Meskipun di berbagai tempat dipancangkan Kebersihan Merupakan Bagian Dari Iman, warga Jakarta yang mayoritas pemeluk Islam kurang mempedulikannya. Sampah berserakan bukan hanya di pasar-pasar, tapi juga di jalan, taman, bahkan tempat rekreasi. Di Singapura dan Kuala Lumpur membuang sampah atau kotoran sembarangan dikenai denda cukup besar. Karena itu, di kedua kota ini hampir tidak ditemukan sampah.
Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya sudah sejak lama berperang melawan sampah. Sebagai contoh di awal 1960. Ketika itu, tiap pagi kira-kira pukul 08.00 WIB saat sibuk-sibuknya mobil membawa para karyawan ke kantor-kantor, dibunyikan sirene kebersihan. Pada saat demikian, mobil-mobil harus berhenti, pengemudi, dan semua penumpang harus turun untuk membersihkan jalan-jalan yang kotor.
Boleh dikata saat sirene berbunyi lalu lintas di Jakarta yang kala itu tidak semacet sekarang menjadi terhenti. Tidak hanya dua atau tiga menit, tapi kerap sampai belasan menit. Tentu saja peraturan ini kurang efektif hingga lama-lama bunyi sirene tidak digubris. Kalaupun mobil berhenti, karyawan tidak lagi turun, tapi ngobrol atau bercanda dalam mobil.
Kebersihan memang benar-benar dibudayakan saat itu. Tidak tanggung-tanggung para karyawan dan karyawati perusahaan-perusahaan diwajibkan kerja gotong-royong membersihkan sampah di pasar-pasar. Tentu saja ketentuan ini dianggap tidak adil karena para karyawan dan karyawati bukan yang membuah ulah menumpuknya sampah di pasar-pasar. Hanya berlaku beberapa saat, peraturan ini juga gagal total. Tapi, gerakan kebersihan kemudian dilanjutkan dengan menetapkan pemilik toko dan pedagang wajib melakukan pembersihan.
Saat ini ulah para pedagang dalam membuang sampah sembarangan memang patut disesalkan. Hampir seluruh pasar di ibu kota kotor dan kumuh. Para pedagang, khususnya PKL makin membengkak, tidak tersentuh sedikit pun untuk turut menjaga kebersihan. Setelah selesai berdagang mereka tanpa peduli membiarkan sampah menumpuk hingga baunya sangat menyengat dan membahayakan kesehatan. Para pedagang ilegal ini baru tersentuh dan melawan bila mereka tergusur.
Gotong-royong menjaga kebersihan kala itu juga dilakukan antar-RT. Karena begitu banyak RT (rukun tetangga) yang diharuskan kerja bakti, tampak seperti kerja rodi pada masa VOC. Akhirnya jumlah RT yang diwajibkan gotong-royong diperkecil.
Dalam menangani sampah kala itu memang boleh dikata cukup berhasi. Yang menjadi masalah, seperti yang juga dihadapi Gubernur Sutiyoso saat ini adalah tempat pembuangannya. Tidak semua daerah yang berdekatan dengan DKI mau menerimanya. Padahal, kala itu warga Bekasi, Tangerang, dan Bogor, umumnya mencari duit di Jakarta. Jadi mereka ikut berperan dalam mengotori ibu kota.
Karena itulah, Wali Kota Jakarta Soediro dalam periode 1953-1959 telah menyusun rencana jangka panjang DKI Jakarta secara konsepsional. Perumusan ini dituangkan dalam bentuk rencana pendahuluan (outline) 1953-1957 Kota Jakarta. Dalam outline tersebut sudah dipertimbangkan Kota Bogor, Tangerang, dan Bekasi yang kini kita kenal dengan rencana pembangunan regional Jabotabek.
Sayangnya, perhatian pemerintah dalam hal ini boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Padahal, anggaran belanja DKI pada tahun-tahun tersebut hanya ratusan juta rupiah per tahun. Kembali soal mengatasi sampah di DKI, telah diputuskan untuk membangun pabrik kompos. Tapi, tidak berjalan karena pemerintah pusat mencabut kesediaannya membantu pembangunan pabrik kompos di Jakarta. CTC, salah satu BUMN kala itu, yang semula ikut mendorong pembangunan pabrik kompos tidak mampu meyakinkan bank untuk mendapatkan kredit.
Kala itu Jakarta sering, bahkan terlalu sering kedatangan tamu negara. Pemerintah pusat selalu menghendaki agar para tamu negara tersebut mendapat sambutan semeriah mungkin. Murid-murid sekolah dan kaum buruh dikerahkan untuk penyambutan. Truk-truk yang mendominasi angkutan saat itu dikerahkan ke jalan-jalan yang dilalui tamu negara. Baru kemudian, pengerahan massa besar-besaran menyambut tamu asing ini dibatasi hanya di jalan-jalan protokol. Pada tiap kunjungan tamu negara yang menjadi korban adalah para gelandangan. Mereka dibersihkan terlebih dulu dari Kota Jakarta.
REPUBLIKA – Rabu, 09 April 2003
Tinggalkan Balasan