Gula, satu dari sembilan bahan pokok sudah sebulan ini tidak lagi terasa manis. Rakyat yang kini tengah dilanda krisis berkepanjangan harus rela mengurangi konsumsi gula. Mengingat harganya mencapai enam ribu hingga tujuh ribu perak per kg. Di beberapa daerah, masyarakat rela antre berdesak-desakan membeli gula ‘murah’. Padahal pada masa Hindia Belanda selama ratusan tahun, Indonesia merupakan produsen gula terbesar. Kini, Indonesia adalah importir gula. Kelangkaan gula saat ini disinyalir akibat perbuatan mafia yang bermain di balik bisnis pemanis rasa ini.
Kejayaan industri gula Indonesia dirintis sejak masa awal VOC. Di Batavia, misalnya, industri gula kebanyakan dikelola warga Cina — tumbuh bak cendawan di musim hujan. Zaman baru industri gula makin terbuka ketika Bekasi-Karawang dimasukkan dalam yuridikasi Batavia (1677). Begitu luasnya perkebunan tebu, hingga gedung Deplu di Jl Pejambon, Jakarta Pusat, semula adalah pabrik gula di luar kota. Pada 1710 terdapat 130 pabrik gula. Namun hanya empat yang dimiliki Belanda, dan satu orang Jawa. Selebihnya milik Cina.
Hukum dan ketertiban di daerah perkebunan ini ditegakkan dua orang landrost atawa sheriff dengan punggawa-punggawanya. Akibat pesatnya industri gula, semakin banyak imigran Cina berdatangan ke Batavia untuk bekerja di pabrik-pabrik gula. Pada 1740-an, saat industri gula disaingi India, banyak warga Cina jadi penganggur. Ribuan dideportasi ke Srilanka, yang saat itu jajahan VOC. Juga terdapat isu mereka tidak pernah sampai ke Srilanka, tapi dibuang ke laut. September 1740, terjadilah pemberontakan warga Cina di Jakarta.
Selama dua Batavia terbakar, pembunuhan di jalan-jalan, dan perampokan merajalela. Orang Cina tidak berdosa menjadi korban. Diperkirakan sekitar lima ribu hingga 10 ribu warga Cina terbunuh akibat peristiwa yang paling menodai sejarah Jakarta itu. Sejak masa itu, warga Cina dipindahkan ke Glodok. Sebelumnya, perkampungan mereka kira-kira di sekitar terminal bus dan angkutan Jakarta Kota sekarang. Pesatnya industri gula menjadikan Oei Tiong Ham (1866-1924) dari Semarang mendapat gelar sebagai raja gula jagad ini.
Hasil dari lima perkebunan gulanya membuat dia dijuluki konglomerat pertama dan terbesar Asia Tenggara. Tak ada satu perusahaan pun di Malaysia, Singapura, dan Hongkong di bawah pemerintahan Inggris, atau di Thailand dan Filipina, yang mampu menyaingi Kiam Gwan Company, nama perusahaan itu. Perusahaan ini dirintis oleh ayah Oei Tiong Ham yang bernama Oei Tjie Sien (1835-1900), seorang imigran dari Provinsi Fujien, tempat kebanyakan warga Cina yang datang ke Indonesia berasal. Ia tiba di Semarang 1885 dengan berdagang kecil-kecilan. Menjajakan piring, mangkok, dan barang porselen dalam keranjang yang dipikulnya keliling kampung.
Berkat kerja keras, pada 1863 ia mendirikan Kiam Gwan Co. Imigran Cina yang datang ke Indonesia kebanyakan pria tanpa istri. Mereka mengawini wanita pribumi atau mengambil nyai (gundik), terutama dari kalangan budak yang banyak terdapat kala itu. Wanita Islam umumnya emoh dijadikan istri oleh orang yang beragama Nasrani (Belanda), dan penganut Budha/Konghucu. Yang melakukan hal ini, akan ditolak dan tidak diakui lagi sebagai kerabat oleh keluarganya.
Orang Belanda sangat takjub terhadap orang Cina yang hanya dalam waktu singkat dapat mengumpulkan kekayaan melimpah. Mereka membangun rumah sakit sendiri (kira-kira dekat stasion KA Kota sekarang), mendirikan sekolah-sekolah, rumah-rumah penampungan orang miskin, kuil, balai pertemuan, teater dan restoran, serta rumah-rumah pelacuran dan perjudian. Kembali kepada industri gula, hasil ekspornya tidak saja memperbaiki keadaan keuangan Batavia, tapi juga menghapus hutang-hutang Belanda, tulis Leonard Bluse dalam Persekutuan Aneh.
Selama Perang Dunia pertama, Batavia dengan bergairah mengekspor gula dan hasil-hasil pertanian ke Amerika, Eropa, dan berbagai negara lainnya. Bagaimana besarnya pendapatan kolonial Belanda kala itu Bung Karno dalam ”Suluh Indonesia Muda” (1932) menulis: ”Di antara ekspor barang-barang pertanian, gula menduduki urutan kedua dengan nilai 365 juta gulden (1927) setelah karet dengan nilai 417.055.000 gulden.”
Tentu saja tulisan Bung Karno dengan judul ”Swadesi dan Massa Aksi di Indonesia,” dimaksudkan untuk memukul keserakahan pihak kolonial yang mengurus hasil bumi Indonesia. Karena hasil ekspor yang begitu besar (1,5 miliar gulden) tidak diimbangi oleh impor yang hanya 678 juta gulden. Bung Karno dalam artikel itu sekaligus menolak gerakan swadeshi (tanpa kekerasan) yang kala itu dijalankan Mahatma Gandhi di India untuk melawan pemerintahan Inggris.
REPUBLIKA – Selasa, 29 April 2003
Tinggalkan Balasan