Sekitar 350 tahun lalu, ketika Gubernur Jenderal JP Coen membangun Batavia, ia meniru kota-kota di negerinya. Contoh yang masih kita temui adalah Gedung Stadhuis (balai kota) di Jl Falatehan I, Jakarta Barat, meniru gedung dengan fungsi yang sama di Amsterdam. Beberapa ratus tahun kemudian, ketika kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat, dibangun 1920-an sampai 1940-an bercitra Hollandse villa’s op Indische Grond (vila Belanda di tanah Hindia).
Seorang arsitek Belanda, Ir HP Berlage, pada 1928 ketika ke Menteng merasa seakan-seakan berada di Hilversum (kota tempat kelas atas di Belanda). Kawasan ini dibangun untuk menampung orang Belanda yang kala itu banyak berdatangan ke Batavia karena banyaknya industri dan perdagangan.
Sampai 1958 di Batavia terdapat dua surat kabar Belanda, yaitu Java Bode dan Nieuwsgeer. Itu menunjukkan banyaknya warga Belanda di sini. Di antara mereka, terutama Indo-Belanda, banyak tinggal di kampung-kampung. Tidak heran gaya hidup mereka, termasuk cara berpakaian dan bersolek, banyak ditiru masyarakat.
Awal 1960-an saat hubungan RI-Belanda putus akibat persoalan Irian Barat (Papua), Bung Karno mengganti nama-nama berbau Belanda. Contohnya, wartawati Antara, Itje Syamsuddin, diganti jadi Ita Syamsuddin. Rima Melati adalah nama yang diberikan Bung Karno pada artis film ini. Sebelumnya, ia bernama Lience Tambayong.
Masih banyak lagi nama selebritis beken kala itu yang diganti namanya oleh presiden pertama RI ini. Demikian pula nama-nama tempat hiburan berbau asing, seperti Princen Park jadi Lokasari, Bioskop Metropole jadi Megaria, dan Astoria jadi Satria. Masih ratusan nama lagi yang diganti namanya mengikuti arus nasionalisme yang masih tinggi kala itu. Termasuk nama-nama grup musik dan larangan musik ala The Beatles dan rock n’roll.
Wanita Indo kala banyak berambut sasak, model rambut mumbul ke atas. Pada Masa Bung Karno rambut model ini terlarang. ”Ganyang sasak,” teriak pemuda-pemuda kelompok kiri bila mendapati para ibu atau gadis berambut demikian di jalan. Wanita Indo juga senang main bola keranjang (semacam basket sekarang). Mereka main di Lapangan Singa (kini Banteng) dan Ikada (Monas). Tiap pertandingan, sekalipun hanya latihan, penontonnya selalu banyak. Mereka lebih banyak ingin menonton para noni bercelana pendek dan pahanya yang mulus. Karenanya, timbul istilah ”mata keranjang”.
Masa itu juga banyak dibangun kolam renang atau swembad, kata orang Betawi. Seperti di Cikini (kini bagian dari TIM), Manggarai (kini pertokoan Sarinah Jaya), dan Princen Park (Lokasari). Orang Betawi sekalipun suka berenang di Ciliwung, tapi di antara mereka banyak yang ke swembad. Tapi, gadisnya masih jarang karena tabu memakai pakaian renang seperti gadis Belanda. Hingga ada istilah kala itu pergi ke swembad berarti ”cuci mata”.
Orang Belanda dikenal sangat gila bola. Mereka memiliki kelebihan fisik karena postur tubuhnya tinggi-tinggi. Di Jakarta pada 1950-an banyak perkumpulan sepak bola Belanda. Seperti VIOS yang memiliki lapangan di Stadion Menteng dan kini menjadi Lapangan Persija, di samping BVC, Hercules, dan Oliveo. Karenanya, banyak istilah bola yang berasal dari Belanda, seperti trekbal, losbal, 12 pas passen, dan kini penalti. Dobrak doorgebraakt, senterpoor center voor), atau penyerang tengah.
Sebelum 1958, saat hubungan RI-Belanda putus dan warga Belanda/Indo kembali ke Nederland, banyak di antara mereka merupakan pemain yang tangguh. Seperti kiper Van der Vin, yang pernah menahan penalti penyerang Uni Soviet kala itu. Ada Van Der Berg yang merupakan bek kiri yang sukar dilewati. Atau Boelard van Tijl yang tendangannya tidak kalah dengan David Beckham hingga sulit dibendung lawan. Kala itu, seperti layaknya Liga Eropa, tiap kesebelasan punya divisi utama, divisi satu, sampai divisi empat.
Indo dan Belanda banyak memelihara anjing. Tidak heran kalau di depan rumah mereka tertulis kata-kata: ”Awas anjing galak.” Orang Betawi menyebut anak Belanda sinyo dan noni atau non untuk gadis. Untuk orang dewasa mereka memanggil tuan atau meneer dan nyonya atau mevrouw untuk wanita. Salah satu sifat Belanda yang tidak disenangi kala itu, mereka suka mabuk-mabukan. Apalagi, saat malam Natal dan Tahun Baru, diselingi pesta dansa semalam suntuk, yang kini sudah menjadi budaya kita.
REPUBLIKA – Rabu, 03 September 2003
Tinggalkan Balasan