ABRI baru saja merayakan ulang tahunnya ke-57. Masih dalam rangka HUT ABRI, ada beberapa catatan menarik tentang Jenderal TNI Mohammad Jusuf, Menhankam/Pangab periode 1978-1983. Kala itu, jenderal kelahiran Bone, Sulawesi Selatan 74 tahun lalu, namanya kerap muncul di berbagai media massa.
Dialog-dialognya dengan para prajurit yang kerap disiarkan TVRI sering membuat tawa para pemirsa. Bahasanya merakyat dengan dialek Bugis. Tegur sapanya kepada para prajurit spontan, akrab, dan tidak bersifat basa-basi, sifat yang tidak disenanginya. ”Berapa anakmu? Sudah kawin apa belum? Mau pilih putri Solo, atau Irian? Senjatamu sudah kau bikin bersih?
Ia juga sangat memperhatikan kesejahteraan prajurit dan keluarganya. Misalnya, dengan menaikkan uang lauk pauk, ditambah makanan ekstra segelas susu dan bubur kacang ijo. Dalam rangka ini, hampir di tiap pelosok daerah yang dikunjunginya ia tidak pernah melewatkan waktunya mendatangi barak-barak prajurit. ”Ini harus segera dibongkar,” katanya saat inspeksi asrama Batalyon Infanteri Para 733 Kodam Pattimura, Ambon, pertengahan 1978. ”Kasihan, orang-orang ini harus diberikan asrama yang baik hingga mereka dapat berteduh dengan layak.
Jangan begini ah,” ujarnya kepada para pejabat setempat menyaksikan kondisi asrama yang sangat menyedihkan, dan atapnya sudah bolong-bolong. Karena itulah dalam kunjungan dan inspeksi ke daerah-daerah Asisten Logistik Hankam, Laksanama Muda Kasenda selalu menyertainya. Dalam masa jabatannya ia banyak memperbaiki asrama militer dan keluarganya. Selama lima tahun dua bulan menjabat Menhankam/Pangab, menurut seorang perwira staf Hankam, jenderal berbintang empat ini melakukan 411 hari perjalanan, dan 172 kali kunjungan kerja.
Dia menempuh jarak 583.122 km dan yang menelan waktu 1.233,22 jam. Lama dan waktu perjalanan yang mungkin belum tertandingi oleh pejabat manapun hingga saat ini. Di Banjarmasin, seperti dituturkan wartawan AB Abdullah Meliala yang kerap mengikuti inspeksi Menhakam, ketika berada di Kodak 16 Kalimantan Tengah di antara regu jaga yang ditemui jenderal Jusuf ada seorang anggota yang menggunakan sepatu lain dari kawan-kawannya. ”Itu sepatu kau beli sendiri kan? Tidak boleh begitu, Kau kan sudah dapat sepatu. Jangan pakai itu ya.
Itu sepatu koboi ….,” ujarnya sambil menunjuk sepatu si prajurit dengan tongkatnya. Masih dalam regu tersebut, tutur Abdullah Meliala, Menhankam menemukan seorang prajurit yang menggunakan pakaian dari bahan tetoron. ”Hei ini kau beli sendiri kan. Itu tidak boleh. Lain kali kau jangan pakai. Nanti kau akan dapat dua stel.” Bahkan, ketika ia menemukan seorang prajurit yang perutnya membuncit, prajurit ini pun menjadi sasaran tegorannya. ”Perutmu jangan gendut begitu. Kempiskan perutmu dan kau musti banyak jalan pagi. Perut gendut begini susah kalau latihan merayap.
” Biasanya teguran ini dijawab: ”Siap jenderal!” Dibawah ini sedikit cuplikan dialog antara Jenderal Jusuf dengan seorang prajurit di Parkir Timur Senayan saat ulang tahun Kostrad. ”Kau sudah kawin belum?” ”Belum jenderal.” ”Sudah punya pacar?” ”Belum jenderal.” ”Kau sudah pernah jalan-jalan dengan perempuan?.” ”Sudah jenderal.” ”Kalau berjalan dengan perempuan apanya saja yang kau pegang?”
”Malu jenderal.” ”Jangan malu-malu ayo bilang.” ”Ininya jenderal,” kata si prajurit sambil memegang dadanya. Gerr …. maka seluruh prajurit dan undangan pun tertawa. Pak Jusuf juga dikenal dekat dengan wartawan. Pada malam hari, ia kerap mengecek kamar-kamar tempat para wartawan menginap. ”Sedang ngapain kamu,” tanyanya melalui telepon. ”Sedang membuat berita,” jawab si wartawan. ”Kok, aku dengar ada suara perempuan di kamarmu.” Yang dijawab : ”Bukan Pak. itu suara televisi.”
Ia memang tidak senang jika ada anggota rombongannya main perempuan. Jenderal yang pernah menjabat Pangdam XIV/Hasanuddin ini juga tidak senang terhadap rokok. ”Jangan merokok, nanti pendek umurmu,” nasihat yang sering disampaikannya. Ia juga memperhatikan dan membaca hasil-hasil liputan pers mengenai kegiatannya. Dalam perjalanan ke daerah-daerah tiap pagi ia dikirimkan koran dari Mabes Hankam. Dalam kaitan ini ada pengalaman yang dialami wartawan Berita Yudha Nardi Sahib.
Pasalnya, ia pernah ditegor oleh Jenderal Jusuf akibat berita yang ia kirimkan ke redaksinya di Jakarta dimuat hanya satu alenia kecil. ”Sudah makan gratis, naik pesawat gratis, hotel gratis, kok beritanya kecil,” ujar Pak Jusuf pada wartawan Berita Yudha. ”Saya straf ya kamu. Jangan kasih makan nanti. ” kata pak Jusuf pada stafnya. Tapi, Pak Yusuf kemudian mencabut kembali larangannya itu. Bahkan, kepada rekan-rekan wartawan lainnya ia menyatakan telah memberikan grasi (pengampunan) pada Nardi Sahib. ”Straf kepadanya telah saya hapus,” katanya dihadapan wartawan. Sebagai tanda penghapusan hukuman ini ia pun memberikan sebuah jeruk besar kepada rekan Berita Yudha itu.
Menjelang akhir periode pertama masa jabatannya, banyak yang memperkirakan perwira tinggi yang berperan dalam keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 ini akan diperpanjang masa jabatannya. Tapi, faktanya ia digantikan oleh Jenderal LB Moerdani. Banyak yang mengatakan, Pak Harto tidak ingin tersaingi. Apalagi kala itu Jenderal Yusuf begitu populer dan hampir tiap hari muncul di media massa. Dan, bangsawan Sulawesi Selatan yang menanggalkan gelar Andi-nya itu kemudian diangkat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
REPUBLIKA – Minggu, 06 Oktober 2002
trimakasih infonya
same-same