Republik Armenia terletak di antara Laut Hitam dan Laut Kaspi, Eropa Timur. Sebelum menjadi republik, Armenia yang berpenduduk sekitar empat juta jiwa, merupakan bagian dari Uni Soviet. Entah bagaimana, dari tempat yang begitu jauh, sejak awal abad ke-17 sudah tinggal sejumlah warga Armedia di Hindia Belanda. Gereja mungil seperti terlihat dalam foto, adalah Gereja Armenia. Gereja ini dibangun pada 1852 oleh komonitas Armenia di Batavia. Gereja ini dibongkar tahun 1964, selesai dibangunnya gedung Bank Indonesia di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
Tapi, ketika gereja ini dibangun yang dinamakan Jl Thamrin belum nongol. Masih jalan tanah liat. Jl Thamrin yang kini menjadi salah satu jalan protokol utama di Jakarta, baru dibangun awal 1960-an menjelang Asian Games 1962 di Jakarta. Lokasi gereja dipersimpangan Koningsplein Zuid (Medan Merdeka Selatan), Koningsplein West (Medan Merdeka Barat) dan Gang Scott (Jalan Budi Kemulian). Konon, ketika gedung BI dibangun di Jalan Thamrin yang kini meluas ke Jl Kebon Sirih dan Jl Budi Kemuliaan, gereja yang tergusur ini dipindahkan di suatu tempat di Jakarta.
Warga Armenia ternyata pedagang dan pebisnis ulung. Setidak-tidaknya di bidang ini mereka sukses, terutama di Maluku dan Indonesia bagian Timur. Karena persamaan warna kulit dan status sosialnya yang cukup baik, warga Armenia pada 31 Maret 1747 mendapat perlakuan sama sebagai warga Eropa. Sampai 1942, sebelum Hindia Belanda takluk pada Jepang, perbedaan perlakuan dan pelayanan menurut ras dan warna kulit. Pelayanan terhadap orang Indonesia sendiri berbeda. Seperti antara golongan atas, menengah dan bawah.
Sementara di Batavia jumlah warga Armenia makin meningkat pada akhir abad ke-18. Pada 1831, Jacob Arathoon, seorang pengusaha Armenia membangun tempat peribadatan yang diberi nama St Hripsime. Yang juga merupakan tempat pertemuan para Armenia. Karena terbakar pada 1842, kemudian dia membeayai restorasi tempat peribadatan itu, sebelum dia meninggal dunia. Pada 1852, komunitas Armenia membangun kembali sebuah yang dananya dikumpulkan dari para warganya sendiri.
Penyandang dana terbesar adalah dua bersaudara, Nyonya Mariam Arathoon, janda Jacob Arathoon dan Nona Togouchie Manouk, di tempat yang kini berdiri gedung BI. Kedua bersaudara ini mendapat kekayaan cukup besar dari saudaranya yang bujangan, Gevorg Manouk yang meninggal di Batavia pada 2 Oktober 1827 dalam usia 60 tahun. Dia dimakamkan di pemakaman Kristen Kober, Tanah Abang, yang kini menjadi Museum Prasasti.
Meskipun jumlahnya tidak banyak, rasa solidaritas sosial warga Armenia sangat tinggi, terutama terhadap para yatim, janda, dan warga lanjut usia. Setelah perang dunia ke-II, banyak warga Armenia di Jakarta meninggalkan Indonesia menuju Amerika Serikat. Dulu, di bagian muka Gang Scott (Jl Budi Kemuliaan) kira-kira di bagian belakang gedung Perumtel sekarang tinggal seorang Armenia jelita, setelah masuk Islam bernama Farah. Dia kemudian menikah dengan pengusaha keturunan Arab terkenal: Saleh Bisyir. Sayangnya Saleh Bisyir, dermawan yang memagar makam wakaf di Tanah Abang ini meninggal dalam usia muda. Kemudian istrinya menikah dengan salah seorang menteri kabinet pembangunan pada masa Pak Harto.
Nama Gang Scott, mengabadikan seorang Inggris, Robert Scott. Kediamannya yang luas kini merupakan bagian dari gedung BI yang terus meluas itu. Robert Scott, seorang syahbandar di Pelabuhan Semarang, sebelum menetap di Batavia (1820). Di sini masih didapati gedung bekas kedubes Malaysia.
Pada masa konfrontasi, gedung ini seringkali didemo, sementara entah berapa banyak patung PM Tengku Abdurahman Putra dibakar massa ketika itu. Mereka meneriakkan yel-yel: ‘Ganyang Malaysia’, karena kala itu Bung Karno- yang konon terpengaruh kelompok kiri- bersikukuh bahwa Malaysia merupakan proyek nekolim untuk mengepung Indonesia. Untungnya hubungan bangsa serumpun ini, kini membaik kembali.
REPUBLIKA – Sabtu, 04 Maret 2006
Tinggalkan Balasan