Kini di berbagai sudut jalan raya kota Jakarta tengah dikembangkan angkutan busway yang untuk sementara ini menambah kemacetan kota ini. Pemda DKI Jakarta juga berencana membuat triple decker (jalan tiga susun) yang dibicarakan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Jepang pekan lalu. Sejak abad ke-19, Jakarta ketika masih bernama Batavia sudah memiliki angkutan modern. Dimulai dengan jalur kereta api Tanjung Priok – Buitnzorg (Bogor) pada 1873. Untuk keperluan lalu lintas dalam kota pada 1869 muncul trem berkuda. Gerbong-gerbong trer ditarik oleh tiga sampai empat ekor kuda.
Sungguh malang nasib binatang ini, karena banyak yang mati kelelahan ketika menarik para penumpang yang memenuhi gerbong-gerbong. Trem kuda ini mengakibatkan jalan menjadi kotor, karena mereka buang air dan kencing saat membawa penumpang di jalan raya. Untungnya trem kuda tidak berlangsung lama. Hanya 12 tahun untuk digantikan dengan angkutan trem yang lebih modern. Yakni trem uap (1881) seperti terlihat dalam foto. Trem uap yang di bagian depannya terdapat bahan bakar batubara — seperti terlihat dalam foto — mulai beroperasi sejak pukul 6 pagi sampai pukul 7 petang. Setelah jam tersebut tidak dibenarkan lagi beroperasi dengan pertimbangan untuk memberikan kesempatan kepada beberapa keramaian di Glodok dan Kali Besar yang berlangsung tiap malam.
Tahun 1899, trem uap digantikan oleh trem listrik yang lebih modern. Seorang prajurit Belanda pada awal abad ke-20 ketika pertama kali datang ke Batavia dia menceritakan kisah perjalanan naik trem uap. ”Dari kejauhan terdengar bunyi lonceng trem uap persis seperti di Belanda. Trem berhenti dan kamipun naik. Di atas lokomotif berdiri masinis pribumi dan petugas yang menyalakan api. Dua kondekturnya adalah orang Betawi muda yang berseragam tapi tanpa alas kaki. Sementara kepala kondektur adalah seorang Eropa pnsiunan tentara.”
Selanjutnya prajurit tersebut menulis: ”Trem ini memiliki kelas satu dan kelas dua. Masih ada gerbong khusus kelas tiga untuk pribumi yang membayar lebih murah. Ganjilnya, orang Eropa, Cina dan Arab tidak diperbolehkan duduk di kelas tiga. Ini ada hubungannya dengan prasangka rasis yang dianut banyak orang Eropa di Hindia Belanda.
REPUBLIKA – Sabtu, 02 Desember 2006
Tinggalkan Balasan