Sepak Terjang Sudiro (1)
Sudiro, wali kota ketiga setelah proklamasi 1945, menjabat dua periode. Pertama 1 November 1953 sampai 25 Pebruari 1958. Kemudian dilanjutkan sampai 6 Pebruari 1960. Pada periode kedua, sebutan wali kota diganti jadi Kepala Daerah Tingkat I Jakarta Raya. Kelahiran Yogyakarta 24 April 1911, Sudiro sebelumnya menjabat gubernur seluruh Provinsi Sulawesi. Wali Kota Sudiro berasal dari unsur PNI, sedangkan wali kota kedua, Syamsuridjal dari Masyumi.
Selama jabatannya, Sudiro bertindak tegas dengan melarang para pedagang kaki lima berjualan di trotoar karena mengganggu lalu lintas. Dia juga bertindak tegas membersihkan gubuk-gubuk liar yang banyak bermunculan karena banyaknya pendatang dari daerah-daerah mencari peruntungan di Jakarta. Dalam memoarnya Sudiro menyatakan, untuk tindakannya ini dia banyak mendapat tantangan dari PKI.
Dia juga selama tiga hari mengumpulkan tiga ribu pemuka masyarakat Ibu Kota untuk merundingkan pembentukan RT dan RK yang kini diubah menjadi RT-RW. Intinya membantu pimpinan instansi-instansi pemerintahan dan kepala kampung. Tahun 1955, Sudiro membagi Jakarta menjadi tiga wilayah kabupaten administratif: Jakarta Utara, Jakarta Tengah, dan Jakarta Selatan.
Masing-masing dipimpin seorang wedana. Pada tahun itu juga ada gerakan untuk pindahkan Ibukota. Berbagai seminar dilakukan dan dua kota yang banyak diusulkan sebagai Ibu Kota menggantikan Jakarta: Magelang (Jawa Tengah) dan Palangka Raya (Kalimantan Tengah). Baru pada tahun 1960, Presiden Soekarno menetapkan Jakarta sebagai Ibu Kota.
Dalam upaya tanggulangi banjir, pernah pemda merencanakan untuk mendirikan stoomgemalen seperti di negeri Belanda. Sehingga limpahan air di berbagai tempat dapat terus-menerus dipompa untuk kemudian dialirkan ke laut. Tetapi rencana ini kagak kesampean karena terhambat biaya. Pada masa akhir jabatannya (1960), pemasangan lampu lalu-lintas baru dimulai di beberapa tempat saja.
Ketika Bung Karno memutuskan untuk menggusur trem listrik, Sudiro berusaha untuk mempertahankan trem dari Jatinegara via Matraman dan Kramat-Senen sebagai urat nadi perdagangan. Tapi ditolak Bung Karno yang berpendapat bahwa trem tidak cocok untuk angkutan di Jakarta. Lebih cocok kalau dibangun kereta api bawah tanah. Karena biaya untuk membongkar rel lebih besar dibandingkan dijadikan besi tua, terpaksa rel-rel trem ditutup dengan tanah.
Sudiro juga menentang keras ketika gedung proklamasi di Jl Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi) No 56, Jakarta Pusat, dibongkar dijadikan sebagai Gedung Pola (semacam Bappenas kala itu). Di masa itu, Indonesia khususnya Jakarta banyak didatangi tamu-tamu asing. Pemerintah pusat menghendaki agar tamu-tamu negara itu disambut semeriah-meriahnya.
Hingga kaum buruh dan murid-murid sekolah dikerahkan. Akibatnya, tulis Sudiro, produksi menurun dan mundurnya pelajaran. Baru kemudian atas desakan pemerintah kota penyambutan dibatasi sampai pada jalan-jalan raya yang akan dilalui rombongan tamu negara. Sudiro-lah yang menetapkan pada tahun 1956 HUT Jakarta pada 22 Juni yang kemudian ditetapkan pada sidang DPRD.
REPUBLIKA – Sabtu, 07 April 2007
Tinggalkan Balasan