Berbagai tempat pertokoan di ibukota, terutama di kawasan Glodok, sejak Minggu lalu sudah diserbu para pembeli yang kebanyakan keturunan Cina. Mereka berbelanja untuk menyambut Imlek (tahun baru Cina) yang jatuh pada Kamis, 22 Januari 2004. Gong Xi Fat Chai atau kira-kira berarti semoga makmur selalu, menghiasi toko-toko dan pusat perbelanjaan. Menurut kebudayaan Tiongkok kuno perhitunghan awal tahun didasarkan jalannya rembulan (Im Lek, bukan jalannya matahari (Yan Lek).
Tahun ini, Imlek jatuh pada shio monyet. Bagi masyarakat Tionghoa, shio punya arti penting untuk melihat nasib, jodoh, dan rezeki. Turunnya hujan saat Imlek dianggap sebagai keberuntungan. Seolah-olah rezeki seperti air yang ngocor dari langit. Imlek kini makin meriah, karena sejak tahun lalu dinyatakan sebagai libur nasional. Setelah selama lebih 30 tahun sejak masa orba Imlek sempat dilarang dirayakan.
Imlek biasanya disambut dengan kue keranjang atawa kue cine, kata orang Betawi. Kue yang terbuat dari ketan berwarna coklat karena diberi gula jawa, dianggap sebagai kue keberuntungan. Imlek terasa cemplang atau kurang afdol bila tidak disertai tanjidor, yang ngamen dari rumah ke rumah. Itulah suasana Imlek tempo dulu. Di hari kagembiraan itu mereka pada pergi ke liong bouw (pekuburan) atau perabuan sebagai tanda puthau alias hormat dan berbakti kepada arwah para leluhur. Hormat pada leluhur, menurut adat Tionghoa, semacam wet atau hukum yang kudu dipegang teguh. Karena cilaka duabelas, orang yang tidak berbakti pada orang tua. Orang yang demikian disebut anak doraka alias u hauw.
Jauh sebelum VOC, di Jakarta sudah ada perkampungan Cina. Mereka mendirikan rumah-rumah di tepi laut di sekitar Pasar Ikan. Ketika Jan Pieterzoon Coen berkuasa (Mei 1619), ia pun mendatangkan para imigran Cina dari Banten ke Batavia. Hingga jumlah mereka menjadi 400 orang. ”Siapa yang hendak memperluas dan membangun negara harus mengambil hati orang Tionghoa, karena mereka adalah bangsa yang ulet, rajin, dan pekerja keras,” ujar Coen. Hanya lima bulan setelah berkuasa, Coen mengangkat Souw Beng Kong sebagai kapiten atau kaptoa warga Tionghoa di Batavia. Bencon, begitu kompeni biasa menyebutnya, memegang jabatan sampai 1645. Namun pada 1636-1639 Lim Lak tampil sebagai acting, ketika Bencon ke Formusa (Taiwan). Kapiten Cina pertama ini dimakamkan 1644 di Jl Pangeran Jayakarta. Di bekas tempat pemakaman Cina ini kini hanya batu nisan Bencon yang tersisa, terletak di tempat pembuangan limbah di sebuah rumah penduduk.
Padahal, sebagai pimpinan warga Cina, Bencon sangat kaya raya lewat perniagaan, pengapalan, bisnis konstruksi, dan sejumlah perkebunan gula di sekitar Batavia. Souw memiliki sebuah wisma mewah dekat kastil (benteng) di Prinsenstraat, Pasar Ikan, yang saat itu merupakan pusat kota Batavia. Di tempat ini Coen sering mengunjunginya untuk minum teh dan membicarakan perdagangan dengan bahasa Portugis yang menjadi bahasa sehari-hari saat itu.
Dengan kekuasaan yang besar, kapten Souw Beng Kong dan para penggantinya di Batavia hidup laksana raja-raja Mandarin. Mereka menerima pajak yang dibayar oleh masyarakat Cina. Antaranya pajak jalinan rambut panjang, pajak kuku panjang (menandakan orang kaya yang santai) serta pajak judi dan candu. Etnis Cina memiliki rumah sakit yang tidak kalah besarnya dengan rumah sakit Belanda. Letaknya kira-kira di depan stasiun kereta api Jakarta kota.
Masyarakat Cina yang menurut sensus 1788 sebanyak 1320 jiwa (dalam tembok kota) dan 32.508 jiwa (luar tembok) merupakan penduduk paling besar dibandingkan yang lain (pribumi tidak dihitung). Kini, jumlah mereka merupakan berjumlah empat persen dari total penduduk. Sejak masa Presiden BJ Habibie, istilah pribumi dan non pribumi dihentikan.
Peran etnis Tionghoa di bidang perdagangan begitu besar. Sampai 1960-an, mereka mendirikan warung sampai ke pelosok kampung di ibukota. Mereka berdagang kebutuhan sehari-hari, mulai dari beras, minyak, sampai kayu bakar dan arang. Mereka menggunakan simpoa yang tidak kalah cepatnya dengan komputer sekarang ini. Karenanya, kata-kata cegin (satu sen), segobang (dua setengah sen), cetak (25 sen), dan cetun atau seperak sudah merupakan kata sehari-hari warga Betawi. Seperti juga sekarang, goceng (Rp 5000), gopek (Rp 500), goban (Rp 50 ribu) sampai cetiauw (sejuta rupiah) sudah merupakan bahasa sehari-hari dalam bisnis.
Sementara kata lu dan gue yang merupakan bahasa sehari-hari orang Betawi dan kini tengah trend di dalam pergaulan juga berasal dari bahasa Cina. selain itu, masih seabrek-abrek bahasa Cina yang jadi bahasa sehari-hari. Seperti tahu, siomay, bakso, mie, bakpau, dan bakmi. Atau ca bau (perempuan) yang entah bagaimana kemudian jadi sebutan untuk WTS yang kini diperhalus jadi pekerja seks. Awalnya, semua urusan orang Tionghoa dipegang oleh sang kapiten, namun karena jumlah penduduknya makin meningkat, Belanda mengeluarkan pangkat baru, yaitu luitenant (letnan) untuk entengin pekerjaan kapiten. Belakangan letnan punya hak untuk mengangkat bek-bek (lurah) Tionghoa. Dulu di Senen ada Gang Wangseng, berasal dari nama Luitenant Tionghoa, Tan Wan Seng.
REPUBLIKA – Minggu, 18 Januari 2004
Tinggalkan Balasan