Reaksi keras terhadap Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew yang menuduh Indonesia sarang teroris masih terus berlangsung. Menyadari kemarahan rakyat Indonesia itu, Presiden Megawati Soekarnoputri dalam sidang kabinet, Kamis (28/2), mengimbau masyarakat agar menanggapi pernyataan Lee itu dengan hati tenang dan tidak emosional. Maksudnya jelas, agar hubungan Indonesia-Singapura tetap terpelihara.
Padahal, reaksi dan kutukan terhadap Singapura saat ini, boleh dikata belum seberapa dibandingkan tahun 1968. Yaitu ketika negara kota ini menghukum gantung dua prajurit KKO (kini Marinir). Sersan KK0 Harun dan Kopral KK0 Usman digantung di penjara Changi 17 Oktober 1968, justru ketika konfrontasi baru saja berakhir. Saat itu Singapura sudah memisahkan diri dari Malaysia. Keduanya ditahan setelah tertangkap pada 13 Maret 1965.
Mereka dituduh melanggar ‘control area’ dan peledakan gedung Mc Donald House. Pihak hakim menolak tuntutan terdakwa agar diperlakukan sebagai tawanan perang. Keputusan ini sangat disesalkan pemerintah dan rakyat Indonesia. Apalagi konfrontasi sudah berakhir. Sebelum kedua prajurit gagah berani ini dihukum gantung, Presiden Soeharto mengutus Sekretaris Militer Mayjen Tjokropranolo meminta agar mereka dibebaskan. Minimal dijatuhi hukuman seumur hidup. Namun, usaha ini sia-sia.
Yang sangat menyakitkan, ketika sekmil presiden ini tiba di Singapura, PM Lee sengaja pergi ke Tokyo. Ia menghindar agar persoalan hukuman mati itu tidak memenuhi penyelesaian. Kedua prajurit yang menjalani hukuman dengan tabah itu pada pukul 06.00 pagi, sebelumnya berpesan agar jenazahnya dimakamkan di Indonesia. Ketika pesawat AVIA VIP ingin mengambil jenazah kedua prajurit ini, pemerintah Singapura memberi batas waktu hanya boleh mendarat pukul 09.00 sampai 09.30. Kemudian harus sudah bertolak dari Singapura pukul 11.30.
Kerewelan kembali terjadi, ketika kedua peti jenazah hendak ditutupi bendera merah putih. Untungnya, ada orang Melayu di penjara Changi yang mungkin bersimpati, sehingga kedua peti peti jenazah bisa ditutupi merah putih. Setibanya kedua jenazah di Tanah Air, kedua prajurit KKO dianugerahi Bintang Sakti dan diangkat sebagai pahlawan nasional. Pangkatnya dinaikkan satu tingkat. Dalam perjalanan dari Bandara Kemayoran ke Markas Hankam di Merdeka Barat, untuk memberikan penghormatan, ratusan ribu rakyat yang datang dari berbagai tempat banyak yang mengeluarkan air mata. Demikian pula ketika jenazah diberangkatkan dari Hankam ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Diperkirakan satu setengah juta atau sepertiga dari penduduk Jakarta waktu itu, tumplek ke jalan-jalan yang dilewati jenazah untuk memberikan penghormatan. Pada acara pemakaman banyak prajurit dan perwira KKO yang meneteskan air mata. Demikian meluapnya emosi dan kemarahan rakyat pada Singapura. Panglima KKO Mayjen Mukiyat menegaskan, ”kalau diperintah KKO sanggup merebut Singapura.” Sedangkan ketua MPRS Jenderal AH Nasution juga tidak dapat mengendalikan emosinya. ”Penghinaan lebih dari permusuhan,” katanya penuh kemarahan.
Bahkan Nasution menegaskan, dalam masalah kehormatan bangsa, tidak boleh perhitungan-perhitungan dagang dijadikan pertimbangan. Seperti juga sekarang, PM Lee Kuan Yew kala itu menganggap enteng kemarahan rakyat Indonesia. Krisis yang tengah terjadi antara negaranya dan Indonesia sebagai kesukaran yang relatif. Demikian kata Lee di Singapura kepada Reuter setibanya dari Jepang. Seperti juga Megawati, Soeharto yang lebih lunak mengingatkan bahwa 65 persen ekspor Indonesia dilakukan melalui Singapura. Hingga kini Lee belum bisa membuktikan tuduhannya bahwa Indonesia sarang teroris. Dalam hal ini, kita sebenarnya lebih unggul.
Sejak kemerdekaan, kita sudah bisa membuktikan bahwa Singapura adalah sarang penyelundup. Boleh dikata, sejak puluhan tahun banyak industri di Singapura hidup dari barang-barang yang diselundupkan dari Indonesia. Konon, Datuk Lee Kon Chien, konglomerat 1950-an, pada 1953 memperoleh keuntungan bersih 500 juta dolar Singapura. Keuntungan itu diperoleh lewat upaya menampung hasil penyelundupan dari Indonesia, terutama karet. Karenanya, negara ini tidak mau menggubris ajakan Indonesia untuk meratifikasi perjanjian ekstradisi.
Akibatnya para konglomerat yang melarikan diri ke Singapura tidak bisa ditangkap oleh polisi Indonesia. Sementara rakyat menderita, mereka enak-enakan menikmati uang rakyat. Tidak heran, ketika krisis menerpa Indonesia sebagian besar saham Indofood oleh Liem Sioe Liong dijual ke Singapura. Negara ini juga melindungi para koruptor yang melarikan diri dari kejaran Bantuan Likuidasi BI yang bernilai puluhan triliun rupiah. Entah sudah berapa banyak Indonesia dirugikan akibat pelarian modal itu.
REPUBLIKA – Minggu, 03 Maret 2002
Tinggalkan Balasan