Memasuki kawasan Pekojan, Jakarta Barat, dari Jl Tubagus Angke terdapat sebuah jembatan yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat. Keberadaan jembatan yang dinamakan Jembatan Kambing ini punya sejarah panjang. Karena kambing-kambing yang didatangkan dari berbagai tempat, umumnya dari Tegal, sebelum disembelih di pejagalan lebih dulu dilewatkan jembatan Kali Angke yang memisahkan Pekojan dan Jl Tubagus Angke. Hingga kini nama Pejagalan merupakan salah satu kampung di Kelurahan Pekojan.
Nama Jembatan Kambing ini pun dikaitkan dengan kegemaran masyarakat keturunan Arab pada daging kambing. Sampai 1950-an mayoritas penduduk Pekojan adalah keturunan Arab yang sebagian besar berasal dari Hadramaut (salah satu wilayah di selatan Yaman). Besarnya jumlah komunitas keturunan Arab ini menyebabkan banyak pula pedagang kambing yang mangkal di tepi Kali Angke itu. Dan para pedagang kambing ini sebagian besar juga keturunan Arab. Para pedagang ini menyatakan mereka ini hanya meneruskan usaha dagang yang dilakukan oleh ayah, kakek, bahkan buyut mereka.
Keturunan Arab banyak berdatangan ke Indonesia pada abad ke-18 dan oleh pemerintah kolonial Belanda mereka ditempatkan di Kampung Arab: Pekojan dan Krukut. Maksudnya untuk memisahkan mereka dengan penduduk pribumi, karena Belanda takut mereka akan menyebarkan Islam. Dalam hal masakan, Pekojan punya keistimewaan. Nasi kebuli, gulai dan semur kambingnya terkenal seantero Jakarta.
Jembatan Kambing ini berhadapan dengan Masjid An-Nawir yang dibangun 1760. Pada akhir abad ke-19 masjid ini diperluas oleh Sayid Abdullah Bin Husein Alaydrus, seorang kaya raya yang namanya diabadikan menjadi nama Jalan Alaydrus di Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat. Semasa hidupnya ia ikut menyelundupkan senjata untuk para pejuang Aceh saat melawan Belanda. Masjid yang kini dapat menampung dua ribu jamaah ini merupakan salah satu masjid tempat mengajar Habib Usman Bin Yahya, pengarang sekitar 50 buku (kitab kuning) berbahasa Melayu Arab gundul. Ia pernah diangkat sebagai mufti Betawi pada 1862 (1279 H). Salah seorang muridnya adalah Habib Ali Alhabsji (meninggal 1968) yang mendirikan Majelis Taklim Kwitang.
Saat mengunjungi Masjid An-Nawir saya bertemu salah seorang tokoh masyarakat Pekojan, Abdullah Zaidan. Pria yang mengaku telah berusia 94 tahun ini tampak jauh lebih muda dari umurnya. Hanya pendengarannya yang terganggu hingga perlu berbicara agak keras dengannya. Kelahiran Pekojan ini pernah tinggal lama di Hadramaut dan baru kembali ke Jakarta tahun 1948. Ia diusir pemerintah kolonial Inggris yang menjajah Hadramaut (Yaman Selatan) kala itu. ”Saya dituduh komunis,” katanya.
Maklum, setelah proklamasi kemerdekaan RI, bersama kawan-kawannya yang kebanyakan dari Indonesia, Abdullah ikut menggerakkan perlawanan terhadap penjajahan Inggris. Termasuk juga Syaihan Alhabsji yang kemudian melarikan diri ke Arab Saudi. Termasuk dalam gerakan ini adalah insinyur Haydar Abubakar Alatas yang ayahnya meninggal di Indonesia adalah masih saudara dekat mantan Menlu Ali Alatas.
Di masa lalu kawasan Pejagalan di Kelurahan Pekojan ini sangat luas. Meliputi Jembatan Tiga dan Teluk Gong. Di sebelah utara berbatasan dengan Kampung Janis, sebelah selatan dengan Kali Patuakan, sebelah timur berbatasan dengan kali Kampung Baru, dan sebelah barat berbatasan dengan Kali Patuakan. Di Kampung Pejagalan ini terdapat beberapa tempat dengan nama tua, seperti nama kampung, jalan (gang), jembatan, dan lainnya.
Misal, nama Kampung Air. Dinamakan demikian karena bila musim hujanÿ20selalu banjir dan tergenang air. Konon, sampai kini biar pun musim kemarau, namun sumur-sumur penduduk tak pernah kering. Terdapat juga nama Kampung Kayu karena di sana dulu tinggal seorang saudagar kayu bakar (kala itu untuk memasak umumnya warga kota menggunakan kayu bakar). Nama Gang Gatep muncul karena dulu di daerah Pejagalan banyak tumbuh pohon gatep yang bijinya lezat dam gurih. Pohon gatep disebut juga pohon gayam. Seorang keturunan Arab bernama Mustafel yang dianggap tokoh masyarakat setempat di kala itu juga diabadikan namanya menjadi nama gang hingga kini.
Ada yang menarik dari nama Kampung Baru di tempat ini. Dulu kebiasaan penduduk di tempat ini punya kebiasaan buang air di selokan hingga menimbulkan bau tak sedap. Mulanya dinamakan Kampung Bau, tapi mungkin penduduknya tidak berkenan lama kelamaan luntur menjadi Kampung Baru. Di tempat ini terdapat sebuah pasar yang buka tiap sore hari. Oleh penduduk dinamakan Pasar Sore. Tidak jauh dari Kampung Pekojan terdapat pula sebuah pasar yang hanya buka pagi hari hingga disebut Pasar Pagi. Kini, Pasar Pagi sudah dipindah ke Mangga Dua, Jakarta Kota, menjadi pusat grosir yang dikunjungi ribuan orang tiap harinya.
Kampung Pejagalan diairi dua sungai: Kali Kampung Baru dan Kali Patuakan. Air Kali Kampung Baru berasal dari Jelambar. Dulu oleh penduduk dipergunakan untuk mengangkut bambu ke daerah kota. Sedangkan, air Kali Patuakan berasal dari Kali Jembatan Lima. Karena jernih digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian. Tapi, kenangan masa lalu itu kini tak dijumpai lagi. Kedua sungai ini seperti juga sungai-sungai lainnya di Jakarta sudah berubah jadi selokan besar, penuh sampah, dan bau.
REPUBLIKA – Minggu, 11 Juli 2004
Tinggalkan Balasan