Kalau saja Bung Karno dapat dibangunkan kembali dari kuburnya, tentu ia akan risau, bahkan gusar melihat moral anak bangsa sekarang. Cobalah lihat acara di televisi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun sempat menyatakan perang terhadap pornografi yang dinilai makin marak di tayangan televisi-televisi. ”Pornografi sumber maksiat yang harus diperangi,” demikian pernyataan MUI. DPR setuju untuk membahas RUU Antipornografi akibat kebebasan berekspresi yang kebablasan.
Dalam kaitan ini DPR menuduh para penyanyi dangdut bebas menari dengan gerakan erotis (Republika, 7/9). Banyak pihak mengatakan, televisi-televisi menyuguhkan tayangan demikian akibat persaingan yang ketat untuk merebut pemirsa. Apalagi, bila diingat para pemiliknya adalah pemodal-pemodal besar dengan motif utamanya adalah mencari keuntungan yang konon tanpa menghiraukan kehancuran moralitas bangsa.
Sebetulnya di kalangan para artis sendiri masih banyak yang ingin memelihara moralitasnya. Tapi, mereka menjadi terpaksa muncul di televisi dengan busana minim. Mereka khawatir bila menolak tidak bisa muncul di televisi. Padahal, selama bertahun-tahun Bung Karno dikenal paling gigih mengecam segala bentuk busana yang mengobral aurat. Termasuk musik dan lagu-lagu ngak-ngik-ngok sekalipun moralitas yang dicanangkan oleh Bung Karno dinilai sangat berlebihan hingga dianggap memasung kreasi para seniman. Contohnya adalah ketika ia melarang dan kemudian memenjarakan pemain Band Koes Ploes.
Tapi, tindakan terhadap Koes Ploes ini lebih banyak dilakukan karena ulah Jaksa Aroean SH yang over acting, sementara Bung Karno tidak menyuruh demikian. Bung Karno menyatakan, ”Kita berjuang untuk membangun national dignity (harga diri nasional).” Untuk itu, menurut pendapatnya, tidak ada yang lebih indah dari berkepribadian nasional dalam bidang kebudayaan. ”Bukan saja bumi dan alam kita kaya raya, juga kebudayaan kita, kesusasteraan kita, seni tari kita, semuanya kaya raya. Sayangnya, kita bukan membubung tinggi kebudayaan nasional yang kita bangga-banggakan, tetapi kita tergila-gila pada rock and roll, geger ributnya swing, mamborock, dan banjirnya literatur komik picisan tidak bermutu.”
Pada Masa Bung Karno belum nongol tabloid dan majalah porno yang kini dijual sangat bebas dan terpancang di kios dan toko-toko. Ketika Bung Karno mengumandangkan ‘berkepribadian di bidang kebudayaan’ bersamaan dengan berdaulat bidang politik dan berdikari di bidang ekonomi, ia juga mengecam rambut gondrong yang pada 1960-an banyak ditiru pemuda saat jayanya The Beatles. ”Apabila ada pemuda berambut gondrong, saya perintahkan agar mereka diplontos,” tegas Bung Karno.
Konon kala itu Bung Karno pernah melarang kedatangan band musik dari Inggris ini ke Indonesia ketika ada yang hendak mensponsorinya. Tidak ampun lagi juga celana ketat (bray-cut yang kecil di bagian bawah menjadi cemohoannya. Meskipun menentang keras dansa-dansi ala Barat, Bung Karno sendiri senang menari. Bahkan, ia mendorong tari-tari lenso dan serampang dua belas. Gambar-gambar Bung Karno tengah menari termasuk dengan putrinya, Megawati Soekarnoputeri, hingga kini sering dimuat media.
Pokoknya kala itu boleh dikata tidak ada para ibu dan gadis yang berani keluar rumah atau pergi pesiar berpakaian you can see (yang memperlihatkan ketiak) atau berambut sasak yang mumbul ke atas. Bisa-bisa akan diteraki, ”Ganyang you can see atau ganyang sasak.” Para pemuda berambut gondrong atau bercelana cekak (semacam jengki), akan menghadapi risiko terkena razia yang dilancarkan aparat keamanan. Di jalan-jalan sering diadakan razia, baik oleh aparat kepolisian maupun CPM (Corps Polisi Militer).
Dalam razia ini aparat keamanan membawa botol bir dan gunting. Bila ditemukan pemuda bercelana ketat maka di ujung celana orang tersebut dimasukkan botol bir. Bila botol tidak dapat masuk maka celananya digunting. Yang menjadi korban guntingan sangat sedih, orang banyak yang menyaksikan tertawa-tawa. Yang lebih celaka bila rambut gondrong tertangkap operasi. Di situ juga rambutnya digunting aparat keamanan hingga buru-buru Si Mamat ngeloyor mencari tukang cukur karena rambutnya harus digunduli. Maklum, setelah digunting aparat, rambutnya jadi pitak, persis seperti orang sakit koreng.
REPUBLIKA – Rabu, 10 September 2003
Tinggalkan Balasan