Dalam rangka memperingati 65 tahun Kantor Berita Antara, 13 Desember 2002, Kerukunan Pensiunan Antara (Penantra) menerbitkan buku berjudul ”Catatan Politik”. Buku ini berisi tulisan mengenai peristiwa, kejadian, dan pengalaman para wartawan yang telah pensiun, selama mereka bekerja di Antara. Saya mulai bekerja di kantor berita tersebut pada 1962 dan pensiunan dari Antara 1993.
Bung Karno menyatukan kantor berita PIA, APB (Asian Press Board), dan INPS menjadi Antara berdasarkan Keppres No 42/1962 12 Desember 1962. Kala itu, terjadi pertarungan sengit antara kelompok kiri (komunis) dan nonkomunis. Menjelang tragedi 30 September 1965, boleh dikata Antara sudah dikuasai kelompok kiri. Akibatnya, Pandu Kartawiguna, pemimpim umum Antara dan orang-orang kelompok antikomunis tersingkir.
Dituduh BPS dan Manikebu, mereka dipaksa mundur. Menurut buku tersebut, ketika terjadi peristiwa 30 September 1965, orang-orang Serikat Buruh Pekabaran Antara (SBPA) yang prokomunis menyambut gembira, meneriakkan kemenangan, saling bersalaman, dan berpelukan.
Ketua Umum PWI Pusat, Karim DP, juga ikut datang ke Antara sambil berteriak, ”Kita menang, kita menang.” Ketika G-30S ditumpas, dan Antara dikuasai militer. Sebanyak 143 orang yang dicurigai dari kelompok kiri diciduk dan diberhentikan dengan tidak hormat. Banyak di antara mereka yang kemudian mendekam selama bertahun-tahun di penjara. Setelah G-30S hampir tiap hari militer menciduk wartawan dan karyawan Antara. Saya pun ikut berdebar-debar, takut dituduh terlibat kelompok kiri.
Soalnya, di antara mereka merupakan kawan-kawan saya. Banyak pula yang diciduk lantaran hanya ikut-ikutan. Pengalamana lainnya adalah ketika sepeda motor saya yang tengah diparkir di Cendana digilas panser. Kejadiannya tahun 1970-an. Ketika itu Presiden Soeharto sedang menerima sejumlah menteri di kediamannya. Saya dan wartawan kepresidenan lainnya memarkir sepeda motor di samping halaman kediaman presiden. Saat kami menunggu keluarnya para menteri tiba-tiba sebuah panser hendak keluar dari kediaman presiden.
Entah bagaimana, panser yang berjalan mundur itu tiba-tiba menyerempet sepeda motor yang tengah parkir. Sepeda motor saya yang diparkir paling depan langsung tergilas. Panser baru berhenti setelah menyerempet Vespa wartawan Sinar Harapan, Yosie Katoppo. Panser lalu kembali maju ke depan. Akibatnya, sepeda motor saya pun tergilas untuk kedua kalinya hingga gepeng seperti kerupuk.
Ada kisah menarik dari pensiunan Antara, Ita Syamsudin, saat menjadi reporter kepresidenan pada masa Bung Karno. Nama Ita adalah pemberian Bung Karno.
Sebelumnya ia bernama Itje Syamsudin. Pada masa itu, semangat nasionalisme bangsa masih sangat tinggi. Nama-nama asing termasuk bioskop dan tempat hiburan, rumah makan, dan produk yang memakai kata asing diindonesiakan. Bioskop Metropole jadi Megaria, bioskop Globe di Pasar Baru jadi Gelora, Astoria di Pintu Air depan Masjid Istiqlal jadi Satria. Princen Park tempat hiburan di Manggabesar Jakarta Kota jadi Lokasari.
Rumah Sakit Yang Seng Ie di Jakarta Kota jadi RS Husada, dan Sin Min Hui jadi Chandranaya. Pada masa Bung Karno, rok mini dan pakaian you can see yang memperlihatkan ketiak dilarang. Ini dalam rangka pelaksanaan Trisaksi Tavip: berdaulat dalam bidang politik, berdiri diatas kaki sendiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Dalam berkepribadian bidang kebudayaan Bung Karno mengecam musik ngak-ngik-ngok dan dansa-dansi ala barat. Menurut Ita Syamsudin, yang kini berusia 69 tahun, Bung Karno sangat akrab dengan para wartawan. “Saya dan teman-teman sering diajak sarapan pagi oleh beliau di Istana Merdeka,” tulis Ita yang dikenal luwes dalam bergaul dengan kawan-kawan.
Sedang hubungan Bung Karno dengan Dubes AS, Howard P Jones, sangat unik. Sekalipun Bung Karno antinekolim, dan CIA (agen rahasia AS) ingin menggulingkannya, tapi Bung Karno sangat akrab dengan dubes AS itu. Mereka seringkali makan bersama di Istana Jakarta dan Bogor.
Begitu akrabnya Bung Karno dengan wartawan, hingga ia sering mengajak para kuli tinta (waktu itu belum dikenal komputer) keliling ibu kota dan pertokoan di Jakarta Kota untuk mencari barang antik porselein Cina. Sebagai seniman, Bung Karno adalah kolektor benda-benda seni.
Bung Karno juga pernah mengajak para wartawan meninjau patung-patung yang ada di taman-taman ibu kota. Ketika menyaksikan Patung Petani di Prapatan Menteng, Bung Karno mengatakan, “Patung ini kaku dan kurang indah. Apalagi petaninya menyandang senjata.” Ketika meninjau Monas, Bung Karno berkata, “Monumen ini harus tetap berdiri dan saya ingin orang mengenang saya sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Pemersatu Bangsa.” Ketika itu, tulis Ita, lewatlah pedagang rambutan. Bung Karno memanggilnya dan membeli 10 ikat sesuai jumlah rombongan dengan harga Rp 700 per ikat.
Ketika merogoh sakunya hendak membayar, Bung Karno ternyata tidak membawa uang. Ia kemudian memanggil seorang pengawal yang berada dalam jip, tapi seorang rekan wartawan lebih dulu membayarnya. Bung Karno pun berkata, “Nanti Bapak ganti. Bapak kan ingin mentraktir wartawan-wartawan.”
Tinggalkan Balasan