Siapa bilang Jakarta kota maksiat? Cobalah lihat bagaimana maraknya majelis taklim dan pengajian di ibu kota. Seperti di Majelis Taklim Kwitang, Jakarta Pusat, tiap Ahad pagi didatangi ribuan jamaah dari berbagai tempat di Jadebotabek guna mendapatkan siraman rohani. Majelis yang dibangun oleh almarhum Habib Ali Alhabsji ini sudah berusia hampir satu abad. Itu merupakan salah satu majelis taklim tertua di Jakarta. Demikian pula di Majelis Taklim Asyafiiyah, Bali Matraman, Jakarta Selatan, hampir tidak kalah banyaknya kaum Muslimin dan Muslimat yang memadati pengajian yang dipimpin oleh KH Abdul Rasyid AS.
Hal yang sama juga terlihat di Majelis Taklim Attahiriyah, Jl Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan, yang dibangun oleh tokoh ulama Betawi, almarhum KH Tohir Rohili. Tentu saja masih banyak lagi majelis taklim yang digelar tiap hari libur, baik pagi, siang, maupun malam. Di Majelis Taklim Rahmatan Lilalamin pimpinan Ustadz Husein Alatas, ratusan jamaahnya sebagian besar para mahasiswa. Pada waktu bersamaan Ustadz Muhammad Arifin Ilham (33) Ahad pertama tiap bulan majelis zikirnya menyedot ribuan jamaah.
Majelis zikir ini berlangsung di kediaman ulama yang tengah naik daun ini. Tempatnya di Perumahan Mampang Indah II Depok. Para pesertanya yang mengenakan busana putih-putih bukan hanya berdatangan dari Depok, juga dari Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Semarang. Bahkan, ada yang datang dari Banjarmasin. Di majelis ini para peserta yang hanyut dalam zikir tidak dapat menahan air matanya dan isak tangisnya saat berzikir kepada Allah. Di majelis-majelis taklim di atas, para pesertanya juga termasuk para pengusaha dan kaum selebritas yang haus untuk menimba ilmu agama. Mereka mendatangi majelis-majelis taklim untuk memenuhi anjuran Rasulullah.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah telah bersabda: ”Apabila kalian melewati taman-taman surga maka bersimpuhlah. Para sahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan taman-taman surga itu? Majelis-majelis zikir (taklim).” Khusus di Majelis Taklim Kwitang, Asyafiiyah, dan Attahiriyah, boleh dikata berinduk dari Habib Ali Alhabsji. Tidak heran kalau pada ketiga majelis taklim ini yang menjadi rujukannya antara lain An-Nasaih Ad-Dinniyah karangan Habib Abdullah Alhadad, sufi pencipta ratib Hadad.
Habib Ali yang dilahirkan di Betawi pada 1286 H (1868 M), wafat pada 1968 dalam usia 102 tahun. Di dalam majelis-majelis taklim para ulama Betawi lebih giat untuk mengajak umatnya menjaga akhlakul karimah. Seperti yang juga dilakukan oleh H Arifin Ilham yang kelahiran Banjarmasin, hampir tidak ada di antara mereka yang mau membesar-besarkan perbedaan, apalagi kalau perbedaan ini hanya masalah khilafiah. Ada hal menarik yang dikemukakan budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, dalam bukunya Betawi Dalam Perspektif Kontemporer.
Disebutkan, Islam memberi makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era penjajahan Belanda, berupa zikir, ratib, pembacaan Manakib Syekh Saman, Maulid Berjanji, dan Diba. Semuanya merupakan ekspresi pengagungan pada Asma Allah, sekalipun pernyataan diri: Isyhadu bi ana Muslimin (saksikanlah bahwa kami orang-orang Islam). Ini suatu ekspresi teologis yang nyaris sepi dari politik, tetapi nyatanya orang Belanda dibuat tidak berkutik, tulis Ridwan.
Semangat keberagamaan inilah, tulis Hamka dalam suatu seminar Mei 1987, yang membuat orang Betawi sekalipun dijajah selama 350 tahun, antara penjajah dan terjajah seperti minyak dan air yang tidak bisa bercampur. Hamka yang pernah menjadi ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama dan pernah tinggal di perkampungan Betawi di Sawah Besar, menulis: ”Pukulan yang diderita oleh orang Betawi dari penjajah sangatlah parahnya. Dari segi ekonomi, orang Jakarta umumnya hidup dalam kemelaratan, dalam tanah-tanah terpencil. Sekalipun rumah-rumah orang Jakarta terdiri dari dinding bambu anyaman dan atap rumbia dan tinggal di tempat yang becak, tapi bila waktu fajar tiba, mereka berbondong-bondong melaksanakan salat Subuh. Lalu, membaca ratib bersama: Lailaha ilallah.
Sekarang pun ketika bangunan fisik tidak pernah berhenti di Jakarta sehingga menggenjot perut bumi kota ini, arus-arus majelis taklim atau taman-taman surga tetap mengalir di berbagai permukiman orang Betawi. Dari masjid dan mushala setiap waktu salat akan terdengar suara azan yang kumandangnya terdengar ke gedung-gedung pencakar langit.
REPUBLIKA – Rabu, 07 Mei 2003
Tinggalkan Balasan