Menyusuri Jl Kwitang dari arah Senen, berbelok ke arah kiri setelah melewati Patung Petani yang diapit Jl Parapatan dan Jl AR Hakim, kita akan memasuki Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat. Jalan ini sejak dulu merupakan permukiman elite di Batavia. Di samping pertokoan dan perumahan Eropa, dahulu berdiri dua hotel megah.
Keduanya dibangun 1938 saat Batavia berkembang pesat, akibat makin bergairahnya ekspor hasil bumi ke mancanegara. Kedua hotel tersebut adalah Hotel Schomper I dan Hotel Schomper II. Setelah Jepang menaklukkan Batavia 1942, Hotel Schomper I yang terletak di Jl Raya Menteng 31 berubah fungsi menjadi tempat penggemblengan para pemuda dan pelajar.
Sekaligus sebagai gedung Sendenbu (Jawatan Propaganda) Jepang untuk memobilisasi rakyat dalam perang Asia Timur Raya melawan sekutu. Di gedung yang kala itu bagian belakangnya terdapat sungai Ciliwung yang membelah Kwitang dan Kalipasir tiap hari lebih dari seratus pemuda digembleng. Sebanyak 50 orang di antaranya tinggal di asrama gedung ini.
Di antara para pemuda terdapat Sukarni, Chaerul Saleh, Adam Malik, BM Diah, Asmara Hadi, HM Hanafi, Wikana, dan Pandu Kartawiguna. Para pemuda Menteng 31 ini membentuk Angkatan Indonesia Baru, dipimpin Chaerul Saleh dan Sukarni. Sedangkan yang menggembleng mereka adalah kelompok lebih tua, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Mr Amir Syarifudin, Mr Ahmad Subardjo, Mr Sunario, Dr Muwardi, Ki Hajar Dewantara, dan Sanusi Pane.
Para pemuda dan pelajar revolusioner inilah yang menjelang saat-saat proklamasi telah mendesak Bung Karno dan Bung Hatta agar memproklamasikan kemerdekaan sebelum 17 Agustus 1945. Yang paling lantang di antara mereka adalah Wikana. Pemuda yang menurut gambarnya bertubuh kurus ini, ketika bersama pemuda Menteng 31 mendatangi kediaman Bung Karno pada 15 Agustus 1945 malam, telah mengeluarkan kata-kata ancaman. ”Kalau Bung Karno tidak mau mengumumkan proklamasi, di Jakarta besok akan terjadi pertumpahan darah.” Bung Karno menjawab gertakan itu sambil berteriak, ”Ini batang leherku.
Potonglah leherku malam ini juga.” Keesokan harinya, 16 Agustus pukul 04.00 saat waktu sahur, Bung Karno bersama Bung Hatta diculik Sukarni cs ke Rengasdenglok, Karawang. Sekali lagi di sini keduanya menolak desakan para pemuda tersebut. Sampai menjelang akhir hayatnya Bung Karno sangat teguh dalam mempertahankan pendiriannya. ”Aku tidak mau digoyang-goyang,” kata-kata itu sering diucapkan menjelang kejatuhannya, setelah peristiwa 30 September 1965.
Kembali saat pemerintahan Jepang, pada 9 Maret 1943, gedung Menteng 31 jadi markas Putera (Pusat Tenaga Rakyat), dipimpin empat serangkai: Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara. Setahun kemudian, Jepang membubarkan Putera dan gedung Menteng 31 dijadikan sebagai Jawa Hokokai guna mempersiapkan rakyat Jawa untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya melawan Sekutu.
Bersamaan dengan itu jauh sebelum proklamasi para pemuda sudah mencium gelagat bahwa tidak lama lagi Jepang akan kalah perang. Keyakinan ini didasarkan sikap Jepang yang semula agresif dalam Perang Pasifik berbalik jadi defensif. Sebaliknya, Angkatan Perang Sekutu terus-menerus mengepung dan menyerang kedudukan tentara Jepang. Didorong keyakinan demikian, para pemuda Menteng 31 bergerak ke kampung-kampung di sekitar Jakarta, Karawang, Purwakarta, dan Tangerang. Tujuan mereka mempersiapkan rakyat bila sewaktu-waktu terjadi revolusi.
Pada 22 Agustus 1945, para pemuda kembali mengambil alih gedung Menteng 31, yang kala ini menjadi markas Jawa Hokokai. Kemudian, dari gedung inilah timbul ide mereka untuk menyelenggarakan rapat raksasa di Ikada (kini Monas). Para pemuda yang ketika itu membentuk ‘Komite van Aksi Proklamasi’ bertekad untuk memanifestasikan pada dunia luar bahwa RI telah berdiri, merdeka, berdaulat, dan bebas dari pengaruh Jepang. Menurut AM Hanafi, salah satu pemuda Menteng 31, semula Bung Karno dan Bung Hatta tidak setuju diadakan rapat raksasa di Ikada, karena Jepang masih berkuasa.
Sebagai golongan yang lebih tua mereka tidak ingin terjadi clash dengan balatentara Jepang yang memiliki persenjataan modern. Bahkan, kata Hanafi dalam bukunya Menteng 31, Bung Karno dan Bung Hatta mengancam akan meletakkan jabatan bila rapat raksasa Ikada tetap diadakan. Akhirnya, para pemuda mengutus Adam Malik untuk membujuk presiden dan wakil presiden agar mau hadir di Ikada. Para pemuda dalam pesan melalui Adam Malik menyatakan, bila Bung Karno tidak muncul maka akan terjadi banjir darah.
Akhirnya, sekitar pukul 15.00 Bung Karno, Bung Hatta, dan para anggota kabinet memasuki lapangan Ikada yang telah dipadati massa ratusan ribu orang. BM Diah dalam buku Wartawan Serba Bisa menceritakan, Soekarno naik ke podium dan memulai pidatonya dengan suara penuh wibawa dan keyakinan penuh. ”Waktu itulah untuk pertama kalinya saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana wibawa Bung Karno di hadapan massa, di hadapan rakyat yang ratusan ribu.
Dengan caranya yang tak tertirukan, dengan sekejap saja rakyat yang riuh menjadi tenang. Ia hanya berbicara beberapa menit dan mengajak rakyat untuk pulang. Dan rakyat pun menuruti ajakan itu.” Berbagai peristiwa yang pernah terjadi di gedung Menteng 31, termasuk peristiwa yang punya kaitan dengan gedung itu, dapat kita saksikan kembali di dalamnya. Sebab, sejak 19 Agustus 1974 gedung bersejarah ini dijadikan Museum Joang ’45.
REPUBLIKA – Minggu, 01 September 2002
Tinggalkan Balasan