Di tengah-tengah kota Batavia, bagian Jakarta yang sampai 1809 dikelilingi tembok dan benteng, berdiri sebuah gedung anggun dan kokoh. Meski sudah berusia hampir tiga abad (didirikan 1707) gedung tertua di Jakarta yang kini jadi museum sejarah DKI menjelang lebaran tengah direnovasi. Maksudnya agar masyarakat makin banyak mendatangi gedung yang memiliki lebih 30 ribu buah koleksi sejarah. Pemda DKI menjadikan gedung yang pernah dikagumi Ratu Elizabeth dari Inggris ketika berkunjung ke Indonesia sebagai andalan wisatanya.
Bekas stadhuis atau balaikota pada masa VOC, gedung ini sekaligus sebagai tempat pengadilan, penjara, dan tempat mengeksekusi para terhukum. Di sebuah ruangan lantai dua bagian kanan gedung ini kita masih mendapati ‘pedang keadilan’. Entah sudah berapa kepala manusia yang telah dipisahkan dari badannya dengan pedang yang panjangnya sekitar satu meter. Di gedung ini terdapat penjara bawah tanah yang letaknya berjejer. Satu ruangan yang luasnya tidak lebih dua kali tiga meter dengan tinggi satu setengah meter para narapidana dijejalkan di tempat gelap. Mereka banyak yang mati sebelum perkaranya disidangkan akibat kondisi penjara dan penyiksaan di dalamnya.
Orang Belanda kala itu tidak terlalu memikirkan bagaimana kejamnya eksekusi hukuman yang diberikan seperti siksaan, menyelar dan menggantung di Batavia. Hukuman yang sangat tidak manusiawi itu kadang-kadang cuma karena soal sepele. Seperti para budak yang diadukan tuannya hanya karena melalaikan pekerjaan. Sampai awal abad ke-19, dalam masalah hukuman terdapat pengecualian alias diskriminasi antara orang Eropa dan Asia. Hukuman yang paling mengerikan yaitu tusukan dengan tombak yang di Belanda sendiri hukuman ini sudah ditinggalkan. Tombak tersebut ditusukkan ke badan terhukum dari bawah ke atas seperti layaknya sate. Dan, si terhukum akan mati pelan-pelan dengan penderitaan amat sangat.
Sejarawan dan arkeolog Belanda, Hans Bonke dalam tulisannya menuturkan, yang menjadi perhatian adalah jumlah hukuman mati yang demikian besar di Batavia. Di awal abad ke-18, di Amsterdam yang berpenduduk 210 ribu jiwa, dilakukan lima kali hukuman mati per tahun. Di Batavia yang berpenduduk 130 ribu jiwa, angka ini dua kali lebih besar dan kadang-kadang malah lebih. Tragisnya, bila yang terhukum para budak, para hakim akan lebih kejam lagi menjatuhkan hukuman. Kala itu, budak hampir mayoritas penduduk di Batavia. Semakin banyak memelihara budak makin bergengsi status sosial seseorang.
Yang menyedihkan adalah terdakwa yang ditangkap sambil menunggu keputusan, masuk penjara. Di bagian atas sudah disebutkan bagaimana menyedihkannya kondisi penjara. Yang dikecualikan masuk bui adalah orang mengamuk. Mereka dibunuh di tempat dan jika ditangkap mereka dihukum dengan mematahkan semua anggota badan di atas. Ketika itu, UU Belanda menentukan bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika ia telah mengaku. Jaksa penuntut telah mengadakan interogasi dan mengkonfrontasikannya dengan bukti-bukti dan saksi. Jika terdakwa tetap tidak mau mengaku, ia dapat disiksa untuk memperoleh pengakuan. Dalam balaikota yang masih berdiri kokoh, terdapat kamar penyiksaan dengan berbagai peralatan untuk memaksa seseorang mengaku perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Tapi, hingga kini tidak jelas kamar yang mana yang pernah jadi tempat penyiksaan.
Melihat alat-alat penyiksaan seperti bangku dan sekrup untuk menyakiti jari-jari rasanya sudah cukup untuk memperoleh pengakuan tersangka tanpa alat itu harus dipakai. Jika tersangka tidak mengaku, maka penyiksaan pun di mulai. Para hakim pun tidak peduli dengan teriakan-teriakan yang mereka dengar saat penyiksaan ini. Begitu tersangka mengaku, penyiksaan pun dihentikan. Karenanya, banyak diantara mereka yang sebetulnya tidak bersalah akan mendapat hukuman karena terpaksa mengaku. Sebaliknya, sekalipun dakwaan kuat tetapi karena terdakwa dapat bertahan terhadap penyiksaan, ia akan bebas. Tapi, boleh dibilang hampir tidak terjadi hal demikian.
Kebanyakan perbuatan melawan hukum adalah persoalan kecil, seperti pencurian, fitnahan, perbuatan makar karena mabuk atau berkelahi. Dewan pengadilan juga menangani pelanggaran aturan kompeni seperti insubordinasi, tidur di jam jaga atau ketidakhadiran tanpa izin. Hukuman yang ringan adalah membayar denda atau pemecatan bagi pegawai kompeni dan penahanan seluruh gajinya, atau pengembalian terdakwa ke Belanda.
Hukuman lain adalah pencemaran kehormatan bagi terdakwa sehingga nama baiknya hancur di masyarakat. Hal ini dilakukan dengan memasang terdakwa dalam kerangkeng besi dan dipajang di depan gedung balaikota. Persis seperti binantang yang dikurung di kebun binatang disaksikan masyarakat yang lalu lalang. Atau ia harus duduk di atas ‘kuda kayu’, sebuah rak kayu dengan permukaan yang tajam. Para terdakwa harus duduk berjam-jam dan kakinya dipasang pemberat. Warga mengoloknya dengan bertanya ‘mau kemana’ atau apa terdakwa dapat mengantar surat untuk mereka.
Pada abad ke-17 dan 18, di balaikota terdapat penjara untuk wanita yang melakukan prostitusi dan pertengkaran dengan pasangan. Di penjara ini para wanita diwajibkan memintal benang untuk biaya hidupnya. Ada juga tahanan yang sengaja diberi cap agar polisi dapat mendeteksi para residivis. Hal ini juga berlaku untuk hukuman lain yang membuat badan cacat, seperti memotong kuping. Itulah hukuman tempo doeloe di gedung yang kini jadi Museum Sejarah Jakarta.
REPUBLIKA – Minggu, 16 Nopember 2003
Tinggalkan Balasan