Foto salah satu sudut kota Batavia (di kawasan sekitar Kalibesar Jakarta Kota) pada awal abad ke-20. Lihatlah betapa kereta kuda mendominasi angkutan umum kala itu. Gedung-gedung megah berupa perkantoran-perkantoran seperti tampak dalam foto, sudah banyak bermunculan dengan arsitektur modern, seperti gedung-gedung di Eropa.
Warga Eropa yang banyak berdatangan di Batavia, membangun perkantoran disekitar Jakarta Kota, meskipun mereka tinggal di Weltevreden, Gambir, Pasar Baru, dan Senen. Mereka banyak berdatangan ke Nusantara sejak dibukanya Terusan Suez (1869), yang mempersingkat jarak tempuh pelayaran dari Eropa ke Asia. Sementara, pemerintah Hindia Belanda melakukan liberalisasi ekonomi, hingga banyak modal asing yang masuk ke sini.
Dalam foto yang diperkirakan sudah berusia lebih satu abad itu, terlihat bagaimana sibuknya kawasan Jakarta Kota, sementara mobil belum dan kendaraan bermotor beroda dua belum satu pun nongol. Mobil baru terlihat di Batavia tahun 1903 dan awal 1911 awal mesin terbang pertama. Lihatlah para pejalan kaki diantaranya seorang yang pegawai yang baru pulang dari kantor dengan memakai stelan putih-putih, dengan topi putih, pakaian golongan Eropa dan ningrat kala itu.
Di kejauhan menyelusuri sebuah gedung bewrlantai dua tampak trem uap (stoomtram) yang mulai beroperasi di Batavia sejak 1881 dan kemudian (1899) disusul dengan trem listrik. Sebelumnya sejak 1869 muncul trem kuda, yang ditarik oleh dua ekor kuda. Trem uap seperti yang terlihat di foto, menelusuri jalan-jalan dari Kasteelplein (Lapangan Fatahillah) hingga dibatas selatan Meester Cornelis (Jatinegara). Zaman itu dinamakan era Trem Uap. Di gerbong paling depan tempat untuk mengisi batubara, bahan baku utamanya.
Di samping trem uap dan kemudian trem listrik, kendaraan yang banyak digunakan adalah sado dari kata dos a dos. Kemudian keluar delman (menurut nama tuan Deleman yang mulai menggunakan kendaraan model demikian). Orang yang mampu, terutama tuan-tuan toko, menggunakan kereta palankijn, ditarik dua ekor kuda, beroda empat, muat dua penumpang yang duduk di dua bangku berhadap-hadapan. Kereta ini dapat ditutup dan memakai sepasang jendela berjalusi. Lebih belakang digunakan Ebro, semacam kereta tenda.
Tio Tek Hong dalam buku Keadaan Jakarta Tempo Doeloe menuuturkan, pada 1890-an kita baru mengenal sepeda (velocipede) alias fiets atau kereta angin. Kala itu, sepeda mereka rover harganya 500 gulden dan dipakai untuk kebanggaan, karena tidak banyak orang yang memiliki. Pedagang sepeda adalah Tuan Gruyter, yang menjual juga alat-alat sepeda di Gambir (Medan Merdeka Barat). Dia juga membangun race baan (sebuah lapangan untuk langganan-langgannya balapan sepeda).
REPUBLIKA – Sabtu, 09 September 2006
saya amat tertarik dengan sejarah perkeretaapian tempo dulu yang sekarang bekas-bekas loko uapnya boleh dikata sudah punah tak berbekas
Kalau ente mau lihat silakan aje ke Musium Perkeretaapian