Pada awal tahun 1950’an penduduk Jakarta meningkat tajam. Kalau pada tahun 1942 di akhir pemerintahan Hindia Belanda, jumlah penduduk baru 430 ribu jiwa tahun 1950 melonjak jadi dua juta jiwa. Sementara sarana angkutan setelah penyerahan kedaulatan Desember 1949 , sangat kekurangan. Tidak heran kalau trem listrik angkutan utama kala itu, selalu dipenuhi penumpang seperti terlihat dalam gambar. Seperti Kereta Rel Listrik (KRL), warga Ibu Kota rela saling berdesakan naik trem, karena harganya yang murah. Sampai mereka rela bertengger di jendela-jendela.
Trem listrik merupakan salah satu keunikan Kota Jakarta di masa lalu yang kini telah sirna, yang meluncur di jalan-jalan utama. Kala itu, trem yang terdiri dari dua gerbong terdiri dari kelas I dan kelas II. Kelas I khusus warga Belanda, yang kala itu umumnya bekerja di Jakarta Kota. Mereka umumnya pergi dan kembali dari kantor naik trem, karena angkutan ini kala itu masih nyaman dan lebih praktis. Maklum mereka yang memiliki mobil belum banyak.
Sejarah trem di Jakarta dimulai tahun 1869. Tapi kala itu, trem masih ditarik oleh kuda. Pejabat kotapraja Batavia kala itu dibikin pusing untuk membersihkan jalan-jalan yang dilalui trem kuda. Karena binatang ini buang air kecil dan besar di tengah-tengah jalan. Hingga dikeluarkan peraturan dibagian pantatnya diberi karung, agar kotorannya tidak mengotori jalan raya. Di samping itu, karena beratnya mengangkut para penumpang yang memenuhi gerbong, kuda-kuda yang kelelahan sering ambruk di tengah jalan. Bahkan kadang kala sampai meninggal dunia. Setelah trem kuda kemudian disusul dengan trem uap pada 1881. Trem listrik baru dimulai 1899.
H.C.C. Clockener Bronson, seorang serdadu Belanda ketika pertama kali tiba di Batavia menceritakan kesan-kesannya ketika mengendarai trem uap. Dari kejauhan terdengar bunyi lonceng, persis seperti di Amsterdam. Di atas lokomotif berdiri masinis pribumi dengan petugas yang menyalakan api.
Kondekturnya orang Betawi muda berseragam tanpa alas kaki. Sementara kepala kondektur adalah orang Eropa pensiunan tentara. Trem uap memiliki kelas I dan II. Dan masih ada gerbong khusus untuk orang pribumi yang membayar dengan murah. Yang mampu membayar kelas I hanya golongan pribumi yang kaya. Ganjilnya adalah orang Tionghoa, Arab dan Eropa tidak diperbolehkan duduk di kelas III. Ini punya kaitan dengan politik rasialis yang dianut warga Eropa yang tinggal di Hindia Belanda. Orang-orang di Belanda yang hanya berprofesi tukang memerah susu, hanya karena mereka tidak memiliki kulit sawo matang yang indah seperti pribumi, di Hindia mereka menganggap dirinya luar biasa, tulis Bronson.
Trem terdiri dari enam jalur (line) dari Meester Cornelis (Jatinegara) sampai Pasar Ikan. Jalur lainnuya adalah dari Menteng – Pasar Ikan, Menteng – Kramat, Tanah Abang -Pasar Ikan dan Tanah Abang – Kramat. Perusahaan yang mengoperasikannya Batavia Electrisch Maatchappij (BVM). Setelah kemerdekaan trem bersama angkutan darat lainnya dikelola oleh PPD (Perusahaan Pengangkutan Jakarta). Ketika ditangani BVM, trem tidak pernah rugi. Baru setelah diambil alih PPD terus menerus menderita kerugian. Trem dihapus pada awal tahun 1960. Ketika Wali Kota Jakarta, Sudiro mohon kepada Bung Karno agar dibolehkan beroperasi dari Jatinegara – Senen telah ditolak. Menurut Presiden Soekarno trem tidak cocok untuk Jakarta. Lebih baik metro (kereta api bawah tanah).
REPUBLIKA – Sabtu, 11 Maret 2006
Tinggalkan Balasan