Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta tengah meneliti sekitar 300-an bangunan di ibu kota yang akan dilestarikan sebagai cagar budaya. Untuk itu, telah dibentuk sebuah tim untuk meneliti jumlah yang akan dilestarikan. Yang terbanyak dari kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Menteng mulai dibangun tahun 1920-an bersamaan dengan Gondangdia oleh perusahaan real estate NV De Boewploeg yang kantornya kini jadi Masjid Cut Meutiah. Nama Gondangdia hingga kini tetap bertahan sekalipun berganti nama Jl RP Suroso.
Berdasarkan peta 1874, Jl Kebon Sirih (Jakarta Pusat) menandakan batas selatan Kota Batavia. Menurut peta tersebut, Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, yang pernah menjadi kediaman pelukis Raden Saleh, sudah dikembangkan sebagai ‘Kebon Tanaman dan Binatang.’ Kebun Binatang tersebut hingga kini masih menjadi nama jalan di Cikini, Jakarta Pusat. Kemudian, dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan, oleh Gubernur Ali Sadikin.
Ketika Menteng dibangun sebagai kawasan elite Eropa, para penduduknya, warga Betawi, dipindahkan ke Karet, Jakarta Pusat. Mereka yang tergusur itu telah meninggikan tuntutan ganti rugi dari lima sen menjadi lima perak (gulden) per meter persegi. Kita perlu mengacungkan jempol pada Syarikat Islam (SI) yang dengan gigih membela para penduduk hingga mereka mendapat ganti rugi yang layak saat penggusuran.
Rumah-rumah Menteng ini dirancang dalam gaya vila Belanda yang disesuaikan dengan iklim tropis. Adolf Heyken SJ dan Grace Pamungkas ST dalam buku ”Menteng Kota Taman Pertama di Indonesia” mengutip pernyataan Ir HP Berlage, tokoh arsitek Belanda tahun 1920-an. Saat berkunjung ke Batavia (1928), Barlage yang ditugaskan sebagai penasihat perkembangan Kota Batavia menyebutkan, ”Menteng sebagai Europese Buurt (lingkungan Eropa), mirip dengan Minervalaan kawasan sangat elite di selatan Kota Amsterdam.”
Kalau kawasan di Amsterdam itu luasnya hanya 30 hektare, Menteng lebih dari 600 hektare. Meskipun sudah puluhan kawasan permukiman baru dan modern dibangun di ibu kota akhir-akhir ini, Menteng tetap merupakan permukiman elite, tempat kediaman orang-orang bergengsi, mulai dari presiden hingga pengusaha terkemuka. Sebelum dibangun Jl Rasuna Said di Kuningan (1970-an), boleh dibilang hampir seluruh korps diplomatik dan kedutaannya berada di Menteng. Pada awal pembangunannya para ”raja minyak” dan ”raja kopi” tempo doeloe tinggal di Menteng. Dari sini mereka dapat sampai ke kantornya di Gambir hanya dalam tempo 10 menit.
Berhadapan dengan Taman Surapati dalam sebuah rumah besar dan pekarangan luas merupakan tempat tinggal dubes AS. Konon sebelumnya merupakan tempat tinggal ”raja minyak” Stanvac. Dalam tahun 1960-an, demo-demo anti-AS lebih sering mendatangi tempat ini katimbang kedubesnya di Merdeka Selatan. Adolf Heyken yang tinggal di kawasan Menteng sejak akhir 1960-an menuturkan, ”Menteng selain Bulevar Imam Bonjol dan Diponegoro merupakan kawasan permukiman yang tenang. Sangat nyaman duduk di teras di muka rumah pada sore dan malam hari sambil memandangi jalan melalui pagar hidup rendah, membaca koran, atau terima tamu.”
Menteng kala itu, tulis Heyken masih dalam suasana sepi, kecuali bunyi tok-tok penjual bakso, teriakan sate, dan kencring-kencring tukang pijit yang lewat. Menaiki sepeda dari Kwitang ke Menteng pada 1950-an dan 1960-an, saya merasakan betapa teduhnya kawasan ini. Di kiri-kanan terdapat pepohonan hijau royo-royo tertata rapi, sementara jalan-jalan tampak bersih. Namun, akhir-akhir ini berjalan kaki dengan aman sudah merupakan hal mustahil. Bisa-bisa diserempet sepeda motor yang telah menyerobot jalur pejalan kaki. Belum lagi kemacetan lalu lintas yang hampir merata hingga membuat polusi. Sudah hampir tidak berbekas lagi julukannya sebagai ”kawasan taman kota”.
Bahkan, kini sejumlah penghuninya sering terusik, bukan saja karena kenakalan para remaja, tetapi juga makin maraknya prostitusi para banci, atawa bencong yang kini diperhalus istilahnya jadi waria. Tidak heran dalam seminar tentang Menteng beberapa waktu lalu sejumlah penghuni mengatakan kegiatan para waria ini sudah keterlaluan. ”Masa warga yang tinggal di depan tempat mereka mangkal ikuit-ikutan digoda. Bahkan, dicolak-colek segala,” kata seorang warga.
Seorang peserta menyatakan, para waria ini sering berteriak-teriak hingga menjelang subuh, membuat para penghuni kaget. Pada 1980-an pernah diadakan beberapa kali razia terhadap waria di sekitar Jl Latuharhari, Menteng. Tapi, karena menghindar dari tangkapan polisi, para waria nekat melarikan diri dan terjun ke Kali Malang, di depan jalan tersebut. Akibatnya, seorang waria yang tidak bisa berenang mati tenggelam. Karena berita ini mendapat reaksi keras dari pers, konon sejak itu aparat tidak berani lagi mengadakan razia.
REPUBLIKA – Rabu, 17 September 2003
Tinggalkan Balasan