Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Bandar Jakarta’ Category

Foto dari buku ‘Oud Batavia’ (Kota Tua Batavia), memperlihatkan kawasan Pintu Kecil di China Town, Glodok, yang terletak di luar Kota Batavia, yang sampai 1809 dikelilingi tembok (benteng). Dalam foto sekitar satu abad lalu, benteng berupa pintu kecil untuk masuk kota Batavia sudah tidak tampak lagi.

Di samping pintu kecil, VOC juga dibangun Pintu Besar, yang sampai kini keduanya baik Pintu Kecil dan Pintu Besar menjadi nama jalan raya di Jakarta Kota. Seperti Pintu Besar Utara (zaman Belanda disebut Binen Nieuwpoort Straat) dan Pintu Besar Selatan (Buiten Nieuwpoort Straat) adalah pintu keluar masuk ke benteng Batavia dari arah selatan lebih besar dari pintu kecil. Belanda membangun pintu kecil pada 1638 dan pintu besar tujuh tahun sebelumnya (1631). Kedua pintu pertahanan ini ditutup menjelang malam hari untuk mencegah kemungkinan serangan dari balatentara Banten dan Mataram.

Dalam foto terlihat jembatan yang menghubungkan Jl Pintu Kecil-Jl Toko Tiga-Pintu Besar yang sudah diberi beton. Sedang jalannya sudah beraspal. Di atas jembatan terlihat sebuah sado atau delman tengah melintas. Di Kali Krukut yang kala itu masih lebar tampak sebuah perahu membawa barang dagangan. Kala itu angkutan di Jakarta di dominasi oleh perahu dan kendaraan berkuda. Rumah-rumah yang terletak di tepi sungai Krukut, tampak seperti layaknya rumah-rumah di negeri leluhur mereka. Rumah tradisional dengan atap gentengnya yang di bagian atas agak runcing, kini sudah hampir hilang di kawasan Pecinan alias Glodok.

Jl Pintu Kecil, Jl Pintu Besar dan Jl Toko Tiga hingga kini tetap merupakan kawasan komersial yang penting di Glodok. Daerah ini sejak abad ke-18 oleh Belanda dijadikan daerah hunian untuk para pedagang Tionghoa dan sekaligus sebagai rumah tinggal. Dahulu Jl Toko Tiga, orang Tionghoa menyebutnya Sha Keng Tho Kho. Pada pertengahan abad ke-19 di kawasan ini hidup Oey Tambahsia, seorang playboy Betawi. Dia mendapatkan warisan yang konon tidak habis sampai tujuh turunan. Dengan wajahnya yang tampan dan masih muda belia dia menghambur-hamburkan uangnya di meja judi.

Untuk memuaskan nafsunya, play boy ini menggunakan uangnya untuk menggaet wanita, tidak peduli istri orang. Terhadap pesaing-pesaingnya ia menjadi pembunuh berdarah dingin. Memelihara sejumlah selir yang ditempatkan di tempat pelesiran Ancol, Jakarta seperti cerita 1001 malam. Dia dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan di alun-alun Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI Jakarta Jl Fatahillah). Dia mati dalam usia 31 tahun meninggalkan seorang balita.

REPUBLIKA – Sabtu, 08 Desember 2007

Read Full Post »

Inilah foto Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, pada akhir abad ke-19 saat dimulainya fotografi di Batavia. Pada masa penjajahan Salemba bernama Struiswijk. Jalan yang tampak masih senyap di kiri kanannya dipenuhi pepohonan yang rindang yang sekarang ini kering kerontang dan penuh pertokoan. Salemba merupakan salah satu jalan yang dibangun oleh Daendels ketika memerintah (1808-1811) hingga dikenal dengan jalan Daendels.

Salemba terletak di perbatasan antara Batavia dan Meester Cornelis. Kenapa demikian? Karena sejak 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atawa gemeente, yakni gemeente Batavia dan Meester Cornelis (kini Jatinegara). Baru tahun 1935 gemeente Batavia digabungkan dengan Meester Cornelis.

Dalam foto juga tampak jalan trem uap dari Jatinegara-Salemba-Senen, dan Jakarta Kota. Sedangkan dari kejauhan tampak trem uap yang tengah menggelinding dari arah Jatinegara menuju Kota. Juga tampak gerobak kuda tengah mengangkut muatan di tengah jalan yang sunyi senyap.

Salemba mulai banyak dikenal ketika pemerintah Belanda membangun perguruan tinggi yang kini bernama UI. Lusinan para alumni UI yang telah menjadi menteri. Dan dari UI inilah berbagai kegiatan mahasiswa dilancarkan untuk menumbangkan Bung Karno. Bagi calon mahasiswa lulus UI merupakan suatu kebanggaan. Di belakang Fakultas Kedokteran UI terdapat RSUP Tjipto Mangunkusumo yang juga menjadi tempat praktek para mahasiswa kedokteran.

Rumah sakit ini dulu dikenal dengan nama CBZ. Berbelok kekiri dari depan UI, terletak Jl Salemba Tengah. Di ujung jalan ini terdapat penjara Salemba. Pada masa kolonial penjara ini juga dijadikan tempat memenjarakan para pejuang yang oleh Belanda dinilai ingin menumbangkan pemerintah kolonial. Waktu itu banyak di antara mereka yang bergerak di bawah tanah.

Salemba dalam sejarah juga mencatat pada Agustus 1811 bala tentara Inggris setelah terlebih dulu menguasai Kota dan Senen, tanpa mengenal ampun melaju ke kawasan ini Salemba, jalan yang dibangun Daendels. Anak revolusi Prancis ini telah menyiapkan tangsi-tangsi di sekitar Matraman yang kala itu masuk dalam bagian Meester Cornelis.

Ribuan tentara Inggris dengan mati-matian bertempur melawan pasukan Belanda/Prancis (saat itu Batavia dikuasai Prancis). Tentara gabungan Belanda-Prancis yang menyerah, sebanyak 6.000 orang pasukannya ditawan. Setelah pesta kemenangan dan peperangan dilupakan, opsir-opsir Inggris yang muda mengadakan pesta pora dan menemukan teman pesta dansa di kalangan gadis-gadis Belanda dan Indo dengan penuh gairah.

REPUBLIKA – Sabtu, 01 Desember 2007

Read Full Post »

Inilah hukuman gantung di masa kolomial pada awal abad ke-20. Tapi pelaksanaan eksekusi bukan di Lapangan Balai Kota (Stadhuis) yang kini menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta di Jakarta Kota. Namun eksekusi hukuman gantung terakhir terhadap seorang perampok bernama Tjoe Boen Tjeng terjadi di tempat ini pada 1896, dia memberlakukan korbannya seorang wanita Tionghoa secara kejam, yang juga sekarang ini banyak sekali terjadi di Jakarta. Ketika hukuman gantung berlangsung di Balai Kota Jakarta Utara, si pelaku pidana mati di tiang gantungan dengan pedang atau semacam guilotine primitif.

Kalau sekarang ini terpidana mati ditembak di tempat yang disembunyikan, dulu disaksikan banyak orang seperti terlihat dalam foto. Bahkan masyarakat secara luas diminta untuk menyaksikannya. Ketika terjadi eksekusi terhadap perampok Tjoen Boen Tjeng, yang paling banyak menyaksikan justru kaum wanita. Rupanya mereka bersimpati kepada korban perampokan seorang wanita. Tapi yang jelas hati wanita tempo doeloe lebih tabah karena tidak gentar melihat hukuman yang sangat sadis itu.

Setelah hukuman gantung tidak lagi dilakukan di alun-alun Balai Kota yang kini menjadi Museum Sejarah DKI dengan penjara bawah tanahnya yang sangat menyeramkan. Penjara kemudian dipindahkan kesebelah timur Jl Hayam Wuruk dan bersebrangan kali dengan Hotel Jayakarta. Dalam gambar terlihat di tengah alun-alun disiapkan tiang gantungan dengan sebuah tangga bambu. Di bawahnya samar-samar terlihat seorang narapidana yang berpakaian putih-putih dengan bagian muka tertutup juga dengan kain putih. Berdiri ditangga seorang algojo dan begitu tambang ditarik maka tercekiklah si pidana mati. Di bagian kiri dengan baju hitam-hitam tampak sejumlah pengawal penjara.

Mereka yang ditahan karena perkara sipil, diharuskan membawa makanan atau minta makanan yang dikirim dari luar. Seperti juga masa kini, para sipir penjara sering meminta ‘uang rokok’ supaya mengizinkan makanan yang dikirim itu benar-benar disampaikan pada yang bersangkutan. Sejak zaman VOC jabatan sipir dianggap basah. Apalagi sekarang ini penjara menjadi tempat transaksi narkoba. Dan banyak tuduhan orang dalam ikut bermain. Seperti Eddy Tansil yang menilep uang negara ratusan miliar pada masa Pak Harto belasan tahun lalu berhasil melarikan diri berkat ‘jasa’ seorang petugas penjara Cipinang.

Dalam ‘Cerita si Conat’, seorang kepala perampok yang hidup pertengahan abad ke-19, pengarang FDJ Pangemanan menulis saat-saat ia menjalani hukuman mati di alun-alun Rangkasbitung, Banten, pada 5 April 1855. Eksekusi disaksikan ribuan orang yang memenuhi alun-alun. Dan setelah si Conat naik tangga gantungan, semua orang bersorak dan berteriak. ”Conat! Selamat jalan.”

Kalau sekarang banyak perampok setelah keluar dari penjara mereka mengulangi lagi perbuatan kejinya akibat hukuman yang tidak berat. Berlainan di zaman VOC, kejahatan dengan melakukan perampokan tidak ampun lagi dijatuhi hukuman mati atau hukuman kerja paksa puluhan tahun dengan kaki dirantai.

REPUBLIKA – Sabtu, 24 Nopember 2007

Read Full Post »

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada para bupati dan wali kota membuat jalur untuk sepeda sebagai alternatif transportasi para pekerja menuju kantornya. Selain bersih dan ramah lingkungan, bersepeda juga hemat secara ekonomi dan menyehatkan para pengayuhnya. Sepeda bukan barang baru di Indonesia. Bahkan sampai tahun 1950’an pernah mendominasi transportasi di Jakarta, di samping becak. Ke sekolah dan perguruan tinggi orang naik sepeda. Demikian juga para pekerja ke kantor-kantor pulang pergi bersepeda. Di tempat-tempat tersebut, termasuk bioskop dan tempat hiburan ada parkir khusus untuk sepeda. Maklum kala itu mobil dan motor yang sekarang jumlahnya seabrek-abrek belum banyak jumlahnya. Kalau pun ada milik orang-orang tajir (kaya).

Sepeda pertama muncul di Batavia — sebutan Jakarta kala itu — pada tahun 1890. Pada waktu itu sepeda merk ‘Rover’ yang harganya 500 gulden menjadi kebanggaan luar biasa bagi para pemiliknya. Pedagang sepeda pertama seorang Belanda bernama Gruyter. Tokonya terletak di Gambir — dekat Monas sekarang –. Di tempat ini dia memiliki sebidang tanah lapang untuk tempat balapan sepeda bagi para pelanggannya. Pesertanya hanyalah orang Belanda dan Cina saja. Karena merekalah yang mampu membelinya. Pada tahun 1937 di Batavia tercatat 70 ribu sepeda atau satu sepeda untuk delapan penduduk. Penduduk baru sekitar 600 ribu jiwa.

Kalau saja rakyat Jakarta yang belasan juta banyak bersepeda saat ke kantor, polusi di Ibu Kota yangh sudah hampir kagak ketulungan bisa berkurang. Demikian pula dengan kemacetan lalu lintas akibat jumlah mobil dan motor yang meningkat drastis. Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Fauzi menyatakan siap membuka jalur khusus bila jumlah yang bersepeda mencapai satu juta orang. Di masa kolonial Belanda membuka jalur khusus untuk sepeda.

Bersepeda, menurut Kenneth Cooper pencetus olah raga aerobik sangat menyehatkan. Menurut definisi yang dipopulerkan oleh Cooper, aerobik adalah setiap aktivitas fisik yang dapat memacu jantung dan peredaran darah, termasuk dengan bersepeda. Sedangkan menurut Prof dr Dede Kusmana, ahli jantung dari RS Jantung Harapan Kita, dengan bersepeda secara teratur bukan hanya kebugaran jasmani yang meningkat, tapi kadar lemak darah yang jelek (kolesterol LDL, kolesterol total dan trigliserida) yang menyebabkan penyakit jantung akan menurun. Sebaliknya kadar lemak yang baik akan meningkat.

Di masa kolonial, naik sepeda pada malam hari harus memakai lentera. Bersepeda tanpa lampu pada malam hari tidak akan akan kena tilang. Dendanya lima gulden suatu jumlah bisa makan sederhana selama sebulan. Istilah ‘damai’ antara polisi dan pengendala tidak terdapat kala itu. Saking banyaknya orang bersepeda, di kampung-kampung terdapat bengkel sepeda yang kini digantikan bengkel motor. Pemilik sepeda tiap tahun harus membayar pajak yang disebut peneng. Demikian juga delman atau sado. Warga Belanda bila bekerja ke Jakarta Kota juga naik sepeda disamping trem. Mereka umumnya memilih sepeda merk Batavus atau Fongers yang doortrap) injak maju dengan rem kaki. Orang pribumi kaya menyukai sepeda merk Raleigh yang aksesoris, dan jika dienjot berbunyi ‘tik – tik – tik -.

REPUBLIKA – Sabtu, 17 Nopember 2007

Read Full Post »

Lukisan perwira artileri VOC, Johannes Rach (1720-1783), menggambarkan suasana pintu gerbang Meester Cornelis (kini Jatinegara). Lokasinya kira-kira antara Jalan Jatinegara Barat dan Jalan Jatinegara Timur, kelurahan Bali Mester. Sang pelukis menggambarkan suasana pada pagi hari. Di samping dua pohon (kiri gambar), tampak pasar yang masih terbuat dari bambu dan beratapkan rumbia. Waktu itu, hari pasar jatuh pada tiap Kamis. Beberapa orang ibu (tidak tampak jelas) tengah sibuk melayani pembeli.

Di dekatnya, terdapat sebuah jembatan bambu menuju pintu gerbang yang melewati Ciliwung. Di gerbang, terdapat sebuah pos penjagaan. Beberapa militer berada di pos tersebut. Di dekatnya, terdapat beberapa rumah sederhana yang terbuat dari bambu dan bergenting atap. Di sebelah kanan, terdapat sebuah pedati sedang ditambat.

Kala itu, pedati ditarik seekor kerbau, selain kuda. Jatinegara pada dua setengah abad lalu berbeda dengan Jatinegara saat ini yang hiruk pikuk dan macet. Kala itu masih lengang. Pohon kelapa dan pohon-pohon besar lainnya tumbuh dengan subur di sekitar gerbang. Kini, daerah itu merupakan permukiman kumuh Pisangan Baru, Bekasi Barat, dan Kelurahan Rawa Bangke yang sebelumnya bernama Rawabangke.

Pada abad ke-20, para pedagang Cina banyak berjualan di Pasar Mester. Kini, masih dapat kita saksikan sebagian dari rumah-rumah mereka yang berciri seperti di negeri leluhurnya, dengan bagian atas genting lancip. Etnis Tionghoa banyak berdatangan ke Jatinegara dari Glodok setelah peristiwa kerusuhan 1740 yang menelan ribuan jiwa etnis ini. Jatinegara sendiri baru dinamakan demikian ketika Jepang pada 1942 merebutnya dari Belanda. Namun, nama Meester sampai kini tampaknya masih digunakan oleh penduduk Jakarta, termasuk oleh para pengemudi angkot.

Akan tetapi, mengapa dinamakan Meester Cornelis? Pada 1656, Meester Cornelis Senin (meninggal 1661) memperoleh hak menebang pohon di tepi Ciliwung (kini menjadi langganan banjir) yang ketika itu letaknya sekitar 15 km dari pusat kota di Jakarta Kota. Jarak sejauh ini ketika itu dianggap jauh di luar kota.

Daerah itu kemudian menjadi miliknya tahun 1661. Meester Cornelis berasal dari keluarga kaya, dari Selomon, Pulau Lontar. Pada 1621, dia dibuang Gubernur Jenderal JP Coen ke Batavia. Di sini, dia menjadi pengkhotbah dan menjadi guru sekolah pribumi pertama. Sebagai guru, ia dipanggil meester. Pada 1672, tanah miliknya seluas lima km persegi antara Cipinang dan Ciliwung.

Untuk melindungi para penebang hutan dan tukang kebun terhadap gerilyawan Islam Mataram dari Banten, rumah-rumah mereka dikelilingi sebuah pagar (1656). Pada 1689, pagar sederhana diperkuat dengan pagar berduri yang menurunkan nama Kampung Bukitduri. Sampai awal 1970-an, di Bukitduri, terdapat penjara wanita (kini pertokoan).

Kawasan hutan yang dibuka Meester Cornelis Senen ambat laun berkembang menjadi satelit Kota Batavia. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah oleh Pemerintah Hindia Belanda, dibentuklah pemerintah kotapraja (gemente) Meester Cornelis yang terpisah dari Batavia. Kemudian, baru 11 Januari 1936 gemeente Meester Cornelis digabung dengan Batavia.

Read Full Post »

Masjid Al-Makmur di Jl KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, merupakan salah satu dari belasan masjid tua yang masih tersisa di Jakarta. Masjid ini dibangun pada tahun 1704 oleh para keturunan bangsawan Kerajaan Islam Mataram pimpinan KH Muhammad Asyuro.

Kini masjid yang berusia lebih tiga abad itu terkepung oleh hingar bingar pusat perdagangan Tanah Abang, salah satu pusat perdagangan terbesar di Jakarta. Di kiri kanan masjid jami ini sudah tidak ditemukan lagi perumahan penduduk karena hampir seluruh daerah sekitarnya menjadi pusat kegiatan bisnis.

Sejarah masjid yang cukup tersohor di Jakarta itu terjadi ketika Sultan Agung dua kali menyerang kota Batavia (1618 dan 1619). Sekalipun mengalami kegagalan tapi para bangsawan Mataram merupakan juru dakwah yang handal. Di antara mereka kemudian menetap di Jakarta menjadi da’i dan membangun masjid sejumlah masjid, yang masih kita dapati di beberapa tempat di Ibu Kota.

Masjid Al-Makmur seperti terlihat dalam gambar mula-mula hanya sebuah mushola berukuran 12×8 meter. Pada 1915 diperluas oleh Habib Abu Bakar Alhabsyi, salah seorang pendiri rumah yatim piatu Daarul Aitam di jalan yang sama. Luas masjid menjadi 1.142 m2 ketika Habib Abubakar memberikan tanah sebagai wakaf. Tahun 1932 masjid diperluas lagi atas tanah wakaf Salim Bin Muhammad bin Thalib. Kemudian pada tahun 1953 diperluas hingga luasnya menjadi 2.175 m2.

Sayangnya, di depan masjid yang sangat bersejarah ini, di depannya tampak kumuh. Terutama oleh para pedagang kaki lima yang mangkal di depan masjid dan tumpah ruah ke jalan. Sementara mobil dan motor menjadikannya sebagai tempat parkir saat mereka hendak berbelanja ke pusat-pusat perdagangan Tanah Abang.

Akibat pengembangan jalan, kini Masjid Al-Makmur hanya menyisakan (habis) beranda depan dengan tiga gerbang berpilar ramping berbentuk kelopak malati dan list-plang dengan lima lubang angin serta dua menara berkubah kecil bergaya mercusuar (dengan jendela dan teras) di kiri kanan bangunan utama. Sementara pedagang kaki lima kadang-kadang dengan enaknya menjajakan dagangannya di muka masjid. Jadi lenbgkap sudah kesendirian Masjid Al-Makmur yang makin terus dikepung baik oleh pertokoan, pusat bisnis, dan pedagang eceran yang makin banyak mencari doku di Tanah Abang.

Tapi ketika masih ada kuburan wakaf, kini jadi rumah susun Tanah Abang, warga keturunan Arab yang meninggal dunia sebelum dimakamkan terlebih dulu jenazahnya dishalatkan di Masjid Al-Makmur. Para pedagang dan pembeli di Pasar Tanah Abang juga menjadikan masjid tua ini sebagai tempat shalat mereka terutama shalat dzuhur dan ashar.

Makin berkembangnya bisnis di Tanah Abang, mengakibatkan Jalan KH Mas Mansyur dan sekitarnya seperti Kebon Kacang I sampai Kebon Kacang VI kini sudah berubah fungsi. Sebagian besar rumah telah menjadi tempat pertokoan, ekspedisi, dan gudang-gudang. Tidak heran kalau harga tanah yang berdekatan dengan Proyek Pasar Tanah Abang termasuk termahal di Jakarta. Seperti ketika pembangunan jembatan Metro Tanah Abang, rumah-rumah yang tergusur mendapat ganti rugi Rp 10 juta per m2. Menurut sejumlah warga, harga tanah milik mereka saat ini harganya Rp 20 juta per meter persegi.

REPUBLIKA – Sabtu, 10 Nopember 2007

Read Full Post »

Pemerintah saat ini tengah menggalakkan konvensi minyak tanah ke gas (elpiji) di Jakarta yang rencananya harus terwujud paling lambat akhir tahun ini. Proyek Pemerintah Provinsi DKI dan PT Pertamina (Persero), pemakaian gas menggantikan minyak tanah dapat menghemat anggaran sekitar 40 triliun rupiah per tahun. Meski sebelumnya banyak mendapat reaksi kini sudah semakin banyak rumah tangga yang menggunakan gas. Terlihat dari banyaknya tabung gas yang dijual di toko dan warung di kampung-kampung.

Dalam foto yang diabadikan oleh fotografer Woodbury & Page pada 1872, merupakan perusahaan gas kala itu yang dikelola oleh The Nederlandsch Indische Maatschappij berlokasi di Jl Ketapang (kini Jl KH Zainul Arifin) di Jalan Gajah Madah dekat Krukut Jakarta Barat. Pembangunan pabrik gas dimulai ketika Nopember 1859 pemerintah Hindia Belanda memberikan kewenangan pada perusahaan L.J. Emhoven & Co dari Den Haag, Belanda untuk membangun penerangan gas di Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara), yang ketika itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri.

Pembangunannya selesai pada 1861 dan penyaluran gas dilakukan oleh perusahaan milik Belanda: Nederlands Indies Gas Company, yang sampai kini masih berlokasi di Gang Ketapang. Sebelum energi listrik dipakai secara luas, pada waktu itu gas buatan telah banyak dimanfaatkan sebagai proses energi di tempat-tempat umum. Energi gas mulai dioperasikan pertama kali di Batavia di kediaman gubernur jenderal (kini Istana Negara) di Risjwijk (kini Jalan Veteran). Istana Negara semula merupakan perumahan pribadi milik J.A. van Braan. Kediamannya ini sangat luas hingga ke Medan Merdeka Utara (kini Istana Merdeka). Lalu dibeli oleh pemerintah untuk dijadikan kediaman gubernur jenderal.

Beroperasi gas ke rumah-rumah, perkantoran dan tempat rekreasi membuat gairah kehidupan masyarakat Batavia, terutama kehidupan di malam hari. Maka bermunculanlah tempat-tempat hiburan malam di Batavia, sementara dengan munculnya kapal uap dan kemudian pembukaan Terusan Suez, makin banyak warga Belanda dan Eropa berdatangan ke Batavia.

Pelayanan gas juga ikut mendongkrak industri yang makin banyak bermunculan. Orang-orang Eropa ini banyak membangun rumah semacam bungalow dengan pekarangan luas. Gaya hidup orang Eropa digambarkan tak berbeda dengan kehidupan Eropa. Mereka menciptakan gaya hidup rekreasi yang serupa dengan di tempat asalnya.

Kembali kepada pengelolaan inudstri gas, bersamaan dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda pada 1958, pemerintah mengambil alih usaha tersebut yang telah berlangsung selama seabad. Sampai tahun 1960’an meskipun energi listrik sudah lama nongol, tapi masih banyak rumah-rumah yang menggunakan gas. Di Jakarta pemakaian minyak tanah oleh warga satu juta liter. Hingga subsidi yang dikeluarkan untuk pemakaian minyak tanah Rp 4 triliun per tahun atau setara Rp 4 ribu per liter.

REPUBLIKA – Sabtu, 03 Nopember 2007

Read Full Post »

Bukan saja pendatang, orang Bogor sendiri sulit menjelaskan mengapa kampung di mana berdiri Kampus IPB (Institut Pertanian Bogor) bernama dermaga, alias pelabuhan. Hingga banyak yang bertanya-tanya kalau dermaga mana lautnya? Tidaklah dapat mereka bayangkan bahwa di bawah jembatan Cihideung Udik dekat kampus IPB pada masa Pakuan Pajajaran terdapat pelabuhan penting. Di pelabuhan inilah arus barang dibawa dengan prau (perahu). Komoditasnya terdiri dari lada, kopi dan kapulaga. Komoditas-komoditas ini melalui kali Cihideung dibawa ke Sunda Kalapa.

Dalam gambar tampak Kampung Dermaga, Bogor yang sejak 1 September 1963 berdiri Institut Pertanian Bogor (IPB). Kampung ini letaknya di barat laut kota Buitenzorg (Bogor). Johannes Rach, seorang perwira dan juga pelukis VOC mengambil gambar kampung Dermaga pada 1772 saat mengikuti perjalanan Gubernur Jenderal Van der Parra meninjau kegiatan arus barang komoditas di Dermaga.

Gubernur Jenderal sendiri bersama istrinya dalam gambar ini tampak tengah dipayungi saat menuju Dermaga Kali Cihideung. Kala itu angkutan di dominasi melalui air (sungai). Dalam gambar tampak sepasukan tentara dengan memegang lembing berbaris siap memberi hormat kepada gubernur jenderal dan rombongan. Di belakangnya tampak sejumlah kapal layar dengan empat bendera (Belanda): merah, putih dan biru tengah merapat di kali Cihideung. Inilah yang menyebabkan kawasan ini dinamakan Dermaga sampai sekarang.

Dalam gambar goresan tangan pelukis Rach terlihat betapa sibuknya kegiatan bongkar muat di Dermaga pada abad ke-18. Terlihat sejumlah gerobak sado yang membawa dan mengangkut barang sementara di tepi sungai terlihat kantor pabean (bea cukai) dan tempat menyimpan berbagai komoditas.

Mengenai nama dermaga di kota Bogor, sampai ada yang berspekulasi bahwa dulunya mesti ada laut. Tidaklah mereka bayangkan bahwa dibawah jembatan Cihideung ketika pada masa Pajajaran terdapat pelabuhan penting. Di Jakarta, kali Cihideung dinamakan kali Cideng. Lalu berbelok di kali Opak, seterusnya tiba di Kali Besar. Di sini komoditas itu dilelang kepada para pembeli yang datang dari mancanegara. Begitu pentingnya dermaga ketika itu, menyebabkan gubernur jenderal sendiri mengadakan peninjauan ke pelabuhan sungai tersebut. Menurut majalah ‘Kita Sama Kita’, komoditas pertanian tersebut dihasilkan oleh para petani dan pedagang Tionghoa di Leuwiliang di Ciampea, Bogor.

REPUBLIKA – Sabtu, 27 Oktober 2007

Read Full Post »

Ketika memasuki rumah cukup luas di kawasan elit Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pekan lalu, seorang petugas menyapa saya, ”Mau bertemu ibu sepuh?”
Kemudian, di ruang tengah yang luas, saya diminta menunggu, karena sang ibu tengah shalat dzuhur. Setengah jam kemudian keluarlah seorang nenek dari kamarnya seorang diri menggunakan kursi roda. Dia adalah Sri Ayati, kelahiran Tegal 88 tahun yang lalu, yang pada tahun 1957 mendapat persembahan khusus sebuah puisi dari Chairil Anwar.

Puisi karya Chairil Anwar berjudul Senja di Pelabuhan Kecil itu dinilai oleh kritikus sastra HB Jassin berisi ‘kerawanan hati, suatu kesedihan yang mendalam yang tidak terucapkan.’ ”Saya tahu dari almarhumah Mimiek, anak angkat Sutan Syahrir, bahwa Chairil Anwar membuat sajak untuk saya,” kata nenek empat anak dan sejumlah cucu yang masih berbicara jelas dan daya ingatnya masih kuat itu.

”Alhamdulillah, memori saya masih baik dan tidak pikun. Hanya mata saya tidak dapat melihat lagi, karena penyakit glukoma,” kata nenek yang telah empat bulan berada di Jakarta diboyong oleh putra bungsu dan menantunya untuk berobat. Nenek yang tinggal di Magelang itu menolak kalau dikatakan bahwa masa mudanya berwajah jelita dan menyebabkan Chairil jatuh cinta sampai membuat sajak untuknya.

”Saya tahu kalau Chairil membuat sajak untuk saya dari almarhumah Mimiek, puteri angkat mantan PM Sutan Syahril. Mimiek datang ke rumah saya di Serang. Waktu itu saya sudah bersuami dokter RH Soeparno, dan memiliki seorang anak. Kami kemudian bermukim di Magelang, karena suami saya ditugaskan di sebuah rumah sakit militer di sana. Padahal ketika itu saya lama tidak ketemu Chairil,” kata nenek yang tampak masih sehat dalam usianya yang mendekati kepala sembilan itu.

Sri Ayati mengaku baru kenal baik dengan Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta (kini gedung RRI, Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat). Nama radio Jepang setelah NIROM (radio Belanda) ditutup itu adalah Jakarta Hoso Kyokam. Dia pernah lama ngobrol dengan Chairil di kediamannya, Jl Kesehatan V, Petojo, Jakarta Pusat.

Suatu ketika Chairil datang ke rumahnya, “Saya duduk di korsi rotan dan dia duduk di lantai sebelah kanan saya. Ia bercerita baru saja mengunjungi seorang teman bernama Sri. Sang gadis yang bernama Sri memakai baju daster (kala itu disebut housecoat). Ia bercerita sambil memegang daster yang saya pakai. Chairil bercerita, daster yang dipakai Sri dari sutera asli. Kebetulan daster yang saya pakai juga dari sutera asli. Kala itu saya tidak tahu siapa yang dimaksud Chairil gadis bernama Sri itu,” kenangnya.

Sri Ayati mengaku heran, kenapa Chairil membuat sajak untuknya. Padahal, ketika itu ada sejumlah teman wanitanya yang lain, seperti Gadis Rasyid, Nursamsu, dan Zus Ratulangi. Chairil, ketika itu juga dekat dengan Usmar Ismail, Rosihan Anwar dan HB Jassin. Chairil sendiri tidak pernah menyatakan cintanya kepada Sri Ayati.

Ketika ditanya tentang sosok seniman Chairil Anwar yang sajak-sajaknya dikenal luas hingga saat ini, Sri Ayati mengatakan, penyair pelopor Angkatan 45 yang meninggal dunia pada 28 April 1949 itu kurang mengurus dirinya. ”Rambutnya acak-acakan. Matanya merah, karena kurang tidur. Di tangan kiri dan kanannya penuh buku-buku. Memang Chairil dikenal sebagai kutu buku,” katanya.

Sri Ayati, yang juga seorang seniwati dan pernah mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), menilai bahwa Chairil adalah seorang seniman yang jujur, tak tahan dan tidak bisa melihat hal-hal yang kurang baik. ”Kalau saja dia hidup pada zaman Orde Baru, saya kira pasti dia ditahan karena dia akan berani mengkritik hal-hal yang dianggapnya kurang baik dan kurang benar,” kata nenek yang menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis itu.

Sri Ayati pernah sekolah MULO di Batavia, sebelum ke Fakultas Sastra UI. Mutu pendidikan di masa kolonial, menurutnya, jauh lebih bermutu dari pada sekarang. Bung Karno ketika masih sekolah di HBS sudah dapat menguasai bahasa Belanda dan Inggris. Bahkan, membuat karangan-karangan dalam bahasa tersebut. Sayangnya, pemerintah kolonial melakukan diskriminasi dalam bidang pendidikan. Hanya golongan priyayi yang dibolehkan sekolah oleh Belanda.

Sri Ayati mengaku merasa seperti anak Betawi. Karena, sejak berusia 8 ia dibawa ayahnya ke Jakarta dan tinggal di Gang Seha, Pecenongan, Jakarta Pusat. Pada tahun 1997, dia pernah bertemu bekas tetangganya, bernama Adrian Seha, di Borobudur, Magelang. ”Saya tanya apa ada hubungan namanya dengan nama Gang Seha?”

Adrian Seha, ketika itu menjawab, ”Nama Gang Seha mengabadikan nama kakek saya, seorang tuan tanah yang tinggal di gang tersebut.” Sri Ayati juga pernah tinggal di Gang Adjudant (kini Kramat II), Kwitang, Jakarta Pusat. Di Kwitang, yang menjadi tuan tanah adalah keluarga Alkaff. Di Kwitang, Alkaff menyewakan puluhan rumah. Keluarga ini, sampai awal 1970-an, juga memiliki banyak rumah dan tanah di Singapura.

Sampai sekarang di Singapura ada kawasan Alkaff, yang kini sudah dikuasai Cina. Tapi, masjid yang dibangun keluarga Alkaff masih tetap berdiri. Di Jakarta, dulu juga banyak jalan yang memakai nama keluarga Arab, seperti Alatas Laan di Cikini (kini Jl Cilosari), Gang Alhadad di Bukitduri, Jatinegara, dan Gang Bafadal di Matraman.

Ketika saya wawancarainya, pekan lalu, Sri Ayati sempat membacakan sebuah Renungan Jiwa dalam bahasa Inggris yang dibuatnya di Magelang, Desember 2002. Petikannya, antara lain, ”Sekarang saya mendekati akhir dari perjalanan hidup saya. Saya tidak bersedih dan bukan suatu yang menakutkan. Apabila Allah memanggil saya, saya siap untuk menghadapNya. Dengan harapan penuh agar saya dikaruniai Khusnul khatimah.”

Ketika menulis renungan tersebut Sri Ayati mengaku sudah siap meninggalkan dunia fana ini. Tapi, ternyata masih diberi umur panjang. ”Sekarang saya menghabiskan waktu untuk shalat, zikir dan ibadah,” katanya.

Read Full Post »

Inilah Kampoeng Kwitang, Jakarta Pusat pada pertengahan 1876 atau sekitar 131 tahun lalu. Jakarta di zaman Betawi pada abad ke-19 merupakan ‘setengah hutan’. Penghuninya belum banyak seperti sekarang yang penuh sesak dan sumpek. Di antara pepohonan yang tumbuh lebat di sekitarnya, tampak sebuah rumah keluarga Eropa.

Di depannya tampak sebuah jembatan dari kayu yang sekarang menghubungkan antara Kampung Kwitang dengan Jalan Parapatan. Di depan rumah berpagar tembok tampak sebuah lampu gas di pekarangan yang luas. Lampu gas, ketika foto ini diabadikan oleh Jacobus Anthonie Meessen, baru nongol di Batavia 1864. Pabrik gas berlokasi di Gang Ketapang dekat Jl Gajah Mada , yang entah kenapa namanya diganti pada tahun 1960 menjadi Jl KH Zainul Arifin. Adanya lampu gas yang menggantikan lilin dan minyak tanah dinikmati oleh penduduk setelah dibangunnya instalasi gas di jalan-jalan raya dan perkampungan. Pabrik gas yang telah berusia satu setengah abad sampai sekarang masih berdiri di Gang Ketapang.

Jacobus Anthonie Meessen, yang banyak mengabadikan gedung-gedung di Batavia merupakan pemilik rumah di Kampung Kwitang. Dia lahir di Utrecht, Belanda, pada 6 Desember 1836 dan merantau ke Batavia 1860. Dia juga mengisi kolom foto-foto iklan di harian Sumatra Courant di Padang dan ‘Java Bode’di Batavia.

Kwitang yang terkenal dengan majelis taklim tiap Ahad pagi, pernah menjadi latar belakang roman sejarah ‘Nyai Dasima’ versi SM Ardan, seniman dan budayawan Kwitang. Dasima adalah istri piaraan tanpa nikah tuan Edward W, seorang Inggris, yang akhirnya kawin dengan Samiun tukang sado dari Kwitang. Nyai Dasima yang berasal dari Desa Ciseeng, Parung, Bogor, akhirnya mati dibunuh oleh Bang Puase, jagoan dari Kwitang atas suruhan istri tua Samiun, Hayati. Nyai yang bahenol ini dibunuh kira-kira di dekat rumah yang terlihat di foto. Mayatnya dilemparkan ke kali (kira-kira samping toko buku Gunung Agung) dan ditemukan di dekat kediaman tuan Edward W di Pejambon, di belakang kantor Ditjen Perhubungan Laut sekarang ini.

Nyai Dasima versi G. Francis yang pernah menjadi redaktur surat kabar besar pada abad ke-19 menggambarkan selain tuan W semuanya jahat. Bahkan direkonstruksi demikian rupa sehingga mencuat citra orang Betawi yang memiliki sifat-sifat penghasut, haus harta, irasional, berpikiran sempit, pencuriga, perusuh, dan masih berbagai sifat jahat lainnya. Dan semua sifat buruk itu berasal dari tradisi budaya dan agama yang dianut: Islam. JJ Rizal dalam pengantar di buku ‘Nyai Dasima’, mengutip pernyataan Ardan bahwa Nyai Dasima versi kolonial memperlihatkan nada anti-Muslim yang pada masanya berarti antipribumi.

Nyai Dasima, berdasarkan versi kolonial menjadi istri Samiun karena diguna-guna melalui seorang ulama Wak Lihun. Menurut Ardan, Dasima datang ke Samiun atas kesadaran sendiri ingin lepas dari orang asing. Setelah ia diingatkan hukumnya haram kawin tanpa nikah. Ulama terkemuka, HAMKA pernah berkomentar bahwa Dasima rela meninggalkan tuannya dan hidup bergelimang harta setelah diingatkan bahwa dalam Islam nikah merupakan suatu ‘kemustian’ dalam hubungan suami – istri.

REPUBLIKA – Sabtu, 20 Oktober 2007

Read Full Post »

« Newer Posts - Older Posts »