Film, lagu, dan goyang India makin mendominasi dunia hiburan di Tanah Air. Ini menunjukkan bahwa seni budaya negeri Hindustan memiliki banyak penggemar. Kita kutip pendapat Suresh G Vasmani dari Gandhi Memorial Internasional School saat berceramah di gedung Museum Sejarah Jakarta. Setidak-tidaknya, menurut Vasmani, budaya India telah masuk ke Nusantara sejak abad ke-4 sampai ke-11 Masehi melalui perdagangan antara subkontinen India dan Sriwijaya. Migran pertama warga India ke Indonesia tersebut berasal dari India Selatan.
Karena mereka dari kasta Brahma dan Ksatria, mereka hanya berhubungan dengan raja-raja dan kaum ningrat. Maka, masuklah pengaruh India ke istana-istana. Dalam kaitan ini, Vasmani mencontohkan epik Ramayana dan Mahabrata. Bentuk dan coraknya berbeda. Hanoman dalam versi Ramayana merupakan putra dari Dewa Angin, sedangkan menurut versi Indonesia anak Dewa Matahari. Ini karena masyarakat di sini lebih melambangkan matahari ketimbang angin.
Waktu itu, kata Vasmani, sistem pemerintahan di seluruh Jawa dipengaruhi konsep raja yang dianut budaya Hindu. Jakarta sendiri pada abad ke-5 berada di bawah Tarumananegara, kerajaan tertua di P Jawa. Dalam prasasti di Desa Tugu, Cilincing, Jakarta Utara, disebutkan Raja Purnawarman yang beragama Hindu mengadakan kenduri (selamatan) dengan menyembelih 1.000 ekor kambing saat membangun irigasi dari Bekasi ke Tangerang. Hingga kini acara-acara selamatan semacam itu masih membudaya.
Demikian pula acara ‘mempersembahkan’ ancak berupa telur, lisong, dan sejumlah makanan untuk meminta apa yang mereka sebut ‘keselamatan’, seperti yang kita saksikan di film-film India saat pemujaan di kuil. Menurut Vasmani, presentasi musik dan penari yang terukir di candi-candi seperti Borobudur dan Prambanan menunjukkan filosofi India memang sangat dekat dengan adat istiadat Indonesia. Jika pada abad ke-4 sampai ke-11 para imigran India dari kasta elite yang mengembangkan agama Hindu, maka pada abad ke-14 sampai ke-17 datang para pedagang Islam dari Gujarat dan Pantai Malabar.
Sampai kini masih dapat kita jumpai dua masjid tua di Jakarta yang dibangun Muslim India ini. Masjid Al-Anshor dan Masjid Kampung Baru. Keduanya terletak di Kelurahan Pekojan, dekat Glodok, Jakarta Barat. LWC van den Berg, sarjana Islamologi asal Belanda yang pada 1884-1886 mengadakan riset di Pekojan, menyimpulkan sebelum dihuni para imgiran Arab dari Hadramaut, di Pekojan lebih dulu tinggal para imigran dari India.
Nama Pekojan sendiri, kata van den Berg, berasal dari kata ‘Koja’ (penduduk asli Hindustan). Di Pekojan dulu terdapat Gang Koja. Sekalipun kini berganti nama jadi Jl Pengukiran II, rakyat setempat masih menyebut Gang Koja. ‘Koja’ merupakan sebutan populer kala itu untuk menyebut keturunan India di Pekojan. Sekarang jangan harap kita dapat menemui orang India di sini. Bahkan, keturunan Arab yang pernah jadi mayoritas di Pekojan menggantikan orang India pun kini berbalik jadi minoritas.
Mendatangi Masjid Al-Anshor (dibangun 1648), masjid pertama yang dibangun para imigran Muslim India, kekunoannya terlihat bila kita memasuki bagian dalam. Ada empat buah tiang penyangga yang masih terpelihara baik. Ini menjadi tanda masjid itu dulunya merupakan mushala berukuran 10 X 15 meter, seperti juga masjid-masjid tua lainnya sebelum diperluas. Di belakang mihrab masjid ini terdapat tiga makam tua.
Mereka para pendiri masjid tersebut. Hanya sekitar satu kilometer dari Masjid Al-Anshor, di Jl Bandengan Selatan, Kel Pekojan, terdapat sebuah masjid lebih besar. Masjid Kampung Baru, itu namanya, didirikan 100 tahun (1748) setelah Al-Anshor. Letaknya sekitar 700 meter dari Masjid An-Nawir, masjid terbesar di Pekojan. Menurut keterangan, orang-orang Muslim India di Jakarta tiap Idulfitri shalat di masjid ini. Sambil berlebaran, mereka bernostalgia mengingat para leluhurnya yang dulu tinggal di dekatnya.
Dengan munculnya revolusi industri pada pertengahan abad ke-19, menurut Vasmani, terjadi pola migrasi dari India. Mereka yang datang adalah para pekerja (kuli) yang sangat dibutuhkan pemerintah kolonial Belanda. Mereka etnis Tamil dari India Selatan. Di Medan mereka tinggal di perkampungan Keling, dan penduduk menyebutnya ‘orang keling.’ Mereka umumnya pekerja kasar seperti penarik becak dan kuli bangunan. Sesudah perang dunia (PD) pertama, kembali terjadi migrasi dari India ke Indonesia. Mereka para pedagang dari Sind (India Utara).
Setelah PD ke-II, banyak keluarga korban perang saudara di India (saat pemisahan dengan Pakistan 1947) mencari kehidupan baru di Jakarta. Pada waktu bersamaan banyak tentara India beragama Islam menetap di Indonesia, setelah mereka ikut pasukan sekutu menjaga keamanan setelah Jepang kalah perang. Vasmani memperkirakan di Jakarta terdapat sekitar 2.000 KK keturunan India. Namun, mereka sudah menyebar, terbanyak bermukim di kawasan Pasar Baru dan Pintu Air.
Mereka umumnya pedagang tekstil, penjahit, dan pedagang alat-alat olahraga. Para pedagang yang berasal dari Sind dan Punjab di Hindia Utara ini merupakan pengusaha yang cukup mapan dibandingkan para pendatang lainnya. Mengingat pengaruh India sejak berabad-abad ini, tidak mengherankan kalau film, musik, dan tarian India banyak disenangi. ”Apalagi orang Betawi sangat toleran. Saya yang beragama Hindu sama sekali tidak terpengaruh dan bergaul baik dengan mereka,” kata Suresh G Vasmani.
REPUBLIKA – Minggu, 08 September 2002
Tinggalkan Balasan