Bertepatan HUT Jakarta ke-477 Radio Ramaco mengangkat perbincangan Apa sebab 22 Juni 1527 ditetapakan sebagai tahun kelahiran Jakarta. Dalam diskusi ini saya dan budayawan Betawi Ridwan Saidi bertindak sebagai narasumber. Menurut almarhum Prof Nugroho Notosusanto, penetapan ini berdasar disertasi Prof Dr Hoesein Djajadiningat yang dipertahankannya pada tahun 1913 di Universitas Leiden, Belanda. Namun, yang menentukan 22 Juni sebagai hari lahir Jakarta adalah Prof Dr Soekanto, guru besar sejarah Fakultas Sastra UI, ketika menulis risalah Dari Djakarta ke Djakarta (1954).
Dengan bertolak dari teori sejarahwan Hoesein Djajaningrat, Soekanto memperkirakan pertempuran antara Fatahillah melawan Francisco de Sa dari Portugal terjadi Maret 1527. Hingga, ia memastikan, pemberian nama Jayakarta dilakukan setelah bulan Maret itu. Tapi, bahan-bahan sejarah yang kuat tak terdapat untuk menentukan tanggal dan bulan yang pasti pada pemberiaan nama itu. Karena itu, menurut sejarahwan Noegroho Notosusanto, Soekanto menempuh cara dugaan saat menetapkan 22 Juni 1527 yang bertepatan dengan 12 Rabiulawal (hari kelahiran Nabi Muhammad) yang merupakan hari raya Islam yang paling dekat dengan Maret.
Jadi, kata Noegroho, teori ini tidak begitu kuat karena hanya bersifat dugaan. Tapi, yang jelas teori yang berawal dari Hoesein Djajaningrat ini kemudian diterima Pemda DKI di masa walikota Sudiro (1953-1958). Di masa Sudiro dan kemudian dilanjutkan dengan para gubernur sesudahnya boleh dibilang HUT Jakarta tidak dirayakan semarak seperti sekarang. Berlalu hampir tanpa upacara-upacara. Paling-paling para pejabat DKI melakukan ziarah ke makam Pangeran Jayakarta di Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur.
Baru pada masa gubernur Ali Sadikin HUT DKI diperingati secara meriah. Untuk menyambutnya diselanggarakan Jakarta Fair di silang Monas, tempat Pasar Gambir di masa kolonial Belanda. HUT Jakarta dibuat meriah dengan diramaikan pesta kembang api dan malam muda-mudi semalam suntuk dari Monas hingga depan Hotel Indonesia. Ratusan ribu rakyat memenuhi jalan tersebut, sementara Bang Ali dengan pakaian Betawi muncul dan menyalami rakyat dari jembatan penyeberangan di depan Sarinah.
Ridwan Saidi memang sejak lama termasuk kelompok yang menolak penentuan 22 Juni 1527 sebagai hari jadi kota Jakarta, sekalipun sudah diperingati lebih dari setengah abad lalu. Dia menyatakan siap untuk debat pendapat mengenai hal ini. ”UUD saja bisa diubah, apalagi penentuan HUT DKI,” katanya. Ridwan menyalahkan banyak sejarawan kita yang mengutip sejarahwan Belanda.
Ia juga menolak pendapat yang menyebutkan serangan Falatehan ke Sunda Kelapa sebagai perang agama untuk memerangi kaum kafir karena penguasa Pakuan Pajajaran memeluk agama kafir. Ridwan memaparkan, ketika Falatehan menyerang Sunda Kelapa, agama Islam telah berkembang pesat di bandar pelabuhan ini dan daerah sekitarnya. Bahkan ia menilai, penaklukan Sunda Kelapa didorong oleh motivasi ekonomi. ”Kelak terbukti di dalam 92 tahun kekuasaan Cirebon/Banten Surosowan (Fatahillah, Tubagus Angke, Ahmad Jaketra) atas pelabuhan Kalapa tidak membawa pengaruh atas penyebaran Islam. Karena mereka memang tidak menyebarkan Islam, melainkan berdagang saja,” tulis Ridwan dalam Babad Tanah Betawi.
Tapi, LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi) sekitar belasan tahun lalu pernah berencana untuk mendirikan patung Falatehan di pelabuhan Sunda Kelapa, Pasar Ikan. Semacam patung Liberty di pelabuhan New York. Bahkan suatu tim kala itu sudah berangkat ke Amerika Serikat dalam upaya mewujudkannya yang hingga kini tidak kesampaian. Ketika Falatehan menaklukkan Portugal di teluk Jakarta, penduduknya sudah beragama Islam. Karena awal masuknya pengaruh Islam secara berencana di Nusa Kelapa dimulai dengan berdirinya pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang.
Menurut Babad Tanah Jawa pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin yang berasal dari Campa pada 1412 (saka) atau 1491 (masehi). Kemudian Islam dengan cepat memasuki Istana Pajajaran dan istana kerajaan bawahannya termasuk Tanjung Pura. Yang terpenting, Syekh Quro selaku penyebar pertama Islam di daerah Nusa Kalapa tidak menggunakan kekerasan, melainkan jalan damai. Hingga kini di Desa Pulo Kelapa, Lemah Abang, sekitar 15 km dari kota Karawang, terdapat makam Syekh Hasanuddin Quro. Tiap malam Sabtu, ada acara Sabtuan yang dihadiri ribuan peziarah. Mereka datang dari berbagai kota, bahkan dari luar Jawa Barat.
Berdirinya Pesantren Quro pada 1416 menimbulkan reaksi keras para resi yang ditulis dalam kitab Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan (1518). Ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam yang telah berjalan selama 27 tahun begitu pesat hingga membuat khawatir para resi di Pakuan Pajajaran. Pengaruh Islam semakin kuat dengan keterlibatgan Kian Santang, putra Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dalam penyebaran Islam. Di samping terbelahnya sikap para resi dalam menyikapi Islam, ada pula yang berpendapat mereka yang memeluk Islam melanggar ajaran Sanghyang Sikshakanda Ng Karesyan. Para pemeluk Islam itu mereka namakan kaum langgara. Dan tempat berkumpulnya dinamakan langgar. Hingga kini, langgar merupakan sebutan untuk mushala bagi warga Betawi.
REPUBLIKA – Minggu, 27 Juni 2004
Tinggalkan Balasan