Sebuah dokar dengan kuda tampak melaju dengan tenang menyusuri Jalan Prapatan, Jakarta Pusat. Tentu saja peristiwa ini terjadi 139 tahun lalu, karena Jl Prapatan Raya sekarang ini seperti juga jalan-jalan di Jakarta macetnya sudah kagak ketolongan. Foto ini diambil oleh photografer Jacobusd Anthonie Meessen pada September 1867 dan merupakan koleksi dari Royal Library, Den Haag, Belanda.
Lihatlah betapa sejuk dan asrinya jalan yang menghubungkan Senen dan Kwitang di Selatan dan Menteng Raya dan Cikini kearah barat dan Jl Ridwan Rais ke Stasion Gambir ke arah timur. Di sepanjang jalan yang kita lalui tampak teduh dengan pohon-pohon kelapa yang banyak tumbuh.
Sampai tahun 1950-an, banyak pekarangan rumah di Jakarta terdapat pohon kelapa, yang kini sudah langka. Tidak heran kalau pada tahun 1940-an pencipta lagu legendaris Ismail Marzuki menciptakan lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’ gambarkan betapa rayanya bumi Nusantara termasuk Jakarta ditumbuhi pohon-pohon kelapa. Bahkan sekarang ini di pantai Ancol dan Tanjung Priok sulit mendapatkan pohon kelapa.
Tampak Jl Parapatan Raya belum diaspal karena mobil dan kendaraan bermotor belum satupun yang nongol. Rumah-rumah seperti tampak dalam foto juga masih sederhana. Jarak antara satu rumah dengan rumah tetangga agak berjauhan. Karena itulah orang-orang Betawi tempo doeloe kalau berbicara keras-keras. Meskipun di sini sudah mulai tinggal warga elite Eropa, tapi kediamannya masih sederhana. Pagarnya masih terbuat dari bambu yang kini sudah menghilang di Jakarta.
Jalan Parapatan di bangun 1735 ketika tuan tanah yang sangat tajir, Justinus Pink, sekaligus membangun dua buah pasar. Masing-masing Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Dengan tujuan agar barang-barang dari kedua pasar ini distribusinya berjalan lancar. Di ujung Jl Parapatan dekat Jl Menteng Raya, pada 1960’an oleh Bung Karno dididirikan patung petani suami istri. Karena si petani memanggul bedil, ketika terjadi G30S/PKI ada suara yang meminta patung ini diruntuhkan.
Maklum saat itu PKI sangat getol menuntut agar petani dan buruh dipersenjatai sebagai angkatan ke-5. Sementara ABRI, terutama AD menolak keras hingga terjadi kudeta G30S. Di sebelah kiri patung petani dari arah Kebon Sirih terdapat hotel berbintang lima Aryaduta milik wartawan BM Diah. Pada 1 Oktober 1945 dia menerbitkan harian Merdeka. Sebelumnya merupakan kediamanmertuanya, dr Latip, seorang dokter sangat merakyat. Ketika masih kecil (1950-an) ketika sakit oleh ibu saya selalu diajak berobat ke dokter Latip.
Rumahnya yang sangat luas itu dijadikan hotel menjelang Kongres PATA awal 1970’an. Di seberang Hotel Aryaduta berdiri sebuah gereja Inggris : Anglikan, yang letaknya agar tersembunyi di bagian dalam. Menurut Adolf Heyken, gereja yang dibangun 1829 merupakan gereja tertua ketiga yang masih berdiri kokoh di Jakarta. Di sebelah kanan gereja terdapat Badan Meteorologi dan Geofisika yang tiap hari meramalkan keadaan cuaca. Warga Betawi dulu menamakannya ‘gedung
keker’.
REPUBLIKA – Sabtu, 14 Oktober 2006
Tinggalkan Balasan