Pada tahun 1837, Jalan Toko Tiga, Glodok, sudah menjadi pusat perdagangan yang ramai. Tak tahu mengapa dinamakan demikian. Kemungkinan tempat yang berada di luar tembok kota Batavia ini mula-mula hanya terdapat tiga buah toko. Yang jelas, pada 167 tahun lalu, ketika kisah ini terjadi, sudah banyak toko, kios, dan rumah berdiri di sana. Yang terbesar toko tembakau milik Oey Thoa, pedagang besar Cina yang berasal dari Pakalongan, Jawa Tengah. Raja tembakau ini, meski belum lama tinggal di Betawi, cukup terkenal berkat kekayaannya. Sayangnya, pengusaha sukses dan tajir ini mati muda. Ia meninggalkan warisan bejibun pada putranya, Oey Tambahsia, yang berusia 15 tahun.
Memiliki kekayaan berlimpah ditambah dengan wajah yang tidak kalah tampan dengan Roger Danuarta, bintang sinetron terkenal masa kini, nama Oey Tambahsia langsung melejit. Jejaka ting-ting ini hampir dikenal semua penduduk China town saat itu. Apalagi royalnya tidak ketulungan, sering memberi persen pada orang yang dekat dengannuya. Ketika berusia 17 tahun, tiap sore ia pesiar keliling kota untuk mengintip anak perawan bangsawan dan hartawan guna dijadikan istri. Maklum, ketika itu para gadis, termasuk gadis Cina masih dipingit tidak boleh keluar rumah tanpa didampingi orang tua dan keluarga. Karena seleranya amat tinggi, di kawasan Pecinan ia tidak menemui gadis idaman hatinya. Dengan sombong ia sempat berkata, ”Syarat gadis yang akan diperistri harus dilihat dulu, cantik atau tidak.”
Penasaran untuk mendapatkan gadis bahenol, ia pun melakukan pencarian ke Pasar Baru dan Senen di Weltevreden. Dengan berpeci koboi dan pakaian perlente, Tambahsia tampak gagah menaiki kuda Australianya yang bernama Thufan. Di sore yang cerah, penduduk Senen amat heran ketika Tambahsia dengan kudanya bolak balik di muka rumah keluarga Siem. Keesokan harinya baru diketahui bahwa pemuda tampan ini sudah melihat anak perawan keluarga Siem, yang konon kecantikannya tidak kalah dengan Agnes Monica, artis sinetron yang bayarannya ratusan juta rupiah ini.
Saat melamar Tambahsia langsung memberikan uang saku seribu gulden. Uang sebesar ini saat itu bisa membeli beberapa buah rumah mewah. Istimewanya, ketika pesta perkawinan berlangsung, Jl Petekoan ditutup selama sebulan. Persisnya dari jembatan Jl Toko Tiga sampai ujung Jl Petekoan. Hampir tiap malam diadakan pesta pora. Untuk menggelar pesta perkawinannya ini Tambahsia mengeluarkan biaya 35 ribu gulden. Jauh lebih mewah ketimbang pernikahan para selebritis.
Dasar playboy alias hidung belang, setelah punya istri cantik Tambahsia justru tambah getol memburu wanita. Tidak peduli mereka yang sudah bersuami, berkat bujukan harta bendanya banyak yang berhasil digaet. Tak sedikit pula wanita yang telah dilepaskan karena ia lekas bosan. Ada satu perempuan bekas piaraannya selama dua bulan bisa menabung uang hingga dua ribu gulden plus perhiasan emas intan.
Untuk mendekati wanita, playboy ini tidak peduli akan resiko yang akan dihadapinya. Sampai-sampai ia berani mengganggu selir Mayoor Tan Ing Gwan, pemimpin masyarakat Cina. Saban selir itu main wayang, Tambahsia melemparkan uang perak seringgit (dua setengah gulden) yang dibungkus uang kertas. Akibatnya gundik ini pun tergoda hatinya. Tambahsia memiliki rumah pelesiran (suhian) bernama Bintang Mas di Ancol. Ia menjadikan tempat ini bukan hanya untuk bersenang-senang, tetapi juga wadah pertemuan para wanita yang tergoda bujukan, ketampanan, dan harta bendanya. Termasuk sejumlah wanita Belanda yang berselingkuh dari suaminya.
Istri seorang tukang kelontong yang berparas cantik juga rela meninggalkan suaminya dan kemudian tinggal bersama Tambahsia di peristirahatannya di Ancol. Mengetahui, istrinya dilarikan ke Ancol, babah tukang kelontong ini mengejar ke Ancol. Pria yang berani mengganggu kesenangan Tambahsia ini akhirnya dihabisi nyawanya. Si playboy ini juga punya sifat keji dan banyak kejahatan yang telah dilakukannya. Termasuk sejumlah pembunuhan yang dilakukannya melalui kaki tangannya.
Ia pun dicari-cari polisi. Tempat peristirahatannya di Ancol sempat digerebek polisi, namun tak terlihat batang hidungnya. Ternyata pagi-pagi ia sudah pergi mengadu ayam di Pasar Asem (daerah Pecenongan). Ketika para petugas mengejar ke arena adu ayam, para petaruh gempar karena mengira polisi melakukan penggerebekan. Tambahsia sendiri menyadari bahwa ia terkena tuduhan berat ketika tangannya diborgol.
Berdasarkan keterangan para saksi dan bukti yang ada, pengadilan menjatuhi playboy Betawi ini hukuman mati. Oey Tambahsia menaiki tiang gantungan dengan wajah berseri. Ia berdandan rapi, seperti kebiasaan hidupnya sehari-hari. Dengan tangan terikat ia sempat berpesan pada si algojo, ”Dalam kantung baju saya ada selembar uang kertas 50 rupiah untuk kau punya upah. Tetapi aku minta kau jangan keliwat bengis menjerat dan menekan batang leherku.” Hukuman ini disaksikan banyak orang yang memenuhi halaman depan Gedung Balaikota (kini Museum Sejarah DKI) Jl Falatehan I, Jakarta Barat. Kala itu, tiap tertuduh yang akan dihukum gantung, pelaksanaan eksekusinya dilakukan di hadapan orang banyak.
REPUBLIKA – Minggu, 13 Juni 2004
Tinggalkan Balasan