”Jakarta adalah kota yang mempesona,” tulis Adolf Heyken SJ, sejarawan Jerman dalam buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Sebagai kota pelabuhan, Jakarta bercorak internasional sejak masih disebut Sunda Kelapa. Orang dengan latar belakang kebudayaan, warna kulit, dan keyakinan agama yang berbeda-beda bertemu di bandar ini sejak berabad-abad lamanya. Bermacam-macam bahasa terdengar di pelabuhan, dalam kantor, di gereja, masjid, dan kelentang.
Mereka semua bergaul dengan ramah tanpa prasangka. Sedangkan Willard A Hanna, warga Amerika Serikat yang pada tahun 1950-an pernah menjadi staf USIS (Kantor Penerangan AS), dalam Hikayat Jakarta menulis, ”Jakarta sesungguhnya tidak termasuk dalam daftar ibukota besar di dunia yang paling menarik dan menggiurkan bagi wisatawan asing. Namun andaikata diadakan indeks kota-kota sedemikian rupa, sehingga terlihat sebuah kota yang pengunjungnya dapat memperoleh sekilas pengetahuan yang memuaskan dan menakjubkan tentang kondisi manusia dengan alamnya, Jakarta tentu berada di salah satu tempat teratas dan terhormat.
Hal yang paling mudah dicapai apabila orang dengan santai berhadapan dengan pribadi orang Jakarta yang terkenal ramah. Hal ini dicerminkan oleh gigi putih cemerlang anak-anak jalanan Jakarta, yang seakan-akan tidak dapat dikalahkan oleh kemiskinan yang mereka derita.” Keramahan warga Jakarta juga mendapat pujian dari Louis Fischer, wartawan dan penulis terkemuka AS ketika berkunjung akhir 1950-an selama subulan. Dalam A Story of Indonesia, ia menulis, ”Saya melihat lebih banyak orang Indonesia menampakkan giginya tersenyum selama sebulan, katimbang setahun di Eropa dan Amerika Serikat.” Apa yang dikemukakan ketiga pengarang asing dalam bukunya itu, saat ini sudah bertolak belakang.
Tidak seperti tahun-tahun 1950-an dan 60-an, Jakarta yang kini berusia 475 tahun, termasuk salah satu kota di dunia yang angka kriminalitasnya cukup tinggi. Perampokan, pembunuhan, penjambretan, dan berbagai kejahatan lainnya sudah menjadi berita sehari-hari di media massa. Premanisme berkeliaran di mana-mana. Sekalipun pelaku kejahatan ini sudah banyak yang ditembak mati dan dihakimi langsung oleh masyarakat, tapi jumlah kejahatan tidak pernah berkurang.
Malah makin bertambah. Jakarta yang pada tahun 1960 berpenduduk 2,6 juta jiwa, kini menjadi 14 juta (pagi hari), dan 11 juta (malam hari). Berarti ada 3 juta penduduk yang mobile dan bermukim di Bodetabek, tapi mencari nafkah sehari-hari di Jakarta. Kita dapat saksikan dari berjubelnya penumpang KRL Jakarta – Bogor atau Jakarta – Bekasi tiap hari. Di Jakarta sendiri, mereka rela tinggal berdesakan dengan kondisi lingkungan yang makin rusak. Air tanah kian terancam pencemaran.
Sementara 13 sungai yang yang bermuara di Teluk Jakarta yang selama ratusan tahun memenuhi kebutuhan hajat orang banyak kini sudah menjadi got besar. Penuh sampah dan berbau. Padahal Ibukota pernah mendapat julukan kota air, atau Venecia dari Timur. Ekosistem juga kian rusak akibat hutan lindung berubah fungsi menjadi pemukiman mewah. Hingga banjir semakin meluas. Begitu pula nasib belasan ribu hektar rawa dan situ. Sudah tidak lagi menjadi daerah resepan air karena telah berubah fungsi jadi pemukiman. Termasuk yang dibangun para cukong real estate.
Sementara dari daerah-daerah, orang makin berbondong masuk Jakarta. Sedangkan kue rezeki tidak bertambah besar, malah menciut sejak Krismon 1997, dan juga karena kue yang mengecil itu digerogoti tikus-tikus koruptor yang rakus. Akibatnya beban kota Jakarta bertambah berat. Sekalipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan arus urbanisasi yang laju begitu pesat, tapi tidak pernah berhasil. Tiap tahun sekitar 300 ribu hingga 400 ribu pendatang baru memasuki kota ini. Akibatnya, Jakarta penuh sesak dengan sektor informal yang saling rebutan untuk mencari nafkah.
Hingga tidak heran, para pedagang K-5 menggelar dagangan ke badan-badan jalan. Tidak peduli mengganggu lalu lintas. Sebenarnya mereka tahu bahwa perbuatannya itu melanggar, tapi ketika dikutip distribusi, para pedagang K-5 merasa perbuatannya itu dibenarkan. Karenanya, ketika mereka ditertibkan mereka pun nekat melakukan perlawanan. Lajunya urbanisasi ini berdampak dengan meningkatnya gangguan keamanan.
Yang dalam sejarah kota ini belum pernah separah sekarang. Hal ini ikut mendorong merosotnya kedatangan wisatawan dari mancanegara. Pengelola pariwisata sendiri seolah-olah sudah angkat tangan. Apa pun usaha yang mereka lakukan untuk menggalakkan kedatangan para wisman selalu gagal karena faktor keamanan itu. Karena itulah, para calon gubernur DKI, termasuk delapan calon dari Bamus Betawi telah mengedepankan masalah keamanan bila mereka terpilih. Maksudnya, agar Jakarta nantinya kembali sebagai kota yang ramah, aman, berbudaya, dan religius.
REPUBLIKA – Minggu, 16 Juni 2002
Tinggalkan Balasan