Hiroshima, 6 Agustus 1945 pukul 08.15 pagi bom atom pertama dijatuhkan di kota nomor tujuh terbesar di Jepang. Dahsyatnya bom pemusnah massal ini tak terperikan. Lebih dari 70 ribu orang tewas mengenaskan di kota yang berpenduduk 350 ribu jiwa ini. Masih ribuan orang lagi yang meninggal secara mengerikan akibat terkena debu radio-aktif atau radiasi bom yang amat hebat itu. Tak berhenti sampai disini, tiga hari kemudian (9 Agustus 1945) Nagasaki menjadi sasaran bom berikutnya. Seperti juga Hiroshima, kota Nagasaki juga hancur lebur dan mereka yang tewas akibat ledakan bom kedua ini sebanyak 75 ribu orang. Sekali pun peristiwa ini sudah berlangsung 59 tahun lalu, tapi sampai kini dunia masih tetap berkabung.
Dengan dijatuhkannya bom atom di kedua kota itu, maka Kaisar Hirohito yang sangat dimuliakan rakyatnya memerintahkan agar perang dihentikan. Balatentara Dai Nippon yang bersemboyan Asia Timur Raya akhirnya takluk tanpa syarat kepada Sekutu dalam PD II yang menelan korban jutaan orang.
Bertekuk lututnya balatentara Jepang ini rupanya tidak banyak diketahui bangsa Indonesia. Karena pada masa pendudukan Jepang semua radio disegel, hingga boleh dikata orang Indonesia tidak pernah mendengar dan buta terhadap berita-berita luar negeri. Warga yang memiliki radio juga sangat sedikit. Pemilik radio memiliki tanda khusus di depan rumahnya. Yang paling ditakuti oleh warga ketika itu adalah Kempetai (Polisi Militer Jepang). Mereka yang kedapatan mendengarkan berita luar negeri, dibawa ke Hoofdbureau (Hopbiro) semacam markas kepolisian yang kala itu berkantor di Monas. Begitu bengisnya tentara Jepang, hingga mereka yang dibawa ke markas polisi atau militer saat pulang hanya tinggal nama.
Bahkan, Bung Karno dan Bung Hatta, yang sangat dekat dengan Jepang tidak mengetahui bila negeri matahari terbit ini telah bertekuk lutut. Terbukti keduanya bersama dr Radjiman ketika pada 14 Agustus 1945 kembali di Jakarta masih belum yakin Jepang sudah menyerah. Padahal ketiga tokoh itu bertemu Jenderal Besar Terauchi, panglima tertinggi pasukan Jepang di Asia Tenggara, di Dalath sekitar 150 km dari kota Saigon (kini Ho Chin Minh).
Hanya sejumlah orang yang bekerja ‘dibawah tanah’ yang mengetahui kekalahan Jepang melalui radio. Mereka tak berani menyebarkan berita ini terang-terangan. Hal inilah yang membuat suasana kota Jakarta tegang dan penuh kesibukan. Pada 15 Agustus, menyerahnya Jepang ke tangan sekutu makin santer. Sementara golongan muda memaksa Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan hari itu juga. Karena menolak desakan para pemuda, keduanya kemudian diculik ke Rengasdenglok, dekat Karawang, Jawa Barat.
Kedatangan tentara Jepang bukan soal mendadak bagi bangsa Indonesia. Dalam buku Ramalan Jayabaya disebutkan akan adanya kedatangan orang-orang katai (pendek). Masa itu karena bangsa Jepang bertubuh pendek mendapat julukan kate. Kini akibat gizi yang meningkat bangsa Jepang jauh lebih tinggi dan enerjik dari bangsa kita. Kalau dulu tinggi rata-ratanya tak lebih 150 cm, sekarang mencapai 170 cm sampai 180 cm. Demikian pula badannya jauh lebih tegap.
Menurut ramalan Jayabaya, orang kate ini hanya berkuasa seumur jagung dan akan membebaskan Indonesia dari cengkramen Belanda. Ketika dengan mendadak menyerang Pearl Harbour, pusat kekuatan AL AS (8 Desember 1941), dalam waktu singkat angkatan perang Jepang merebut dan menduduki Singapura (15/2-1942) yang merupakan benteng pertahanan Inggris/Sekutu. Setelah menaklukkan Kalimantan dan Sumatera pada 1 Maret 1942 Jepang mendarat di tiga tempat di Jawa. Yakni, Banten dan Eretan (Jawa Barat) serta Kranggen (Jateng). Kekuatan Belanda di Hindia Belanda kala itu berjumlah 40 ribu orang (4 divisi). Diantaranya terdapat pasukan AS, Inggris, dan Australia. Sedangkan, kekuataan Jepang jauh lebih besar, yaitu 6-8 divisi (100 ribu hingga 120 ribu orang).
Batavia pun dikosongkan. Setelah dibombardir dari laut pada 5 Maret 1942 Batavia dinyatakan sebagai kota terbuka dan tidak akan dipertahankan. Tiga hari kemudian (8 Maret 1942) Gubernur Jenderal Tjarda van Stankenborgh menyatakan menyerah secara resmi kepada pasukan Jepang. ”Wij Sluiter nu Vrwed tot beteremtijden leve de Kongen (Kita berhenti sampai disini, sampai jumpa di hari-hari yang lebih baik, hidup Ratu).” Demikian pernyataan yang disampaikannya.
Menurut Khalid Rasyadi, salah seorang personil Angkatan ’45 yang menulis tentang kedatangan balatentara Jepang di Batavia, ketika Belanda menyatakan takluk kemudian ratusan prajurit Jepang dengan menaiki sepeda tiba pada malam hari di Jl Hayam Wuruk yang kala itu terdapat kantor Residen Batavia. Dari mulut kemulut peristiwa ini tersebar kemana-mana. Malam harinya dengan bersandal saya menuju Harmonie dan melihat rakyat berteriak-teriak. ”Hidup Indonesia”, Hidup Indonesia Merdeka,” dan ”Hidup Dai Nippon”. Di dekat saya seorang laki-laki peranakan Cina dengan penuh semangat berteriak, ”Hidup Asia” dan ”Asia untuk bangsa Asia.”
Sejak saat itu penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun dimulai dan rakyat semakin menderita. Tidak terhitung orang yang mati kelaparan. Pemandangan mayat yang tergeletak dipinggir jalan merupakan hal biasa kala itu. Banyak orang yang memakai kain dari tikar hingga dikerubuti kutu. Rumah sakit hampir tidak memiliki obat. Orang bergumul di bak-bak sampah mencari sisa makanan yang sukar didapat.
REPUBLIKA – Minggu, 08 Agustus 2004
Tinggalkan Balasan