Pada abad ke-18 ada dua peristiwa kelabu yang memerosotkan reputasi Kota Batavia. Pertama komplotan Pieter Erberveld, yang bersama 24 orang pengikutnya dieksekuasi secara kejam dengan tuduhan untuk menguasai kota dan membunuh semua orang Belanda. Kedua pembunuhan massal terhadap 10 ribu orang Cina di Glodok dan sekitarnya (1740) sebagai lambang kemerosotan moral, kota yang dibangun gubernur jenderal JP Coen.
Di sekitar monumen yang didirikan pemerintah kolonial (lihat foto) di Jl Pangeran Jayakarta, Kelurahan Pinangsia, Jakarta Pusat, inilah tempat Pieter Erbelveld, pria keturunan Jerman dan ibu seorang Jawa beserta para pengikutnya dieksekusi. Letaknya, sekitar satu kilo meter dari Stasiun Kereta Api Jakarta Kota, berdekatan dengan Gereja Sion. Yang kala itu merupakan kawasan elite di Batavia. Penghuninya sebagian besar warga Eropa. Termasuk tempat kediaman gubernur jenderal Van den Parra.
Eksekusi terhadap Pieter dan para pengikutnya dilakukan dengan cara sangat tidak lazim dan biadab. Sebuah laporan menyebutkan tangan dan kaki Pieter masing-masing dihubungkan dengan empat kuda yang menghadap keempat penjuru. Dengan sekali sentak keempat kuda itu berlarian berlainan arah, diikuti terbelahnya tubuh Pieter jadi empat bagian. Setelah itu, kepalanya dipenggal dan ditancapkan di atas tonggak, yang kemudian dipasang digerbang kediamannya dekat eksekusi berlangsung. Dia dieksekusi, Rabu 22 April 1722. Sejak itulah lokasi tempat eksekusi dinamakan Kampung Pecah. Tapi ada pula yang mengatakan, nama ini punya kaitan dengan profesi ayah Pieter sebagai penyamak kulit.
Sampai tahun 1986, monumen killing field (ladang pembantaian) ini menjadi salah satu landmark Kota Jakarta. Tapi sejak saat itu pulalah, entah bagaimana tempat yang cukup bersejarah ini berubah fungsi menjadi kantor dan showroom PT Toyota Astra.
Pieter, digambarkan sebagai seorang yang sangat membenci orang Belanda dan ingin menghancurkannya. Untuk itu dia bersekongkol dengan burgerij (warga Eropa non Kompeni), di samping sejumlah orang Cina berpengaruh, para pengungsi keturunan raja-raja Mataram (di Jl Pangeran Jayakarta masih dijumpai makam Rd Kartadirja salah seorang sekutunya). Di antara pengikutnya terdapat orang mardijker (budak yang dimerdekakan), di samping para budak yang kesemuanya penganut Islam yang oleh Belanda dikatagorikan sebagai kelompok fanatik.
Konon, Pieter dikabarkan masuk Islam dan bila pemberontakannya berhasil akan diangkat menjadi Bin Hamid Bin Abdul Sheikh al-Islam. Di kediamannya inilah, Pieter dan para pengikutnya merencanakan untuk mengadakan gerakan menghancurkan Belanda menjelang penggantian tahun 1722. Mereka memilih malam penggantian tahun, karena biasanya para soldadoe VOC saat itu sedang teler akibat mabuk-mabukan. Suatu kebiasaan yang ditiru hingga sekarang oleh para muda-mudi dalam tiap menyambut penggantian tahun.
Konon, komplotan ini terungkap karena puteri Pieter yang cantik, Meede, mengetahui rencana ini. Karena remaja putri ini tengah mabuk asmara dengan seorang opsir muda yang ganteng dari pasukan VOC, dia rela mengadukan rencana itu pada sang kekasih. Meskipun ayahnya sendiri yang berusia 59 tahun menjadi korban.
Untuk memperingatkan kepada masyarakat agar jangan mencoba melawan Belanda, di tempat eksekusi dibangun monumen berbentuk tengkorak batu berwarna biru berukuran 1 x 2 meter yang ditempatkan di dalam tembok. Pada batu itu tertera sembilan baris tulisan dalam bahasa Belanda.
Di bawahnya terjemahan dalam bahasa Jawa Kuno sebanyak delapan baris (lihat gambar). Jika diterjemahkan bunyinya sebagai berikut: Catatan dari peringatan (yang) menjijikkan pada si jahil terhadap negara yang telah dihukum: Pieter Erberveld. Dilarang orang mendirikan rumah, gedung, atau memasang papan kayu, demikian pula bercocok tanam, ditempat ini sekarang sampai selama-lamanya. Sekian.
Inskripsi dari monumen ini sekarang berada di Museum Sejarah DKI Jakarta, Jl Falatehan 1, Jakarta Barat. Begitu bencinya Belanda pada komplotan Pieter, hingga masyarakat dibolehkan untuk mengencingi monumen killing field.
REPUBLIKA – Sabtu, 25 Februari 2006
Tinggalkan Balasan