Jejak Langkah Bang Ali (2-habis)
Sebelum Ali Sadikin dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta, ada empat nama yang diajukan kepada Presiden Soekarno. Semua nama itu ditolak Bung Karno, sambil berkata: ”Jakarta membutuhkan seorang yang keras kepala. Orang yang berani.” Wakil PM Leimena yang ikut pembicaraan soal gubernur, nyeletuk: ”Oh, kalau begitu Bung membutuhkan orang seperti Ali Sadikin.” Bung Karno kontan setuju: ”Panggil dia besok,” ujarnya. Bang Ali pun dilantik oleh Bung Karno 28 April 1966.
Hanya beberapa hari setelah dilantik, selama dua hari Bang Ali keliling kota naik bus kota. ”Saya ikut berdesak-desakan dengan penumpang. Saya mengadakan tanya jawab dengan mereka. Saya jadi tahu apa yang mereka perlukan.” Sebagai realisasi turbanya itu, dia kemudian berhasil menambah ratusan bus kota. Mendirikan terminal di Lapangan Banteng, Blok M, Cililitan, Pulogadung, Grogol dan banyak sekali shelter pemberhentian bus di hampir seantero Ibu Kota.
Ketika Bang Ali mulai jadi gubernur lebih 30 tahun lalu penduduk Jakarta mungkin tidak sampai separuh dari sekarang. Rupanya ucapan Bung Karno memerlukan gubernur yang berani untuk Jakarta, terbukti kebenarannya. Seperti dalam masalah lalu lintas, dia sangat marah terhadap para pengendara terutama sopir bus kota yang tidak lagi mengenal sopan santun serta rasa kasihan. Padahal kala itu, jumlah mobil apalagi motor paling banyak 1/3 dari sekarang.
Gubernur yang suka ‘memaki’ dengan kata-kata ‘goblok’ dan ‘sontoloyo’ ini, dikabarkan pernah mengejar sopir ugal-ugalan dan kadang-kadang tangannya langsung ‘melayang’. Melihat jalan yang tidak seimbang dengan kendaraan bermotor, Bang Ali tidak segan-segan melakukan pelebaran jalan yang lebih dikenal dengan nama ‘penggusuran’. Ketika menetapkan satu kawasan di Tebet sebagai ‘daerah jalur penghijauan’, rupanya di antara yang melanggar termasuk putra seorang Menteri. Dia pun terkena penggusuran tanpa pandang bulu.
Kala itu, kampung-kampung di Jakarta yang dihuni lebih 60% penduduk miskin dan kalau hujan minta ampun beceknya. Hingga ada istilah kalau naik sepeda oranglah yang harus menggotongnya karena tanah berlumpur. Pengendara motor juga harus sedia bambu untuk membersihkan ban penuh lumpur. Maka dia pun memprioritaskan pembangunan Proyek Muhamad Husni Thamrin (MHT), untuk mengabadikan nama tokoh masyarakat Betawi yang menuntut perbaikan kehidupan masyarakat berpenghasilan rendah pada masa penjajahan. Meskipun kurang mendapat tanggapan dari Bappenas, PBB dan Bank Dunia memberikan tanggapan posiitif termasuk bantuan dana.
Bang Ali-lah yang merintis peninggalan tempat-tempat bersejarah di Ibu Kota yang kala itu tidak terurus. Termasuk Museum Sejarah DKI Jakarta yang kala itu menjadi Markas Kodim Jakarta Barat. Juga beberapa gedung tua seperti Museum Bahari yang pada masa VOC menjadi gedung rempah-rempah ikut terselamatkan. Kedua tempat ini termasuk sejumlah gedung tua lainnya paling banyak didatangi para wisatawan mancanegara khususnya dari Belanda yang melihat tempat kehidupan nenek moyangnya.
Pada 1966 ketika dia dilantik, lebih 60% anak-anak usia sekolah di Jakarta tidak bersekolah. ”Karena itu saya mengambil langkah darurat mengadakan lotto/hwa hwee untuk dapat menyekolahkan anak-anak telantar. Meskipun dia dijuluki gubernur judi dan maksiat, pembinaan agama tidak dilupakan. Seperti pembangunan dan rehabilitasi masjid yang pada 1967 berjumlah 589 masjid. Menjelang 1976 jumlahnya 1072 masjid, 50% dibangun setelah 1966. Bang Ali pada 1974 menunaikan rukun Islam kelima. Dia termasuk orang yang mendapat kehormatan masuk dan shalat dalam Ka’bah. Dia juga diundang oleh Raja Faisal bersama para pemimpin Islam mancanegara menghadiri resepsi di Istana Raja di Mina.
REPUBLIKA – Sabtu, 26 Mei 2007
Tinggalkan Balasan