Selama masa mudik lebaran, selama 10 hari Jakarta menjadi lengang. Wajah Jakarta saat ini memang sangat jauh berbeda dibanding pada 1950-an. Kala itu, Jakarta tidak disibukkan mudik lebaran seperti sekarang karena isi Jakarta mayoritas masih orang Betawi yang tidak perlu mikirin mudik. Kini, berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, dari 8,3 juta penduduk Jakarta hanya 12,65 persen asli Betawi. Sisanya kaum migran dan terbanyak dari pulau Jawa (35,16 persen). Bahkan, perantau Minang di Jakarta diperkirakan lebih banyak dari warga Betawi. Banyak diantara mereka yang kini menjadi pedagang besar, memulai usaha dari PKL (pedagang kaki lima).
Lengangnya Jakarta kala warganya mudik lebaran, mengingatkan kita pada suasana tahun 1950-an. Jalan-jalan lengang karena kendaraan bermotor masih sangat sedikit. Toko-toko buka sampai pukul 12 siang dan dibuka kembali dari pukul 2 sampai 4 sore. Kebiasaan ini tertular gaya hidup kolonial Belanda yang suka tidur siang. Padahal pada tahun-tahun tersebut terjadi migrasi besar-besaran akibat terjadinya pemberontakan di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Sebelum Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 pada Juli 1959, masa itu (1950-1959) dinamakan demokrasi liberal. Bung Karno sendiri menyebutkannya sebagai demokrasi gila-gilaan. Hanya dalam waktu 17 tahun saja, terjadi penggantian kabinet 12 kali, atau sekali tiap 8 bulan. Kala itu, kata Bung Karno, free fight liberalism sedang merajalela, jegal-jegalan ala demokrasi parlementer adalah hidangan sehari-hari. Krisis kabinet terjadi seperti dagangan kue, jabatan menteri jadi seperti dagang kacang goreng.
Tapi, masalah keamanan dan ketenteraman patut dipuji. Seperti saat-saat menjelang Pemilu 1955 yang diikuti 29 parpol. Sekalipun persaingan antar parpol dan gejolak politik begitu memanas, tapi boleh dibilang hampir tidak pernah terjadi kerusuhan. Seperti saling ejek dan saling tuding yang cukup panas antara kelompok Islam dan PKI tetap tidak sampai menimbulkan perkelahian. Tidak seperti sekarang, antar simpatisan PDIP dan Golkar di Bali yang belum lama berselang saling bunuh-bunuhan. Hingga banyak yang khawatir Pemilu 2004 mendatang kalau kita tidak hati-hati akan terjadi kekacauan.
Di tahun 1950-an dan 1960-an, jumlah kendaraan bermotor belum menumpuk seperti sekarang. Belum ada jalan tol dan jalan layang. Berdasarkan data 1959, di Jakarta terdapat 30 ribu becak. Si roda tiga ini merupakan angkutan dominan kala itu. Mereka mangkal dan mencari penumpang di depan hotel-hotel dan pertokoan. Konon, artis Hollywood kenamaan jaman itu, Jane Simon yang membintangi film Ivanhoe ingin naik becak. Ketika Bung Karno berkunjung ke AS dan menyempatkan mampir ke Hollywood, artis cantik ini sempat mengutarakan keinginannya. ”Ia ingin ke Jakarta dan naik becak,” papar Bung Karno kembali. Namun, Bung Karno adalah orang yang sangat tak setuju dengan profesi tukang becak ini. Ia menganggap penarik becak sebagai penghisapan manusia terhadap manusia. Pada masa itu pemilik becak umumnya warga Tionghoa yang rata-rata memiliki 10 sampai 12 becak per orang.
Kehidupan kerja para pegawai negeri sipil (PNS) tak banyak beda dengan sekarang. Mereka mulai masuk kerja pukul tujuh pagi, dan pulang pukul 14.00. Jam kerja pada hari Jumat hingga pukul 11.00, dan Sabtu hingga pukul 12.00 (tidak libur). Seperti juga sekarang, disiplin PNS sejak dulu memang merosot. Meskipun diwajibkan bekerja pukul 07.00 pagi, tapi banyak yang baru datang pukul 08.00. Tidak langsung bekerja, lebih dulu merokok atau membaca koran. Biasanya, setengah jam sebelum pulang kantor, para PNS sudah lebih dulu naik ke mobil yang mengangkut mereka pergi dan pulang. Gaji PNS pada tahun 1957, menurut seorang pensiunan PNS Nasihin (69), dengan ijazah SMP hanya 249 perak. Sedangkan, PNS lulusan SD 150 perak, dan SMA tidak sampai 400 perak.
Nonton bioskop menjadi hiburan utama. Begitu pula dengan hiburan panggung, seperti orkes-orkes yang manggung saat pesta dan acara kawinan di rumah-rumah. Waktu itu, televisi belum nongol dan baru siaran pada 1963. Di jaman demokrasi liberal itu, para penyanyi orkes Melayu yang kemudian berubah sebutan menjadi dangdut pada 1970-an, berpakaian sopan-sopan. Tidak ada yang buka-bukaan dan berpakaian ketat seperti sekarang ini. Rupanya era reformasi dijadikan kesempatan juga untuk mengubah gaya dengan semakin berani menampilkan aurat. Tampaknya, di masa lalu kaidah-kaidah agama dan moral masih lebih dihargai. Bung Karno pun selalu menekankan untuk selalu berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Sambil mengingatkan pihak asing ingin menguasai bangsa ini melalui penetrasi kebudayaan.
REPUBLIKA – Minggu, 07 Desember 2003
Tinggalkan Balasan