Setelah Suwiryo (PNI) yang menjabat wali kota Jakarta (1945-1947) dan (1950-1951), dia kemudian digantikan oleh Syamsuridjal. Kala itu jabatan wali kota diperebutkan antar partai politik. Syamsuridjal dilantik pada 27 Juni 1951 dengan pangkat residen. Dan setelah Syamsuridjal, kelahiran Karanganyar, Karesidenan Kedu, Jawa Tengah 14 Oktober 1903, kembali tokoh PNI menjadi wali kota Jakarta, yakni Sudiro (1953-1960).
Seperti juga Suwiryo, selama aksi militer Belanda 1947, Syamsuridjal yang kala itu menjadi wali kota Solo dipenjarakan Belanda selama enam bulan. Sejak muda, Syamsuridjal telah terjun dalam dunia politik dan pergerakan kemerdekaan. Dalam usia 22 tahun dia telah mendirikan Jong Islamiten Bond (JIB) dan pada 1950 menjadi anggota Dewan Pimpinan Masyumi.
Salah satu hasil karyanya selama menjabat wali kota yang cukup menonjol ketika itu adalah ia membangun pembangkit listrik di Ancol, Jakarta Utara. Adanya pembangkit listrik ini sangat menolong karena kala itu listrik di Jakarta sangat gawat. Begitu gawatnya sehingga perlu diadakan pemadaman listrik tiap tiga hari sekali. Kekurangan ini disebabkan karena Jakarta yang kala itu penduduknya sudah lebih dari satu juta hanya diberikan jatah 240 kilowat. Sedangkan yang diperlukan 272 kilowat. Dengan dibangunnya pembangkit di Ancol, pemadaman menjadi tiap enam hari sekali. Juga dibangun bendungan air di Karet, kawasan Tanah Abang, hingga menambah 5.000 liter air per detik. Bagi penduduk yang tinggal di daerah-daerah kering dibuatkan 230 hidran, di samping penambahan suplai air dari Ciomas, Bogor.
Dalam masalah tanah, wali kota membagi atas empat katagori. 1. tanah kotapraja, 2. tanah negara, 3. tanah individual, dan 4. tanah partikulir. Yang jadi pemikiran serius tanah partikulir yang jumlahnya 3.566 ha milik 16 perusahaan yang sangat telantar penanganannya. Kampung-kampung yang berada di atas tanah partikulir sangat kotor, tidak beraspal, hingga berdebu di musim kemarau dan di musim hujan seperti kubangan dan berlumpur.
Syamsuridjal juga bercita-cita menjadikan Jakarta sebagai kota metropolitan, membangun setaraf dengan kota-kota lain di dunia yang punya sifat dan tradisi internasional. Dia juga merintis pengobatan keliling dengan mobil-mobil ke berbagai pelosok kampung untuk tingkatkan kesejahteraan rakyat.
REPUBLIKA – Sabtu, 24 Maret 2007
Tinggalkan Balasan