Sekitar 140 pelajar, mahasiswa, pemerhati sejarah, termasuk warga asing dari AS, Belanda, dan Jepang, Ahad pagi menyusuri kawasan Glodok Pancoran, Jakarta Barat. Mereka adalah peserta ‘Wisata Kampung Tua’ yang digelar tiap bulan oleh Museum Sejarah DKI Jakarta. Acara berjalan kaki ini telah berlangsung 11 kali. Ditetapkannya warga Cina hanya boleh tinggal di Glodok atau Pecinan akibat pembantaian massal Oktober 1740 yang menewaskan sekitar 10 ribu warga Cina, termasuk orang tua, wanita, dan balita.
Peristiwa terjadi sekitar dua km dari pusat perdagangan Glodok sekarang ini. Di Glodok Pancoran, beberapa gedung dan rumah yang berusia ratusan tahun serta sejumlah klenteng di Jl Petak Sembilan dan Jl Perniagaan III (Jl Toasebio) masih berdiri kokoh seperti kokohnya warga Cina di bumi Indonesia sekali pun berusia hampir tiga abad. Wisata Kampung Tua juga mendatangi ‘Harian Indonesia’, suratkabar berbahasa Cina di Jl Toko Tiga Seberang, di tengah pusat perdagangan di Chinatown.
Warga Cina di Batavia, sejak akhir abad ke-19 dan jelang abad ke-20 banyak memiliki percetakan. Mereka paling banyak memiliki koran dan majalah. Di samping berbahasa Cina, ada yang berbahasa Melayu: Keng Po dan Sin Po, serta majalah Star Weekly, Liberty, dan Panca Warna. Koran dan majalah ini menggunakan bahasa ‘Melayu – Tionghoa’, istilah yang terkenal kala itu. Warga Cina, di awal kedatangannya tanpa disertai istri.
Mereka mengawini wanita pribumi, termasuk para budak yang dijadikan nyai (gundik). Sekalipun sudah terjadi percampuran darah sekian generasi, tapi masih banyak masyarakat Cina yang memegang teguh identitas dan budaya leluhurnya. Sebelum G30S/PKI (1965), di Jakarta terdapat tiga koran berbahasa Cina; Obor, Garuda, dan Bintang. Karena Baperki, organisasi Cina yang diketuai Siauw Giok Tjan dituduh terlibat G30S PKI, Orba memberangus ketiga koran ini.
Sementara Sin Po yang pada 1960’an berganti nama jadi Warta Bhakti, dan dipimpin Ketua Umum PWI Karim DP, ikut diberangus. Koran berhaluan kiri ini bahkan ikut menyiarkan ‘Dewan Revolusi’-nya G30S. Sedangkan Keng Po dipimpin Inyo Beng Goat diberangus pada masa Bung Karno. Koran yang memiliki tiras besar ini dianggap antek Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang oleh Bung Karno dibubarkan bersama Masyumi.
Khusus koran berbahasa Cina, ketika Obor, Garuda, dan Bintang dilarang terbit oleh Pepelrada (Penguasa Perang Daerah) Jakarta Raya (setelah G30S), barulah diketahui betapa banyak warga Cina di Jakarta yang samasekali tidak lancar, bahkan tidak pandai berbahasa Indonesia. Mereka masih menggunakan bahasa Cina sebagai alat komunikasi. Pemerintah Orba yang berkepentingan memberikan informasi kebijakannya, satu tahun kemudian (12 September 1966), mendirikan Harian Indonesia sebagai satu-satunya koran berbahasa Cina di Indonesia.
Menurut staf redaksinya, Ibu Atiek, pada masa Orba harian ini diharamkan memuat berita miring yang dianggap merugikan pemerintah. Bukan hanya itu, berita dan foto kegiatan Pak Harto harus selalu dimuat di halaman muka. Ketika itu, saat masih banyak orang Cina tidak pandai berbahasa Indonesia, tiras harian ini 80 ribu eksemplar per hari. Kini, menurut Ibu Atiek hanya tinggal 17 ribu. Turunnya tiras secara drastis, kata Ibu Atiek, disebabkan pelarangan bahasa dan aksara Cina selama 32 tahun pemerintahan Orba.
Generasi masyarakat Cina saat ini tidak banyak lagi yang pandai menggunakan bahasa leluhurnya. Setelah Orba tumbang dan gerakan reformasi menggejala, koran-koran berbahasa Cina bermunculan; Guoji Ribau (baca Ripau), Heping Ribau, dan Shang Bao. Tapi, kata Ibu Atik, tirasnya rata-rata hanya sekitar 3.000-an. Bahkan sudah ada yang gulung tikar. Metro TV juga mengadakan siaran khusus bahasa Cina. Perlu diketahui sebelum Perang Dunia II (awal 1940-an), dua suratkabar; Sin Po dan Keng Po bersaing ketat.
Bukan saja dalam pemberitaan, tapi juga dalam membawakan aspirasi politik. Keng Po yang kemudian ganti nama jadi Pos Indonesia dan dibreidel masa Bung Karno, mengajak para pembacanya kaum peranakan Cina agar menempatkan Indonesia sebagai tempatnya berpijak. Sedangkan Sin Po yang kala itu dipimpin Kwee Kek Beng lebih menganjurkan nasionalisme Tiongkok. Sampai 1949, sebelum Mao Zedong menguasai daratan Tiongkok, pertentangan antara Kuochangtang (Komunis) dan Koumintang (Chiang Kai Sek) berdampak di Indonesia. Pada peringatan-peringatan tertentu ada yang memasang bendera RR Cina, ada juga memasang bendera Taiwan (Formosa).
REPUBLIKA – Rabu, 21 Mei 2003
Tinggalkan Balasan