Inilah Lapangan Banteng tempo doeloe. Terlihat beberapa kereta berkuda dengan bebas melewati lapangan tersebut. Pohon-pohon rindang terlihat di sekeliling lapangan terluas kedua di Jakarta setelah Monas. Ketika itu, sebuah monumen berdiri tegak yang sekarang ini letaknya kira-kira diujung Jl Perwira sejajar dengan Departemen Agama.
Monumen ini didirikan untuk mengenal Mayor Jenderal Andres Victor Michiels, seorang komandan di Sumatera Barat, yang tewas ketika bertugas memadamkan pemberontakan di Bali pada 23 Mai 1849. Monumen yang terletak di ujung bagian barat Lapangan Banteng, kala itu bernama Willemlaan (kini Jl Perwira). Monumen kolonial ini dihancurkan pada masa Jepang (1942-1945). Di sampingnya tampak gereja Katedral dengan menaranya yang menjulang tinggi.
Berdampingan dengan katedral pada tahun 1960’nm Bung Karno mulai membangun Masjid Istiqlal, yang sebelumnya sebuah benteng Belanda. Pada masa Belanda lapangan ini disebut Waterlooplein, untuk mengejek kekalahan Napoleon Bonaparte di Waterloo, Belgia (1815). Sampai tahun 1960’an, banyak warga masih menyebut jalan di sekitar lapangan Banteng Waterlooplein. Sedangkan lapangannya sendiri disebut lapangan Singa, karena terdapat tugu berupa patung singa di atasnya, yang diruntuhkan pada masa penjajahan Jepang. Presiden Soeharto pada 1963 membangun Tugu Pembebasan Irian Barat, tepat di atas tugu singa.
Keberadaan lapangan ini berkat jasa gubernur jenderal Willem Herman Daendels (1808-1811), ketika ia memindahkan Batavia Lama (Pasar Ikan dan Kota), ke daerah lebih sejuk: Weltevreden. Batas-batas Weltevreden (Ibu kota baru) ketika itu adalah: sebelah utara Postweg (kini Jl Pos) dan Schoolweg (Jl Dr Sutomo), sebelah timur de Grote Zuindenweg (Gunung Sari dan Pasar Senen), sebelah selatan Jl Kramat Raya sampai Jl Parapatan, dan sebelah barat sungai Ciliwung.
Ketika Daendels diangkat sebagai gubernur jenderal dan memindahkan Batavia ke Weltevreden, ia mendapat tugas untuk membangun daerah baru itu sebagai pusat pertahanan militer di tanah Jawa. Karenanya, pada saat Daendels lapangan ini disebut Lapangan Parade. Tiap Minggu sore dengan diiringi orkes dari korps musik militer, kesatuan-kesatuan berparade di sini. AWP Weisel, dalam bukunya Batavia 1858 menulis: ”Korps musik garnizun Batavia yang terlatih baik mempergelarkan beberapa reportoir yang indah dengan sangat baik.” Orkes itu, tulis Weisel, seperti berada di tengah sebuah taman parkir, dikelilingi deretan kereta. Ketika itu, delman dan sado yang ditarik oleh dua, empat, sampai delapan ekor kuda, merupakan kendaraan golongan elite. Mereka yang datang bersama dan keluarga menonton parade disertai para budak yang memayunginya.
Sebelum adanya Lapangan Parkir Timur Senayan yang dibangun dalam rangka Asian Games (1962), lapangan Banteng jadi kegiatan latihan militer. Bahkan ketika itu, acara Hari ABRI diadakan di lapangan ini. Pada saat Pemilu lapangan ini juga menjadi salah satu ajang kampanye dari partai-partai politik. Konon nama banteng untuk lapangan ini diberikan oleh Bung Karno. Ia dalam berbagai pidatonya sering menyatakan: ”Bangsa Indonesia adalah bangsa banteng dan bukan bangsa tempe”
Rupanya nama banteng bukan hanya karena ia merupakan semangat dari patriotisme bangsa Indonesia, tapi punya kisah tersendiri bagi lapangan ini. Dahulu, di sekitar lapangan ini pernah dihuni banteng sebagai satwa liar. Ketika pada abad ke-17, Anthony Pavillioen membeli tanah di situ, Batavia masih dikelilingi hutan lewat. Bukan hanya banteng, tapi juga badak, babi, dan berbagai jenis satwa lainnya banyak berkeliaran.
Dikabarkan pada 1692, tiga pria yang baru datang dari Eropa hanya sempat menyelamatkan diri dengan memanjat tiang gantungan dari sebuah kali ketika diterkam seekor buaya. Pada 1659, 14 orang yang sedang menebang kayu di sini menjadi mangsa harimau. Melihat ancaman binatang buas, pemerintah Hindia Belanda pada 1762 memberikan hadiah kepada para pemburu yang membunuh 27 ekor macan dan harimau kumbang di tempat ini. Karena itulah, lapangan Banteng ketika itu juga menjadi tempat bagi pemburu binatang buas.
REPUBLIKA – Sabtu, 28 Januari 2006
Tinggalkan Balasan