Oleh Alwi Shahab Peringatan satu abad Bung Hatta, 12 Agustus 2002, dipusatkan di Gedung Arsip Nasional, Jl Gajah Mada, di pinggiran Glodok, Jakarta Barat. Panduan acara peringatan itu mengajak masyarakat, terutama para pemimpin, agar mengikuti contoh keteladanan Bung Hatta: santun, jujur, hemat.
Gedung Arsip Nasional dibangun pada 1760 oleh Gubernur Jenderal Reinier de Klerk ketika masih menjabat anggota Dewan Hindia. De Klerk (1710-1780) membangun gedung megah yang luas ini sebagai tempat peristirahatan yang jauh di luar kota . Kota kala itu berpusat di ‘Benteng’ Pasar Ikan. Gedung ini juga tidak jauh dari pusat elektronika Harco, yang kini juga menjadi pusat penjualan VCD bajakan, termasuk VCD porno yang kemudian diedarkan ke seluruh nusantara.
Kita perlu mengetengahkan keberadaan pertokoan Harco karena sampai akhir 1960-an ia merupakan Kantor Polisi Seksi III. Bung Hatta sebelum dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya, selama 11 bulan pernah mendekam dipenjara Glodok ini. Kalau kini banyak pemimpin yang ditahan dan diinterogasi karena terlibat kasus korupsi dan berbagai penyelewengan lainnya, Hatta dan para patriot kala itu ditangkap karena berjuang membebaskan rakyat dari penjajahan.
Kembali ke Gedung Arsip Nasional (kediaman Reinier de Klerk), pada abad ke-18 di sekitarnya banyak terdapat rumah peristirahatan (landhuis) dengan pekarangan luas, tempat para kelompok elite bersama keluarga menikmati weekend di hari-hari libur. Tiga abad lalu, kawasan yang kini sangat ramai itu masih merupakan permukiman yang tenang dengan hawanya yang sejuk. Banyaknya rumah peristihatan indah ini menyebabkan Batavia mendapat julukan Queen of the East (Ratu dari Timur) atau Koningin van het Oosten dalam Belanda.
Di antara gedung yang dulu banyak terdapat di Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk, tinggal gedung Arsip Nasional yang masih tersisa yang dibangun di kawasan Molenvliet. Sebagian tergusur menjadi mal, pertokoan, dan perkantoran. Sebagian lagi dibongkar ketika Gubernur Ali Sadikin melebarkan kedua jalan tersebut. Baru pada abad ke-19, kaum elite membangun rumah-rumah mewah di daerah selatan atau Weltevreden (Lapangan Banteng, Medan Merdeka, Gunung Sahari, dan Senen).
Antara 1777 dan 1780, rumah Reinier de Klerk digunakan sebagai kediaman resmi pejabat tinggi kolonial. Setelah de Klerk meninggal (1780), rumah ini dibeli Johannes Sieberg. Ia kemudian menjadi gubernur jenderal (1801-1805) dan tinggal di gedung ini selama masa pemerintahan Prancis dan Inggris. Kemudian gedung ini kembali berpindah tangan kepada Jahoede Leip Jewgiel Igel, seorang Yahudi yang berasal dari Polandia.
Yahudi ini juga membeli rumah mewah dan besar di Pondok Gede, Jakarta Timur. Rumah ini dibongkar pada 1992 dan di atas lahannya kemudian didirikan mal/pertokoan. Seperti juga de Klerk, Yahudi ini mempunyai empat anak dari hasil ‘kumpul kebo’ dengan budaknya. Waktu itu, banyak petinggi VOC yang memiliki gundik atau selir para budak tanpa dikawini. Sejauh ini hanya JP Coen yang tampaknya bersih dari praktik-praktik demikian.
Di rumah-rumah besar atau landhuis seperti di Gedung Arsip Nasional, kala itu banyak tinggal para pekerja berstatus budak belian. Kita perlu memberikan perhatian terhadap nasib para budak ini, karena selama hampir dua abad mereka merupakan penduduk Batavia paling besar, tapi juga paling menderita. Mereka tidak memiliki hak sama sekali dan diperlakukan seperti binatang, kerja tanpa dibayar. Banyak di antaranya yang dicambuk kemudian dipenjarakan hanya karena soal-soal sepele akibat pengaduan majikannya.
Boleh dikata hampir tidak ada hukum yang melindungi mereka. Yang menyedihkan, para budak yang sudah tua dan sakit-sakitan dibuang begitu saja agar sang majikan bebas memberi makan dan tidak menanggung risiko biaya bila budaknya mati. Waktu itu, VOC banyak mendatangkan budak, baik dari berbagai tempat di Nusantara, maupun mengimpornya dari India dan Srilangka, karena kekurangan tenaga kerja. Pada masa Gubernur Jenderal Van den Parra (1761-1775) tiap tahun tidak kurang 4.000 orang budak yang diimpor ke Batavia.
Pada 1788 di Jakarta terdapat 30.520 budak belian, terbanyak dari Bali. Jakarta dari abad ke-17 hingga abad ke-19 (perbudakan baru dihapuskan pada 1860) menjadi pusat perdagangan budak. Di sini para budak diperjualbelikan dalam suatu lelang, termasuk yang pernah terjadi di Gedung Arsip Nasional. Tidak sedikit di antara para budak itu yang oleh majikannya dijadikan pelacur, dan si majikan menikmati hidup mewah dari hasil ‘uang lendir’. Karena di antara budak itu banyak yang dikawini oleh Belanda dan Cina yang datang ke Indonesia tanpa istri, harga budak wanita dua sampai tiga kali lipat harga budak pria. Waktu itu, memelihara budak merupakan simbol status sosial seseorang. Semakin banyak memiliki budak semakin tinggi statusnya.
Para budak termasuk beruntung bila ia dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, atau menjadi pengiring majikan memayungi atau membawa tempat sirih dan tempat perhiasan yang mempertontonkan kekayaannya. Di antara para budak belian ini ada yang khusus dipekerjakan sebagai grup orkes. Mereka menghibur si majikan saat santap malam bersama keluarga, atau menjamu tamunya. Dalam rangka HUT kemerdekaan ke-57 RI, kita patut memberikan penghargaan kepada mereka yang terpinggirkan ini. Banyak jasa mereka yang dapat kita nikmati sekarang ini.
REPUBLIKA – Minggu, 18 Agustus 2002
Tinggalkan Balasan