Sebuah televisi swasta akhir pekan lalu menayangkan dua bocah belasan tahun dibekuk kepolisian Makassar karena mencuri ayam. Menurut pengakuan, mereka melakukan perbuatan ini karena perlu biaya untuk meneruskan sekolahnya. Salah seorang menyatakan kelak ingin jadi dokter.
Hampir waktu bersamaan, Hariyanto (12 tahun), murid kelas V SD di Garut, Jawa Barat, mati gantung diri. Bocah ini mengakhiri hidupnya akibat malu karena orang tuanya tak punya duit untuk membayar biaya ekstrakurikuler Rp 2.500. Sistem pendidikan di Indonesia memang tidak memihak rakyat kecil. Dalam keadaan ekonomi morat-marit, banyak orang tua yang tidak mampu membiayai sekolah putra-putrinya. Bukan rahasia lagi, untuk masuk TK sampai perguruan tinggi mereka harus membayar jutaan rupiah.
Tingginya biaya pendidikan ini sangat kontras dibandingkan tahun 1950-an sampai 1960-an. Saat di SR (Sekolah Rakyat) dan kemudian SMP pada masa-masa tersebut, saya hampir tidak pernah membayar uang sekolah. Murid SR (kini SD) tiap pagi mendapatkan jatah satu gelas susu. Bila sakit, dengan surat dari kepala sekolah, kami dari SR Jl Kramat III dapat memeriksa kesehatan gratis ke poliklinik di Jl Kramat VI, Jakarta Pusat.
Sopingi (62), pensiuanan kepala SMP Negeri di Jakarta Selatan, membenarkan bahwa di masa-masa lalu sekolah umumnya gratis karena subsidi pemerintah. Bahkan, Sopingi yang telah dua tahun pensiun setelah 33 tahun jadi guru masih ingat kala uang kuliah di Universitas Indonesia (UI) hanya Rp 240 per tahun. Padahal, kata kakek yang kini tinggal di Depok ini, masa itu keadaan ekonomi jauh lebih buruk dari sekarang. Contohnya, masih banyak siswa SR (SD) yang kesekolah telanjang kaki.
Kala itu uang jajan sepicis (10 sen). Uang segobang (dua setengah sen) masih cukup berharga. Pengalaman saya waktu di SMP, dari uang jalan harian bisa nonton di Megaria. Yang sangat berbeda antara sekolah tempo doeloe dan sekarang adalah soal kendaraan. Sampai 1960-an, para siswa ke sekolah naik sepeda. Belum ada yang bermotor, apalagi bermobil. Pada masa itu, seringkali diadakan pertandingan kasti antarsekolah. Karena lapangan-lapangan belum digusur, juga ada pertandingan sepak bola antarsekolah dan antarkampung. Tidak heran, tahun 1950-an PSSI merupakan kesebelasan yang tangguh dan disegani di Asia.
Pada awal 1950, saat baru saja penyerahan kedaulatan dari Belanda, 90 persen rakyat masih buta huruf (BH). Karenanya, di kampung-kampung melalui RT dan RK (kini RW),digalakkan gerakan pemberantasan BH. Sementara itu, Belanda baru mulai membangun sekolah awal abad ke-20 saat banyaknya modal asing dan industri dibangun di Hindia Belanda. Untuk itu, perlu pekerja berpendidikan.
Khusus untuk pribumi, mula-mula didirikan sekolah desa dengan lama pendidikan tiga tahun. Sekadar bisa baca, nulis, dan berhitung. Kemudian, dibuka sekolah sambungan (vervolgscholen) dengan lama pendidikan lima tahun dan kemudian ditingkatkan menjadi enam tahun. Semuanya dengan pengantar bahasa Melayu (kini Indonesia).
Pada masa Hindia Belanda, Normaalschool merupakan sekolah pendidikan tertinggi yang dapat dicapai mereka yang sekolah Melayu. Pemerintah Kolonial lebih mengistimewakan sekolah yang menggunakan pengantar bahasa Belanda, seperti HIS (Hollands Inlandse School) setingkat SD sekarang. Sekolah ini khusus untuk anak pribumi. Tapi, yang diterima tidak sembarang orang. Khusus untuk anak-anak golongan ningrat atau priyayi.
Untuk anak Belanda/Eropa atau mereka yang disamakan kedudukannya dengan Eropa didirikan Europse Lager School (ELS). Setamat HIS atau ELS dapat melanjutkan ke MULO (SMP). Kemudian, ke AMS (SMA). Dari HIS-ELS para murid juga dapat melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School) dengan lama pendidikan lima tahun. Sejak di HBS para siswa sudah diwajibkan menguasai bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Tidak heran, bila Bung Karno dalam usia belum 20 tahun saat di HBS sudah membaca buku dan literatur dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Demikian pula H Agus Salim.
Awalnya, jika pelajar ingin lanjutkan ke perguruan tinggi, ia harus ke Belanda. Tapi, pada 1924 didirikan Technische Hoge School (Sekolah Teknik Tinggi) di Bandung atau ITB sekarang. Pada waktu bersamaan di Batavia didirikan Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hakim). Kini gedungnya ditempati Departemen Hankam di Jl Merdeka Barat.
Tiga tahun kemudian berdiri Sekolah Tinggi Kedokteran yang kini menjadi Fakultas Kedokteran UI di Salemba. Sebelumnya, pada 1851 berdiri STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera) yang pada 1908 para siswanya mendirikan gerakan Budi Utomo, yang dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Kalau dilihat pendidikan nasional hanya untuk kepentingan kelompok-kelompok bangsawan atau priyayi, tapi apa bedanya dengan sekarang? Pendidikan sekarang hanya dinikmati kelompok berduit, sementara yang miskin harus tersingkir.
REPUBLIKA – Rabu, 27 Agustus 2003
Tinggalkan Balasan