kanal) yang dalam Belanda disebut grachten. Seperti yang juga banyak terdapat di negaranya.
Begitu banyaknya kanal yang dibangun, hingga Belanda membuka kesempatan pihak swasta untuk turut membangunnya. Kalau kita menuju ke arah Jakarta Kota dari selatan, di Jl Majapahit dan Gajah Mada kita akan menjumpai sungai yang diapit oleh kedua jalan tersebut. Ia merupakan kanal atau sungai buatan yang dibangun oleh Phoa Bing Ham, seorang kapiten Cina pada 1648. Ia membangun kanal ini dengan menyodet Ciliwung, karena sebelumnya merupakan rawa-rawa yang bila musim hujan terendam air.
Untuk memperlancar hasil bumi, Phoa juga menggali saluran air dari Tanah Abang ke kanal-kanal Batavia. Untuk itu ia memungut tol dari perahu dan sampan yang melewatinya. Banyak sampan yang melewati tol untuk memotong kompas agar lebih cepat ke tujuan. Karena banyaknya kanal atau grachten yang dibangun Belanda, Jakarta mungkin salah satu kota di Indonesia yang mempunyai banyak sungai. Membelah-belah kota ini dari selatan ke utara. Tempo Doeloe lebih banyak lagi. Khususnya di Jakarta Kota dan sekitarnya, yang kala itu merupakan pusat kota Batavia. Sayangnya, kanal-kanal ini sebagian besar sudah tidak berfungsi, bahkan hilang.
Banyak yang sudah menjadi bagian perumahan. Begitu jernihnya Ciliwung di tempo doeloe, seperti dikemukakan Dr FH de Haan dalam buku Oud Batavia, hingga orang-orang Belanda meminum air Ciliwung. Air ini mula-mula mereka tampung dalam sebuah waduk yang dilengkapi pancuran-pancuran yang mengucurkan air dari ketinggian tiga meter. Daerah di Glodok ini kemudian dikenal dengan Pancoran, dari kata pancuran. Berdasarkan catatan orang-orang Belanda yang datang pertama kali di Batavia (1596), muara sungai Ciliwung pada masa itu memungkinkan 10 buah kapal dagang yang punya kapasitas 100 ton masuk dan berlabuh dengan aman.
Air Ciliwung kala itu mengalir bebas, tidak berlumpur dan tidak penuh endapan sebagaimana halnya di abad-abad kemudian. “Kapten-kapten kapal singgah di sini untuk mengambil air yang cukup baik dan mengisi botol-botol dan guci-guci mereka, sedangkan pedagang-pedagang pribumi menyiapkan untuk mereka ikan segara dan ikan asin dalam jumlah besar sekali,” demikian tulis Willard A Hanna, seorang Amerika yang lama berdiam di Jakarta dalam buku Hikayat Jakarta.
Dulu, kanal Molenvliet yang membentang dari Harmoni hingga ke Pasar Ikan merupakan jalan air yang dilewati rakit-rakit bambu penuh sesak dengan barang-barang keperluan pekerja. Rakit dan perahu yang melewatinya harus berhati-hati agar tidak menabrak warga yang mandi, mencuci, dan buang air. Sekarang, kanal dari sodetan kali Ciliwung ini sudah tidak berfungsi, kecuali untuk mengalirkan air limbah dari pabrik dan industri. Pernah ada yang mengusulkan agar kanal ini ditutup, guna menampung kendaraan yang kian memacetkan lalu lintas.
REPUBLIKA – Minggu, 03 Februari 2002
Tinggalkan Balasan