Oleh Alwi Shahab
Berbelok ke kiri dari arah selatan Jl Pahlawan (dulu Jl Bondongan), Kelurahan Empang, Bogor Selatan terletak Gang Makam Raden Saleh. Di gang kecil yang tak dapat dilalui mobil, terletak makam Raden Saleh Syarif Bustaman, pelukis beraliran naturalis yang memancangkan tonggak sejarah seni rupa Indonesia abad ke-19. Bersebelahan dengan makam itu, terdapat makam istrinya RA Danurejo, putri dari Kesultanan Mataram, Yogyakarta.
Makam pelukis yang karya-karyanya banyak dikagumi di mancanegara ini nyaris tidak diketahui orang, kalau saja pada 1923 atau 43 tahun setelah wafatnya pelukis ini, Adung Wiriatmadja, mantan wakil kepala Kejaksaan Bogor, tidak membersihkan alang-alang. Saat itu tanpa sengaja ia menemukan makam R Saleh, di tanah milik keluarganya itu, cerita R Isun Sunarya (64 tahun), keponakan Adung. Mengapa pelukis terkenal dan istrinya dimakamkan di tempat terpencil? Menurut Isun Sunarya, ”Sebelumnya di tanah ini dimakamkan leluhur kami Raden Panuripan.
Sedangkan R Saleh dimakamkan di sini, karena ia tinggal di Bogor. Di samping itu, ia dan istrinya sebagai raden setingkat dengan leluhur kami,’ kata juru kunci situs makam Raden Saleh itu. Makam ini dipugar 16 September 1953 atas inisiatif Bung Karno. Untuk itu, presiden pertama RI memanggil arsitek F Silaban yang menangani masjid Istiqlal untuk membangun monumen di depan makam pasangan suami istri yang berdampingan itu.
Ketika tutup usia April 1880, lokasi kediamannya di Jl Juanda, Bogor yang dekat pasar lama Ramayana, kini menjadi gedung Direktorat Jenderal Pajak Kota Bogor. R Saleh Syarif Bustaman, putra Sayid Husein bin Yahya, yang dilahirkan di Semarang (1811) ini punya perhatian besar terhadap Islam namun sayangnya kurang banyak diketahui orang. Kabarnya, selama bertahun-tahun di Eropa, pelukis ini telah mengalami perjalanan batin yang begitu mendalam. Salah satu peninggalannya adalah sebuah masjid berukuran 5×5 meter, yang dikenal dengan ‘masjid biru’, mengacu pada warna langit-langit hotel itu.
Terletak di salah satu bukit yang rimbun, masjid berukuran 5×5 meter ini direnovasi pada 1998 untuk memperingati 150 tahun pembangunannya. Selain sebuah masjid mungil, kenangan R Saleh lainnya terhadap Jerman adalah kediamannya yang kini menjadi RS Dewan Gereja Indonesia Cikini, Jakarta Pusat. Di kediamannya yang sangat luas, ia membangun ‘istana’ dengan meniru gaya Istana di Coburg, Jerman. Tempat kediamannya itu kini menjadi asrama perawat RS DGI Cikini.
Kediaman R Saleh terbentang dari TIM, dua bioskop (Garden Hall dan Podium), kolam renang, SLTP I Cikini, hingga ke RS DGI Cikini. Sebelum dipindahkan gubernur Ali Sadikin ke Ragunan pada 1967, kebon binatang di Jakarta terletak di kediaman R Saleh. Alkisah, kesadaran beragama R Saleh makin meningkat. Setelah cerai dengan istri pertamanya –seorang Indo– ia kemudian mengawini wanita muslimah keturunan ningrat. Di dekat kediamannya itu, pada 1860, ia membangun surau.
Setelah beberapa kali tergusur, surau tersebut kini berada di tepi kali Ciliwung, di Jl Raden Saleh yang dikenal dengan nama Masjid Cikini. Ketika pindah ke Bogor, pelukis ini menjual rumah beserta tanahnya pada Sayid Abdullah bin Alwi Alatas, pemilik gedung Museum Tekstil di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Ketika kemudian rumah dan tanah itu dijual pada Koningen Emma Ziekerhuis (Yaysan Ratu Emma) dengan harga 100 ribu gulden, pada 1897, R Saleh sudah meninggal dunia.
Mengetahui rumah dan tanah itu akan dijadikan rumah sakit, Abdullah Alatas memotong harga penjualan jadi 50 ribu gulden, sembari menegaskan bahwa masjid bukan bagian yang dijual dan tidak boleh dibongkar. Pada saat kemerdekaan, Yayasan Emma secara diam-diam mengalihkan kepemilikan RS Cikini kepada DGI yang dipimpin dr Leimena. Setelah terjadi sengkata cukup lama, baru pada tahun 1991, masjid ini terselamatkan dengan memperoleh sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional.
Menurut Hamid Algadri dalam buku ‘Politik Kolonial Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab,’ R Saleh mulai diasuh oleh pamannya Kanjeng Terboyo Bustaman, menantu Pangeran Ario Amangkurat I. Kemudian sejak usia 7 tahun ia diasuh seorang Belanda, Baron van den Capellen atas usaha pemerintah Belanda.
Kesediaan Belanda untuk mendidik R Saleh pada hakikatnya dalam rangka politik penjajahan, yakni agar pemuda ini dapat dihindarkan dari pengaruh pamannya Sosrohadimenggala, cucu Sayid Abdullah Bustam alias Kiai Bustam, yang oleh Belanda dianggap pro Pangeran Diponegoro dalam Perang Kemerdekaan di Jawa (1825-1830). Kecurigaan Belanda itu setidaknya dapat dimaklumi.
Pelukis modern Indonesia pertama yang mendapat penghargaan di Eropa di antara karya terbaiknya yang kini berada dalam koleksi Istana Kepresidenan, adalah ‘Penangkapan Diponegoro.’ Bertentangan dengan pelukis-pelukis lainnya yang menggambar Diponegoro dengan ‘versi Belanda,’ R Saleh dengan penuh keberanian menunjukkan kejantanan Pangeran Diponegoro sebagai pemenang yang bermoral, saat pangeran ini oleh Belanda dikelabui di Magelang.
Raden Saleh melukiskan pangeran ini dengan muka menantang saat ia ditangkap. Itu merupakan sebuah karya lukis yang revolusioner dan antipenjajahan. Tidak heran, kalu lukisan ini baru dibawa kembali ke Jakarta oleh Belanda setelah kemerdekaan.
Pamannya sendiri, Kanjeng Terboyo, dan putranya di-internir Belanda di kapal ‘Pollux’ karena dicurigai bersimpati pada Diponegoro. Ketika pada 1869 terjadi kerusuhan di Bekasi oleh kelompok Islam, R Saleh dituduh sebagai biang keladinya. Kediamannya digeledah, setelah dikepung 50 serdadu bersenjata lengkap.
Tinggalkan Balasan