Kini tambah banyak peneliti, ilmuwan, dan pers internasional yang mengadakan riset mengenai keberadaan keturunan Arab di Indonesia. Untuk maksud itu, dua tahun lalu, selama berbulan-bulan Prof Dr Michael Gilsenan, dari New York University, telah keliling Indonesia. Dia mewancarai sejumlah tokoh keturunan Arab di Indonesia.
Setelah itu menyusul Dr Nico JG Kapiten, dari Leiden University, Nederland. Sedangkan radio BBC beberapa waktu lalu tidak tanggung-tanggung, tiga hari berturut-turut, menyiarkan feature tentang keturunan Arab di Indonesia. Dr Mona Abazan, dari American University Cairo dua kali berkunjung ke Indonesia untuk riset. Prof Kazuhiro Arai, dari sebuah universitas di Jepang, juga antusius mengadakan penelitian terhadap keturunan Arab.
Sementara, Far Eastern Economic Review yang berpusat di Hongkong, saat ini tengah menyiapkan kegiatan yang sama, melalui wartawannya di Jakarta. Selama wawancara yang pernah saya ikuti, mereka tertarik terhadap peran keturunan Arab di Indonesia yang leluhurnya berasal dari Hadramaut (Yaman Selatan). Bahkan di antara mereka ada berniat untuk menerbitkan hasil riset itu dalam bentuk buku. Mereka tertarik terhadap peran keturunan Arab di Indonesia.
Seperti Habib Rizieq Shihab, ketua Front Pembela Islam (FPI), Ustadz Jafar Thalib, ketua Lasykar Jihad Ahli Sunnah Waljamaah, Ustad Abubakar Baasyir, ketua (amir) Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Habib Husein Ali Alhabsji, ketua Ikhwanul Muslimin Indonesia. Oleh pihak Barat mereka dinilai sebagai kelompok garis keras. Di samping itu, ada sejumlah tokoh yang pernah berperan di pemerintahan maupun di luar pemerintahan.
Termasuk Munir dari Kontras. Prof LWC van den Berg, Islamolog Belanda, mengadakan riset pada 1884 – 1886 tentang ‘Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara’. Dia secara khusus menyorot saat-saat banyaknya imigran Hadramaut berdatangan. Ahli hukum Belanda itu berpendapat para keturunan Arab di Indonesia dapat cepat membaur dengan pribumi. Rupanya bukan hanya dengan kelompok Islam, tapi dengan non Islam mereka juga dapat diterima.
Seperti Mar’ie Alkatiri, Perdana Menteri Timor Leste. Keturunan Arab lainnya adalah Thaha Alhamid, sekjen Gerakan Papua Merdeka. Kembali pada Prof Van den Berg yang pernah menjadi penasehat Belanda dalam soal Islam/Arab dalam risetnya itu ia membuat beberapa konklusi. Berbeda dengan pendapat pihak Belanda yang menilai orang Arab merupakan bahaya laten bagi pemerintah kolonial, tetapi van den Berg membantah pendapat itu.
Menurutnya, sekalipun keturunan Arab sangat taat dalam menjalankan agamanya, tetapi tidak ada bentuk fanatik apalagi paksaan. Sedangkan menurut pihak Belanda, keberadaan orang Arab harus diawasi secara ketat, karena sejumlah pemberontakan melawan pemerintahan kolonial saat itu, banyak digerakkan oleh keturunan Arab. Apalagi kala itu, banyak keturunan Arab yang menyebarkan gerakan Pan Islamisme ala khalifah Turki. Berani mengeluarkan pendapat melawan arus, karuan saja van den Berg mendapat bulan-bulanan serangan.
Tidak kurang Prof van Vleuten menuduhnya sebagai orang yang bersimpati pada keturunan Arab. Tidak heran kalau kemudian Mr Hamid Algadri, dalam bukunya ‘Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab’, memuji Van den Berg sebagai orang membela asimiliasi keturunan Arab dengan pribumi yang saat itu dihalang-halangi. Politik van den Berg, kata Algadri, berbeda dengan Snouck Hurgronye yang memisahkan pribumi dengan keturunan Arab, yang kemudian menjadi pedoman politik kolonial di Hindia Belanda. Bahkan, Snouck pernah mengusulkan agar melarang kedatangan imigran Hadramaut.
Kembali pada penelitian van den Berg, menurutnya, sebelum 1859 tidak tersedia data yang jelas mengenai jumlah orang Arab yang bermukim di Hindia Belanda. Di dalam catatan statistik resmi, mereka dirancukan dengan orang Benggali (India) dan orang asing beragama Islam. Sejak 1870, dengan dimulainya pelayaran kapal uap kedatangan para imigran Hadramaut makin meningkat. Mereka, kata van den Berg, cenderung cepat berasmiliasi dengan penduduk setempat. Ia menyimpulkan, keturunan Arab mulai datang secara massal ke Hindia Belanda pada tahun-tahun terakhir abad ke-18.
Sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar (India) jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih ke Palembang dan Pontianak. Keturunan Arab mulai banyak menetap di Pulau Jawa pada 1820, sedangkan di Indonesia Timur pada 1870. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada 1819, dan kemajuan besar negara pulau ini dalam bidang perdagangan dan ekonomi, membuat koloni Inggris ini menggantikan peran Aceh sebagai perhentian pertama kedatangan para imigran Hadramaut.
Mereka, kata van den Berg, umumnya datang Hadramaut tanpa istri. Di tanah Nusantara, mereka kemudian menikahi wanita-wanita setempat. Karena itulah mereka menyebut pribumi akhwal yang berarti saudara dari ibu. Konon, banyak di antara istri penduduk setempat itu kemudian dibawa ke Hadramaut. Dab, sekembalinya mereka di Tanah Air mereka membuat nasi kebuli dengan bumbu-bumbu Hadramaut. Padahal di Hadramaut sebagian besar penduduk tidak makan nasi, melainkan masakan dari gandum.
REPUBLIKA – Minggu, 13 Oktober 2002
Tinggalkan Balasan