Memasuki kawasan China Town Glodok, kemudian dari Pasar Pagi Flyover berbelok ke arah kiri, terletak Kampung Pekojan. Kampung yang kini didominasi warga Tionghoa, sampai pendudukan Jepang sebagian besar dihuni keturunan Arab. Pemerintah Kolonial Belanda, sejak abad ke-18 menjadikannya sebagai kampung Arab, seperti juga Kampung Ampel di Surabaya, dan perkampungan Arab lainnya di Nusantara. Kita perlu mengangkat kampung yang terletak di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat ini, karena Pekojan pada abad ke-18 dan abad ke-19 merupakan pusat perkampungan intelektual pertama kaum Betawi.
Di Pekojan inilah, lahir Syekh Junaid Al-Betawi, yang sampai akhir hayatnya menjadi guru dan imam di Masjidil Haram, Makkah. Karenanya, menurut Ridwan Saidi, budayawan Betawi, ia diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama mazhab Syafi’i mancanegara pada abad ke-18. Dari Pekojan pula, lahir Habib Usman bin Yahya, mufti Betawi, yang kitab-kitabnya seperti ‘Sifat 20’, dan ‘Asyhadul Anam’ hingga kini banyak dijadikan rujukan di pengajian dan majelis taklim tradisional di Jakarta dan Jawa Barat. Di samping kedua Hadarim (keturunan Hadramaut) ini, Pekojan, kata Ridwan, juga mengenal Habib Abubakar Shahabudiin, seorang ulama yang syair-syairnya dikenal di banyak negara.
Habib Abubakar yang datang dari Hadramaut, tinggal di pekojan selama 4 tahun. Di samping membuat syair, ia juga menulis tidak kurang dari 40 buah buku. Intelektual moderat ini meninggal di Hyderabad, India, pada 1924. Ia pernah ke Mesir dan diterima oleh Syakhul Al-Azhar. Ulama yang hidup semasa Sayid Jamaluddin Al-Afghani, Syeikh Mohammad Abduh, dan Sayid Rasyid Ridha ini, pernah mendapat bintang kehormatan dari Sultan Hamid II, Kerajaan Otoman Turki. Di Pekojan, beberapa keluarga Shahabuddin lainnya mendirikan ‘Jamiatul Khair’ (1901).
Ini adalah perguruan Islam pertama yang menerapkan pendidikan modern. Di antara anggotanya terdapat tokoh nasional, seperti HOS Tjokroaminoto (SI) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Dengan mendatangkan majalah dan media dari Timur Tengah, para pengurus perguruan Islam ini juga menyebarkan paham “Pan Islam’ Sayid Jamaluddin, di samping gerakan pembaruan Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kembali kepada Syekh Junaid Al-Betawi, menurut Ridwan Saidi, ia hidup sezaman dengan Habib Husein Luar Batang. Hingga kini, masjid dan makam Habib Husein berada di Pasar Ikan, Jakarta Utara, banyak diziarahi. Syekh Junaid pada usia 25 tahun, beserta keluarganya bermukim di Makkah.
Ia memiliki empat anak, Asad dan Said, serta dua perempuan. Anak perempuan pertamanya menikah dengan Abdullah Al-Misri, yang kemudian tinggal di Pekojan. Putri dari Abdullah Al-Misri ini menikah dengan Habib Abdullah bin Yahya, ayah dari Habib Usman bin Yahya. Salah satu putri Syekh Junaid lainnya menikah dengan Imam Mujitaba. Dari perkawinan ini lahir guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Dia adalah guru dari KH Abdullah Sjafi’ie (pemimpin perguruan Islam Assyafi’iyah) dan KH Tohir Rohili (pendiri perguruan Islam Tohiyah). Kedua ulama tenar Betawi ini juga murid Habib Ali Alhabsji, pendiri majelis taklim Kwitang.
Habib Ali selain mendirikan majelis taklim, pada 1905 juga mendirikan perguruan Islam ‘Unwanul Falah,’ di Kwitang, Jakarta Pusat. Habib Ali meninggal 1968 dalam usia 102 tahun. Habib Ali adalah murid Habib Usman. Syekh Junaid, yang wafat di Mekkah pada 1840 dalam usia di atas 100 tahun, selama mengajar di Masjidil Haram banyak memiliki murid yang berasal dari mancanegara. Di antaranya Syekyh Nawawi Al-Bantani, keturunan pendiri Kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putra Syarif Hidayatullah).
Karenanya, setiap haul Syekh Nawawi, selalu dibacakan Fatihah untuk arwah Syekh Junaid. Sampai kini kitab-kitab karangan Syekh Nawawi khususnya mengenai hukum-hukum fikih mazhab Syafii, dijadikan rujukan bukan hanya di Indonesia, tapi juga di mancanegara. Begitu dihormatinya Syekh Junaid Al-Betawi di Tanah Hijaz. Pada 1925, ketika Syarif Ali (putra Syarif Husin) ditaklukkan oleh Ibnu Saud, kata Buya Hamka, di antara syarat penyerahannya adalah, ”Agar keluarga Syekh Junaid tetap dihormati setingkat dengan keluarga Raja Ibnu Saud.
Persyaratan yang diajukan Syarif Ali ini diterima oleh Ibnu Saud.” (Buya Hamka dalam ‘Diskusi Perkembangan Islam di Jakarta,’ pada 27-30 Mei 1987). Karenanya hingga sekarang, keturunan Syekh Junaid ada yang menjadi pengusaha hotel dan pedagang. Mereka bukan berdagang di Pasar Seng, Mekkah, tapi di toko-toko. Konon, sebutan ‘Siti Rohmah…. Siti Rohmah’…. oleh para pedagang di Mekkah dan Madinah untuk para hujjaj (kata jamak dari haji wanita), karena istri Syekh Junaid Al-Betawi bernama Siti Rohmah. Karenanya, Sjekh Junaid orang pertama yang memperkenalkan nama Betawi di mancanegara.
REPUBLIKA – Minggu, 28 April 2002
Tinggalkan Balasan