Perum Pengangkutan Djakarta (PPD) kini nyaris karam. Dari 600 unit bus hanya 450 buah beroperasi. Sebanyak 85 persen berusia diatas 10 tahun, sisanya 7-10 tahun. Karenanya hal biasa bila kita mendapati bus PPD mogok ditengah jalan. Dengan beban 5.419 karyawan yang jauh melebihi angka ideal, PPD tiap bulan terus menerus merugi hingga untuk gaji karyawannya tergantung subsidi pemerintah. Rupanya pemerintah yang lagi bokek ingin menghentikannya.
Melihat kondisi PPD yang amburadal, terang saja Sutiyoso menampik jika pengelolaan PPD diserahkan pada Pemda DKI. Kecuali bila dipenuhi persyaratan : ”PPD tidak dibebani utang, dan sekaligus melakukakan rasionalisasi.” Mengingat tiap bus harus menghidupi 12 orang, padahal idealnya 1 : 4. Kondisi lebih diperparah akibat cekcok intern antara karyawan dan pimpinan. Akibat isu korupsi managemen PPD yang berlangsung sejak lama. Misalnya, pada 1992 tim khusus Kejaksaan Tinggi Jakarta telah memanggil pimpinan PPD terhadap kasus korupsi sebesar 1,2 miliar rupiah. Menurut pengamatan kala itu, di samping korupsi terjadi penyalahgunaan wewenang dan pungli di PPD.
PPD didirikan 1957 sebagai konsekwensi diambil alihnya perusahaan milik Belanda: Batavia Verkeer Matchappij (BVM). Ambil alih terjadi saat memburuknya hubungan RI-Nederland karena soal Irian Barat (Papua). Ketika itu, PPD masih menangani angkutan trem listrik yang beroperasi dari Jatinegara-Kramat-Sawah Besar-Kota. Tanah Abang-Harmoni-Kota, dan Tanah Abang-Menteng-Kramat. Harga karcis 10 sen.
PPD tidak lama menangani angkutan trem. Karena di masa walikota Sudiro (1958-1960), trem sebagai angkutan rakyat kecil dihapuskan. Bung Karno sebagai insinyur bidang arsitek berpendapat trem tidak cocok lagi untuk kota-kota besar yang modern. Terkecuali kalau berjalan di bawah tanah.
Sudiro dalam buku ‘Karya Jaya’ mengenai kesan-kesannya sebagai wali kota menulis: ”Usaha-usaha saya untuk mempertahankan lin Jatinegara-Matraman -dan Kramat ke Senen sebagai urat nadi perdagangan bagi pedagang kecil tidak berhasil. ” Akan tetapi untuk membongkar rel-rel trem yang melintang di berbagai penjuru Jakarta harganya jauh lebih mahal katimbang bila dibesi tuakan. Karenanya, kala itu rel-rel ini dibiarkan dan kemudian ditindih dengan aspal.
Sebelum trem listik, di Batavia lebih dulu diperkenalkan trem kota Jatinegara-Kota. Pemerintah kota kala itu direpotkan oleh kuda-kuda yang buang air dan kencing di jalan-jalan yang dilaluinya. Di samping banyak kuda yang pingsan dan kemudian mati kelelahan karena mengangkut penumpang dalam gerbong yang berisi puluhan orang. Kala itu, angkutan di Ibukota di dominasi kereta kuda: delman dan sado. Karenanya, sampai 1920’an jalan-jalan di Ibukota sangat sepi, hanya dilewati kereta kuda.
Untuk bisa dikendalikan dengan baik, ke dalam mulut kuda dimasukkan besi melintang yang kedua ujungnya ditambatkan ke tali kendali. Hingga masa itu disebut zaman kuda gigit besi.. Setelah trem kuda dilanjutkan dengan trem listrik. Banyak terjadi kisah lucu saat trem listrik mulai operasi. Terutama dari daerah-daerah pinggiran yang kala itu disebut Betawi ‘orah’ (norak). Seperti yang diceritakan Mpok Jum pada tetangganya Mpok As di Klender ketika baru pulang piknik dari Batavia, naik trem dari Kramat ke Pasar Ikan.
”Busyet dah As. Gue heran banget ! Waktu numpak (naik) si bletok blenong ora ada kudanya (trem), karena gue takut ngotorin trompah gue taruh di tangganya. Eh pejajaran ! Mentak si trem ngeloyor terompah gue jatoh melosnong. Buru-buru deh gue jejeritan: Bang trem stop ngapah!. Eh die ora mau berenti ! ”Terpaksa dah gue pegi ke Pasar Ikan telanjang kaki,” cerita Mpok Jum. Kembali ke ihwal PPD, entah bagaimana sejak ia menggantikan fungsi BVM terus merugi. Sesuatu yang tidak terjadi ketika dikelola pemerintah Belanda.
Bukan hanya bus, ketika mengelola trem listrik perusahaan ini juga mengalami kerugian. Penyebabnya karena banyak penumpang yang tidak mau membeli karcis. Kini juga dikabarkan bahwa Perusahaan Kereta Api Indonesia (PTKI) terus menerus mengalami kerugian. Karena banyak penumpangnya yang tidak mau membeli karcis. Bahkan penumpang gratis ini seringkali menunjukkan wajah beringas pada sang kondektor yang ingin mendendanya. Tidak sedikit diantara mereka yang belagak tidur, membiarkan para orang tua, ibu hamil, bayi dan anak-anak yang menangis dan menjerit-jerit tidak tahan berdesak-desakan.
REPUBLIKA – Selasa, 18 Maret 2003
Tinggalkan Balasan