Oleh Alwi Shahab
Jangan kaget bila mendengar letusan senjata api di Hadramaut. Bahkan kita tidak perlu panik, gentar, apalagi takut bila tiba-tiba mendengar berondongan peluru senjata otomatis, seperti senapan mesin atau karaben. Suara berondongan peluru ini bukan karena ada tembak-menembak atau baku hantam antara dua kekuatan. Yang menembakkannya pun bukan militer, tapi rakyat sipil.
Tentu saja tembakan itu ditujukan ke atas sehingga tidak menimbulkan korban jiwa. Di Hadramaut khususnya, dan Yaman pada umumnya, menembakkan peluru ke atas dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat yang sedang merayakan pesta, seperti pesta perkawinan. Menurut H Fawwaz Fauzan Adhima (23 tahun), yang sudah empat tahun bermukim di Hadramaut, di pesta perkawinan, saat pengantin pria tiba di kediaman pengantin wanita, sebagai tanda kegembiraan, dilepaskanlah tembakan ke udara.
Seperti yang biasa dilakukan warga Betawi, dengan memasang petasan untuk menyambut kedatangan besan di kediaman pengantin wanita. Berondongan tembakan ke udara juga dilakukan saat acara ritual. Seperti yang saya alami saat menghadiri acara haul dan ziarah ke makam Nabi Allah Hud AS di Hadramaut yang diselenggarakan Biro Perjalanan Wisata Alisan belum lama berselang.
Saya dan beberapa orang Indonesia yang baru pertama kali ke Hadramaut, ketika menghadiri acara tersebut cukup dibuat panik oleh gencarnya suara tembakan, yang dilepaskan secara berulang-ulang. Rasa takut baru hilang ketika mendapatkan penjelasan bahwa itu hanya merupakan tembakan ke udara yang dilakukan oleh ”para pengawal” dari marga Binsyechbubakar, pada acara puncak haul dan ziarah yang berlangsung selama empat hari itu.
Di Hadramaut, kita kerap mendapati orang-orang sipil yang menyandang senjata. Ia meletakkan begitu saja senjata itu saat mereka berada di kedai kopi atau rumah makan. Kita juga sering menyaksikan warga sipil menyandang pistol di pinggangnya. Sedangkan pada acara ziarah ke makam Nabi Hud itu terlihat warga sipil menyandang senjata M-16 atau AK, menghamburkan peluru dengan tembakan ke udara. Ini dilakukan dari bagian belakang mobil dengan kap terbuka.
Masyarakat yang mendatangi ziarah tersebut menyambut gembira. Bagi mereka itu merupakan atraksi menyenangkan. Di Yaman, menurut Fawwas Fauzan, peluru dijual di kaki lima. Di antara penjualnya terdapat kanak-kanak. Harga sebuah peluru untuk pistol senilai 25 riyal Yaman, dan peluru senapan 50 riyal Yaman. Satu dolar AS nilainya 170 riyal. Sedangkan harga senjata pistol 150 dolar AS.
Dia berpendapat bahwa adanya kelompok-kelompok bersenjata itu tidak menghawatirkan keamanan karena mereka sangat patuh pada pemimpinnya, ulama yang disegani oleh pemerintah, yang disebut munshib. Sedangkan Saleh Aljufri, pemandu dari Biro Perjalanan Alisan yang pernah tinggal selama enam tahun di Hadramaut menyatakan bahwa sejauh ini tidak pernah mendengar adanya penodongan atau kejahatan lainnya. Kebebasan menyandang senjata ini, kata Saleh, hanya di daerah pedesaan, tidak di kota besar.
Menggunakan senjata dilarang di bandara dan naik pesawat terbang. Yang juga menarik, terutama di Yaman Utara, tiap pemuda hingga pria setengah baya menyandang belati di pinggangnya, yang oleh warga setempat disebut jambiah. Bentuknya agak melengkung dan kedua sisinya sangat tajam. Panjang mata pisau itu sekitar 20 cm dan di bagian pangkal lebarnya 5 cm. Pada sarung jambiah diselipkan aksesori warna-warni. Semakin kaya seseorang makin indah aksesorinya.
Jambiah itu seperti keris, senjata tradisi orang Jawa. Bedanya, jambiah dipakai tiap hari dan tiap kegiatan, bukan hanya sewaktu-waktu. Rupanya penggunaan senjata di Hadramaut oleh warga sipil sudah berlangsung ratusan tahun. Seperti dituturkan oleh Prof LWC van den Berg, orientalis Belanda, yang mengadakan penelitian di Hadramaut pada 1884–1886. Penduduk Hadramaut terbagi dalam kabilah-kabilah. Mereka punya pemimpin turun-menurun beergelar munshib.
Munshib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Misalnya, keluarga bin Yahya punya munshib di Al-Garaf. Al-Machdor di Khoraibah, Alatas di Horaidah, Alhadad di Al-Hawi, dan Binsyechbubarkar di Inat. Semua munshib diakui sebagai pemimpin agama oleh suku-suku yang tinggal di sekitar kediaman mereka dan dianggap sebagai penguasa.
Menurut van den Berg, para munshib dari keturunan sayid, yakni keturunan Isa Almuhajir, umumnya tidak menyandang senjata. Mereka menerapkan pengaruhnya hanya berdasarkan rasa hormat sebagai pemimpin agama. Hanya munshib dari keluarga Binsyechbubakar satu-satunya sayid yang menyandang senjata. Rupanya, apa yang dikemukakan van den Berg lebih dari satu abad lalu itu sampai kini masih terlihat. Pada saat ziarah ke Nabi Allah Hud yang dipimpin keluarga Binsyechbubakar, peluru-peluru dihamburkan ke udara oleh para ”pengawalnya”.
Menurut van den Berg, suku-suku atau kabilah adalah bagian paling menarik dari populasi Hadramaut. Semua lelaki menyandang senjata, apalagi suku Badui. Ketika itu senjata di Hadramaut terdiri dari senapan sundut (binduk), lembing (rumh), pedang (mansyah), jambiah, dan pistol. Satu-satunya benda yang mahal di Hadramaut, seperti dilaporkan van den Berg, adalah kuda dan senjata. Kuda yang agak bagus harganya paling murah 500 gulden, dua kali lipat dibandingkan dengan kuda betina. Untuk senapan sundut seharga 500 gulden dan ada pula 2.500 gulden (dilapisi emas dan perak). Jadi jangan kaget bila berkunjung ke Hadramaut melihat warga sipil menyandang senjata atau tiba-tiba mendengar berondongan peluru.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya berharap adanya uraian ilmiah yang lebih luas yang mencakup gambaran geografis wilayah lembah Hadramaut ini, termasuk sejarah dan perkembangan masyarakatnya (termasuk di dalamnya tentang kabilah-kabilah yang ada dan adat/tradisi kekabilahannya).
Terima kasih, wassalamu ‘alaikum wr wb
Saran ente bagus juga tu! nanti de satu – satu dulu ye