Di Jakarta banyak nama jalan, kelurahan, dan pasar yang punya kaitan sejarah atau peristiwa yang pernah terjadi di tempat tersebut. Seperti Kampung Kwitang yang kini menjadi kelurahan di Jakarta Pusat. Di kampung tempat Nyai Dasima terbunuh pada masa Thomas Stamford Raffles (1811-1816) ini konon pernah tinggal seorang sinse (ahli pengobatan Cina) bernama Kwee Tang. Karena kemanjurannya tersohor hingga ke segenap pelosok Betawi, kampung ini lantas disebut Kwitang.
Kawasan Meester Cornelis (kini Jatinegara) diambil dari nama seorang guru Meester Cornelis atau tuan Cornelis. Ia diduga peranakan Portugis yang datang ke Batavia (1621) bersama para budak Belanda berupa orang hukuman dan tahanan. Cornelis yang berambisi menjadi pendeta ditolak komunitas kala itu akibat prasangka sosial yang belum dapat menerima pendeta kulit hitam. Ia kemudian mengelola sebidang tanah di tepi Ciliwung. Daerah ini selama ratusan tahun mengabadikan namanya sebelum diganti jadi Jatinegara. Sampai kini para orang tua masih menyebut Mester ketimbang Jatinegara.
Sejarah Kampung Bandan di Jl Lodan, Ancol, Jakarta Utara dimulai ketika ratusan orang Banda, Maluku, yang ditawan VOC dibuang ke Batavia (1621). Mereka dijadikan budak belian dan ditempatkan di kampung yang mengacu nama mereka. Tapi entah bagaimana nama Kampung Banda oleh lidah Betawi disebut Kampung Bandan. Setelah perbudakan dihapuskan pertengahan abad ke-19, mereka mencari rejeki sebagai nelayan. Kini sudah tidak ada lagi keturunan Banda setelah selama ratusan tahun terjadi perbauran. Yang dijumpai di kampung ini justru banyak warga Betawi jadi nelayan.
Kawasan Petojo (Jakarta Pusat) merupakan kampung tua. Nama Petojo mengacu nama Aru Patojo, pemimpin etnis Bugis yang datang ke Batavia pada 1663. Sedangkan, Aru Palaka dengan pengikutnya sejak 1687 tinggal di Kampung Bugis, dekat Kali Angke, Jakarta Barat. Masih di kawasan Petojo, di dekat Harmoni dulunya bernama Kampung Jaga Monyet. Karena pada masa VOC di tempat ini terdapat sebuah benteng. Para penjaganya lebih banyak menganggur karena lebih banyak menjaga monyet yang hilir mudik berkeliaran hingga dinamakan Jaga Monyet. Pos penjagaan itu kira-kira di gedung BRI sekarang ini. Sayangnya, nama Jaga Monyet yang dulu terdapat markas PETA itu kini diganti Jl Suryopranoto.
Kawasan Manggarai di Jakarta Timur dulunya tempat konsentrasi para budak dari Manggarai, NTT. Seperti juga Kampung Bali yang tidak dijumpai lagi etnis Bali, di Manggarai sebagian besar penduduknya juga warga Betawi. Di Manggarai terdapat pasar tradisional yang sudah berusia lebih satu abad. Sebelum adanya Pasar Induk Kramatjati, pasar Manggarai tempat yang paling banyak didatangi tukang sayur. Sayur mayur yang dibeli para pedagang dijual ke berbagai tempat di ibukota. Di Manggarai terdapat Pasar Rumput karena ketika angkutan didominasi kereta kuda area ini merupakan tempat jual beli rumput. Di Manggarai, Abdul Latief mendirikan Pasar Raya. Tempat ini dulunya zwembad alias kolam renang yang ramai dikunjungi warga ibukota, lebih-lebih di hari Sabtu dan Ahad.
Pada 1656 banyak orang Ambon datang ke Batavia. Termasuk Kapten Yonker yang hingga kini makamnya masih kita dapati di Marunda, Jakarta Utara. Mula-mula Kapten Yonker membantu kompeni dalam berbagai peperangan dari Srilangka sampai Timor. Tapi kemudian karena sakit hati ia melawan Belanda dan tewas sebagai pahlawan. Hingga kini di Jakarta terdapat Kampung Ambon dekat Pulogadung, Jakarta Timur. Di Kampung Ambon ada sejumlah benda peninggalan sejarah yang berasal dari masa VOC. Diantaranya berupa paal yang terbuat dari batu cor dengan ketinggian satu meter. Paal ini sebagai patok untuk menunjukkan batas-batas wilayah kota Batavia. Karenanya di Jakarta banyak nama didahulu kata pal. Seperti Pal Putih, Pal Meriam, Pal Merah dan Pal Batu. Batas-batas kota Batavia tersebut ditarik dari Gedung Kesenian di Pasar Baru. Kini sebagian besar batu pal yang dulu banyak terdapat di Jakarta sudah tak berbekas.
Kala perbudakan dilegalkan banyak budak belian didatangkan ke Batavia. Diantaranya beberapa keluarga dari Sumba, NTB. Mereka ditempatkan Jl Blandongan, dekat Glodok, Jakarta Barat. Seperti para budak lainnya mereka diharuskan kerja paksa tanpa dibayar satu sen pun. Setelah mereka bebas, pemimpin mereka H Mustayib Ki Daeng dkk pada 1761 membangun sebuah masjid yang dinamakan Masjid Tambora. Mengambil nama Gunung Tambora di Sumba.
Batavia sampai abad ke-19 masih terdapat banyak persawahan dan perkebunan. Karena masih banyak pula daerah yang namanya merujuk keadaan masa lalu. Seperti Kampung Sawah Besar, Sawah Lio, Kampung Sawah, Kebon Jahe, Kebon Kacang, Kebun Jeruk, Kebun Kacang, Pondok Rangon, Pondok Labu, dan lainnya. Pada masa itu, orang-orang Belanda juga banyak menghabiskan hari liburnya ke Bogor, yang mereka sebut Buitenzorg atawa ‘di luar kecemasan’. Beristirahat di Bogor yang pernah mendapat julukan kota pensiunan ini sampai beberapa waktu lalu dirasa dapat bebas dari rasa cemas dan stres. Namun, kini Bogor telah menjadi kota macet, bahkan dijuluki kota sejuta angkot. Begitu pun jika pergi ke Puncak sudah tidak nikmat lagi karena kemacetan yang tak kenal ampun.
REPUBLIKA – Minggu, 30 Mei 2004
Tinggalkan Balasan