Sampai saat ini masih menjadi perbincangan umum — berupa kekecewaan — mengapa Indonesia sebagai anggota PBB menyetujui Resolusi 1747 tanggal 24 Maret 2007 yang menjatuhkan sanksi terhadap Iran, karena tidak mau menghentikan program pengayaan uraniun untuk pengembangan tenaga nuklir.
Secara garis besar resolusi PBB itu berisi pemblokiran seluruh ekspor senjata dari dan ke Iran. Selain itu, juga melarang semua negara dan lembaga keuangan internasional membuat komitmen baru dalam rangka hibah, bantuan, dan perjanjian keuangan kepada Iran.
Yang patut diacungi jempol adalah sikap pemerintah dan rakyat Iran yang tidak gentar serta tidak bersedia menghentikan program nuklirnya itu, sambil menegaskan bahwa program nuklir tersebut untuk tujuan damai.
Indonesia sebenarnya semula mendukung Iran. Dukungan ini dikemukakan oleh Presiden SBY kepada Presiden Iran dan ketua parlemennya ketika berkunjung berkunjung ke Indosnesia. Sikap Indonesia — sebagai salah satu pendiri Gerakan Non Blok — itu dianggap plin-plan dan sangat mengecewakan rakyat, khususnya umat Islam.
Berbagai organisasi Islam juga turut kecewa terhadap sikap pemerintah itu. Sampai akhir pekan lalu berbagai demo terjadi di banyak daerah. Mereka mengutuk sikap Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Para anggota DPR yang tidak setuju dengan sikap pemerintah itu akan bahkan melakukan interpelasi.
Presiden Soekarno dalam pidato berjudul Resopim (Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional) pada 17 Agustus 1961 menguraikan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Pertama, bebas aktif. Kedua, solidaritas Asia -Afrika, yang kemudian ditambah dengan Amerika Latin. Dan, ketiga, tetangga baik (good neighboor policy).
Menurut Bung Karno, tujuan dari ketiga kebijaksaan politik luar negeri RI itu untuk menentang kolonialisme dan imperialisme. Di samping itu, juga untuk mempertahankan kepribadian nasional serta persahabatan antar-bangsa.
Pada pidato berjudul Membangun Dunia Baru dalam sidang umum PBB, Bung Karno tanpa tedeng aling-aling mengecam organisasi dunia ini sebagai alat imperialis. Ketika pasukan Amerika Serikat (AS) melakukan invasi ke Vietnam, Bung Karno juga menentang keras.
Dalam politik yang bebas aktif, kita tidak bisa bersikap netral melihat perlakuan kejam AS di Vietnam dan mengutuk perang itu. Itulah sebabnya kita tidak mengakui Taiwan dan Israel. ”Kita tidak netral dan tidak dapat netral dalam menghadapi imperialisme, kolonialisme, atau neokolonialisme (nekolim),” tegas Bung Karno dalam salah satu pidatonya.
Dengan hak apa AS membunuh, membakar, mengebom, meracuni, membinasakan rakyat Vietnam. ”Please, America, get out of Vietnam,” seruannya kala itu. AS yang mulai kewalahan menghadapi perjuangan rakyat Vietnam akhirnya menarik pasukannya dari negeri itu. AS mengalami kekalahan yang memalukan.
Pada tahun 1960-an, seperti juga sekarang, melalui CIA, AS melakukan campur tangan terhadap negara dan pemerintahan yang tidak disenanginya. Di Brazil, pemerintah Presiden Goulat digulingkan. Terhadap Kuba mereka terus menerus melancarkan serangan. Di Kongo mereka tumbangkan Patrice Lumumba dan menggantinya dengan Tsombe.
Ketika Armada VII AS mengancam perairan Indonesia (Riau), Bung Karno dengan suara lantang mengatakan, ”Saya peringatkan kaum imperialis jangan menjamah wilayah Indonesia. Jangan menjamah! Janganlah kalian coba-coba mengganggu Banteng Indonesia. Pemerintah dan Rakyat Indonesia tidak akan membiarkan sejengkal tumpah darahnyanya diinjak oleh musuh.”
Menurut Bung Karno, perlawanan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan tidak dapat ditaklukkan oleh kekuatan apapun. Apa yang dikemukakan oleh Bung Karno itu kini terbukti. AS dan sekutu-sekutunya mulai kewalahan menghadapi kemelut di Irak. Sejak invasi AS tiga tahun lalu, keadaan Irak bukan bertambah baik, malah semakin kacau.
Sebagian besar rakyat AS sendiri kini sudah tidak percaya lagi terhadap ambisi Bush. Mereka menuntut agar pasukan AS segera ditarik dari Irak. Bagi rakyat negeri Paman Sam itu, AS yang telah kehilangan sekitar 3.500 pasukannya di Irak dan belasan ribu lagi luka-luka, merupakan peristiwa yang sangat memilukan. Tapi yang lebih menyedihkan adalah nasib rakyat Irak. Ratusan ribu rakyat negara 1001 malam itu mati secara mengenaskan sejak invasi tersebut.
Yang lebih parah lagi rakyat Irak kini menghadapi perang saudara akibat konflik sektarian antara Shiah dan Suni. Konon konflik itu akibat provokasi AS untuk melemahkan Islam. Sementara, tuduhan AS dan sekutu-sekutunya bahwa mendiang Saddam Husein memiliki senjata kimia, atau senjata pemusnah massal, sampai saat ini tidak terbukti.
Siapapun tahu, AS punya kepentingan besar untuk menaklukkan Irak. Dan, kini dengan alasan nuklir, AS yang telah menyiapkan armadanya di sekitar Teluk Parsi dengan dukungan PBB. AS merasa punya alasan untuk menyerang Iran. Maka jalur-jalur penting perdagangan minyak dari wilayah Teluk mereka kuasai.
Sejak presiden-presiden yang lalu AS berusaha keras untuk mengamankan jalur minyak dari Teluk Persia dengan jalan apa saja. Mengingat 65 persen cadangan minyak dunia berada di Teluk Persia. Bagi AS, setelah Irak, maka Iran yang harus diserang karena negara-negara Teluk lainnya sudah dapat dikendalikan.
Tetapi harus diingat, kalau di Irak saja AS kewalahan, lebih-lebih di Iran yang penduduknya jauh lebih besar dan siap untuk menjadi martil dalam membela negara mereka.
REPUBLIKA – Minggu, 08 April 2007
Tinggalkan Balasan