Inilah salah satu warung milik Tionghoa di awal abad ke-20, yang banyak terdapat bukan hanya di kampung-kampung Jakarta, tapi sampai ke pelosok pedesaan. Yang mereka jual berupa keperluan hidup sehari-hari. Mulai dari beras, bumbu dapur, gula, garam,teh, kopi, kayu bakar hingga arang.
Bahkan juga paku, gergaji, kampak dan cat. Tapi ada satu larangan yang sangat dipatuhi pedagang Cina. Mereka tidak mau menjual benda-benda tajam seperti paku dan jarum selewat sore hari. Jadi jika kita ingin membelinya pada pagi atau siang. Entah apa yang menjadi penyebab keyakinan ini.
Seperti yang terlihat dalam foto: ‘seorang pemilik warung Cina tengah berdiri di depan warungnya’. Di belakang sang tauke tampak pegawai (kuli) pribumi dengan telanjang baju untuk mengangkut barang-barang. Lihatlah merek warung yang masih menggunakan bahasa Cina.
Di Jakarta, sampai akhir 1950-an warga Cina memiliki toko-toko besar dan kecil di pasar-pasar. Termasuk pedagang keliling berupa tukang kelontong yang dipikul oleh kulinya. Ketika itu, sudah banyak warga Tionghoa yang tinggal di kampung-kampung Selam (Islam), setelah mereka dibolehkan pindah dari China Town Glodok. Dalam berhitung mereka menggunakan ‘sipoa’ yang tidak kalah cepatnya dalam menghitung dengan para pedagang sekarang yang gunakan kalkulator. Para pemilik warung ini dalam melayami pembeli umumnya memakai celana pendek dari blacu dan kain singlet.
Ada suatu peristiwa penting peristiwa berbau rasialis terhadap warga Cina yang justru terjadi pada masa Presiden Soekarno. Ketika dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1959. Isinya melarang mereka berdagang di daerah-daerah di bawah tingkat kabupaten. Peraturan ini sebetulnya dimaksudkan terhadap orang Tionghoa WNA (Warganegara Asing/RR Cina). Tapi nyatanya PP tersebut berimbas pada semua warga Tionghoa yang berdagang di pedesaan. Tidak peduli WNA atau WNI.
Akibat PP 10/1959, ratusan ribu WNA dipulangkan kenegeri leluhur. Untuk itu, pemerintah RR Cina sengaja mengirimkan sebuah kapal untuk mengangkut mereka ke daeratan Cina. Peristiwa yang mengganggu hubungan RI-RRC ini baru dapat diselesaikan setelah perundingan antara Bung Karno dan PM Cho En Lai, yang sengaja datang ke Jakarta.
Warga Tionghoa yang berdomilisasi di Indonesia dan luar negeri kala itu disebut Hoakiau. Ketika Presiden Sukarno dalam masa Demokrasi Terpimpin menandatangani PP No 10/1959 itu: Semua pedagamng eceran Cina harus menutup usahanya di pedesaan. Tidak jelas apakah seluruh keturunan Cina di larang bermukim di pedesaan. Tapi yang jelas, Pangdam Siliwangi Kolonel Kosasih memaksa mereka pindah.
Di Indonesia khususnya di China Town Glodok peristiwa rasialis yang sangat memilukan terjadi pada September 1740. Menurut data kontemporer, sekitar 10 ribu warga Tionghoa dibunuh secara kejam. Bulan 1988, saat terjadinya pemindahan kekuasaan dari Soeharto kepada Habibie juga terjadi peristiwa kekerasan terhadap warga Tionghoa. Toko, rumah dan berbagai tempat usaha mereka telah dibakar atau dirusak.
REPUBLIKA – Sabtu, 23 September 2006
Tinggalkan Balasan