Anakmu bukan milikmu
Mereka putra-putri Sang Hidup
Lewat engkau mereka lahir, namun
tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tapi bukan
hakmu
Kahlil Gibran
Sejumlah anak di bawah umur akhir-akhir ini menjadi korban penganiayaan orang tua dan kerabatnya. Anita yang berusia dua tahun tewas akibat hantaman balok sepanjang 60 cm sebanyak sembilan kali. Anak balita warga Gang Mawar, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ini tewas di tangan pamannya, Budi Kusmanto (26). Budi menganiaya keponakannya gara-gara ibunya, Nana (nenek Anita), serta saudara-saudaranya lebih mencintai gadis cilik ini.
Sebelumnya, 14 April 2003, Suheri (27) menganiaya anak tirinya, Muhammad Fadillah (4), hingga tewas di bedengnya, di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Lalu, pada 10 Mei 2003 Bayu Setiawan yang belum genap tiga tahun juga ditemukan tewas di gubuk orang tuanya di tepi Kali Sekretaris, Jakarta Barat. Bayu tewas setelah dianiyaya ibu tirinya, Jumiati.
Peristiwa di atas hanya bagian kecil dari sekian banyak kekerasan yang dilakukan para orang tua terhadap anak. Pada 19 tahun lalu, tepatnya awal November 1984, Arie Hanggara (7), murid SD kelas I Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, tewas mengenaskan setelah dianiaya kedua orang tuanya. Arie yang tinggal di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, datang sehari-hari ke sekolah dengan KRL. Arie oleh teman-teman sekelasnya dikenal sebagai anak lincah, lucu, kadang bandel, dan senang bercanda.
Oleh gurunya, Arie dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai. Angka pelajaran matematikanya 8,5. Penyiksaan terhadap anak yang periang ini terjadi mulai 3 November 1984, ketika Arie dituduh orang tuanya mencuri uang Rp 1.500. Anak yang lucu itu menjerit kesakitan ketika dihujani pukulan oleh ibu tiri (San) dan ayah kandungnya (ME). Pukulan itu menimpa muka, tangan, kaki, dan bagian belakang tubuhnya. Tak sampai di situ, ayahnya mengikat kaki dan tangan Arie. Kemudian, seperti layaknya pencuri Arie disuruh jongkok di kamar mandi. ”Ayo minta maaf dan mengaku,” teriak ibu tirinya yang karyawati terhormat di sebuah perusahaan.
Merasa tidak melakukan seperti dituduhkan kepadanya, Arie tetap membisu. Merasa penasaran, kedua orang tuanya segera melepas ikatan tangan Arie. Mereka menyiramkan air dingin ke tubuhnya. Ibu tiri tadi meminta tambahan hukuman dengan menyuruh anak yang lugu ini jongkok sambil memegang kuping. Ia bersimpuh air mata. Anak tidak berdosa ini melaksanakan hukumannya sambil mengerang menahan sakit.
Kekejaman kedua orang tua ini terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada Rabu (7 November 1984). Arie kembali dituduh mencuri uang Rp 8.000. Bocah yang mengaku tidak mencuri dianiyaya kembali. Ibu tirinya dengan gemas menampari Arie yang berdiri ketakutan. Masih juga tak mengaku, ayah kandungnya mengangkat sapu dan memukuli seluruh tubuh bocah yang nahas ini. Suara tangis kesakitan Arie pada pukul 22.30 malam itu sayup-sayup didengar tetangganya. ”Menghadap tembok,” teriak ayah Arie.
Begitu ayahnya masuk kamar, ibunya dengan pisau pengupas mangga terhunus menyuruh sekali lagi agar Arie meminta maaf. Tapi, anak itu tidak mau membuka mulut. Si ibu yang oleh pers kala itu diberitakan berwajah cantik kembali naik darah. Ia menjambak Arie dan menodongkan pisaunya ke muka bocah yang sudah sangat ketakutan. ”Ada apa lagi,?” tanya ayahnya keluar kamar ketika mendengar istrinya berteriak gemas. ”Ia masih bandel. Saya kesal dia tidak mau minta maaf,” ujarnya dengan wajah memerah lalu meninggalkan ruangan ‘penyiksaan’ masuk ke kamar tidurnya.
Kemudian, terdengar kembali pukulan ayah kandungnya terhadap Si Anak yang sudah dalam keadaan melemah itu. ”Berdiri terus di situ,” perintah Sang Ayah. Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 WIB ketika Sang Ayah bangun dan menengok tahanannya. Ia menjumpai anak kandungnya sudah tidak berdiri lagi dan tengah duduk. Minuman di gelas yang diperintahkan tidak boleh diminum bergeser letaknya. Bukannya merasa iba melihat kelemahan dan kehausan anak kandungnya, malah Sang Ayah naik darah dan menyiksanya kembali.
Gagang sapu pun mulai menghujani kembali anak yang malang ini. Termasuk membenturkan kepalanya ke tembok. Akhirnya, anak yang lincah ini tersentak dan menggelosor jatuh. Pada pukul 03.00 ME bangun dan melihat anaknya terbujur kaku. Sang Ayah jadi panik dan lari ke kamar memberitahukan istrinya. Keduanya menyerbu ke dapur tempat ‘penyiksaan.’ Arie segera dilarikan ke rumah sakit dan ketika dokter memeriksanya Sang Anak sudah tidak bernyawa lagi.
Hari itu tercatat Kamis 8 November 1984. Keesokan harinya masyarakat gempar ketika koran-koran memberitakan kematian anak yang malang ini. Selama berminggu-minggu kematian ini menjadi berita utama di koran-koran. Semoga tidak terjadi lagi kejahatan orang tua terhadap anaknya.
REPUBLIKA – Rabu, 02 Juli 2003
Tinggalkan Balasan