Sepak Terjang Sudiro (habis)
Sudiro merupakan wali kota yang pertama kali menetapkan hari ulang tahun (HUT) Jakarta jatuh pada 22 Juni 1527. Untuk itu, dia menghubungi tiga tokoh sejarawan: Mr Mohammad Yamin, wartawan senior Sudarjo Tjokrosiswojo, dan Mr Sukanto, kepala Arsip Nasional. HUT Jakarta pertama kali baru diperingati 22 Juni 1956 dalam sidang istimewa DPRD yang hingga kini masih terus berlangsung.
Sudiro menjabat wali kota 1 Nopember 1953 – 25 Pebruari 1958. Kemudian sebagai kepala daerah tingkat I Jakarta 25 Februari 1958 hingga 6 Februari 1960. Meski dari unsur PNI, Sudiro tidak senang terhadap poster-poster pornografi. Pada tahun 1955, dia membentuk Panitia Sensor Reklame untuk menertibkan poster dan reklame bioskop dan toko-toko dari gambar porno.
Bioskop maupun pertandingan sepakbola tidak boleh mengakibatkan masyarakat sampai meninggalkan ibadahnya sebagai umat beragama. Hanya pertunjukan, pembukaan dan penutupan Asian Games dan Ganefo yang terpaksa berlangsung dari ashar sampai maghrib.
Di bagian kota lama yang dikenal sebagai Kota Inten, ketika itu terdapat meriam tua peninggalan Portugis yang dibawa Belanda dari Malaka ketika menaklukkan negeri ini. Entah bagaimana si jagur dianggap sebagai ‘keramat’ yang dipercaya memiliki kekuatan gaib. Tidak heran kalau meriam ini banyak ‘diziarahi’ orang, dengan membawa sesajen untuk mendapatkan berkah.
Di tempat itu, mereka minta agar diberi anak bagi pasangan yang belum memiliki keturunan. Ada pula orang tua yang meminta agar anak gadisnya mendapatkan jodoh. Tak kurang banyaknya para janda yang datang pada si jagur agar lekas kawin lagi. Pernah terjadi seorang ibu meminta agar putrinya yang sudah lama menikah diberi momongan. Setahun kemudian dia datang kembali. Tapi dengan marah-marah karena yang hamil adiknya yang belum menikah.
Melihat kemusrikan yang merajalela ini, Sudiro menggusur meriam tua tersebut. Kemudian menempatkannya di Museum Nasional, Medan Merdeka Barat. Setelah itu dipindahkan di halaman luar Museum Sejarah DKI Jakarta. Salah satu keistimewaan si jagur adalah: tangan mengepal dengan ibu jari di antara telunjuk dan jari tengah, merupakan simbol senggama.
Tapi diartikan sebagai lambang kejantanan. Meriam si jagur yang selama ratusan tahun pernah disembah kini ditempatkan di Museum Sejarah DKI Jl Fatahillah 1, Jakarta Barat. Sebelumnya diletakkan di bagian luar museum, tempat kerumunan pedagang kaki lima. Rupanya si jagur sudah kagak angker lagi. Banyak pedagang yang mendudukinya, yang pada masa jayanya dianggap bisa kena ‘kualat’.
Kala itu, Sudiro sudah berencana untuk membangun rumah susun di bekas tempat kebakaran di Krekot Bunder, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Tapi banyak yang tidak setuju, termasuk DPRD DKI. Dengan alasan : ‘Kalau penghuni di atas kencing, penghuni yang di bawah bisa basah’.
REPUBLIKA – Sabtu, 14 April 2007
Tinggalkan Balasan